Emak Miah (67) (Perempuan Sebatang Kara, Petugas Kebersihan di Ruko Villa Mutiara Lido, Bogor)
Dalam usianya yang sudah semakin senja. Emak Miah harus berjuang sendiri untuk membiayai hidupnya. Saat Majalah Ghoib menemuinya, Emak Miah sedang bekerja menyapu halaman ruko. Dalam keadaan panas yang sangat terik, sesekali Emak Miah berteduh sambil meneguk air dalam botol yang dibawanya dari rumah, untuk melepas dahaga. Namun setelah itu harus kembali menyelesaikan tugasnya tersebut. Berikut kisah hidup ibu tua yang tinggal sendirian tanpa suami, anak atau cucu, yang menyebut dirinya emak.
Orang tua emak aslinya orang Ciletuh, tanjakan Lido, perbatasan Bogor dengan kabupaten Sukabumi. Desa yang asri, tempat emak dilahirkan 67 tahun yang lalu. Miah, emak diberi nama oleh orang tua. Bapak dan ibu emak membesarkan emak dalam kondisi yang serba kekurangan. Mereka harus bekerja sebagai kuli tani di sawah, untuk menghidupi keluarga kami. Karena orang tua tidak punya biaya, sampai sekarang saya tidak bisa membaca dan menulis, karena emak tidak disekolahkan oleh orang tua yang memang tidak mampu. Di sebuah gubuk kecil, di desa yang pada saat itu masih terbelakang, emak dibesarkan. Walaupun hidup serba kekurangan, keluarga kami hidup harmonis, karena masing-masing anggota keluarga saling menyayangi dan saling menjaga. Waktu masih kecil, emak diajarkan oleh orang tua, untuk hidup jujur dan bekerja keras dalam menghadapi hidup ini, Petuah-petuah agama sering mengiringi kehidupan kami, seperti perintah melaksanakan sholat dan belajar membaca al-Qur’an di surau dekat rumah kepada seorang ustadz kampung pada saat itu.
Emak menikah sejak usia 18 tahun, setelah bertemu dengan suami di kampung. Kalau jaman dulu itu kan, enggak pake pacaran segala seperti anak-anak sekarang. Dia langsung datang ke rumah orang tua emak dan langsung melamar, setelah itu emak dibawa pindah ke desa Nagrak, Pasir Muncang, Caringin, Jawa Barat. Tempat emak tinggal hingga sekarang ini. Suami emak ketika masih sehat, bekerja sebagai penjual sayuran dan sekaligus menjadi buruh tani di sawah milik seorang tuan tanah di kampung kami. Suami juga pernah bekerja lama di Agrowisata, pusat industri pertanian di Bogor, Jawa Barat Dalam menjalani hidup dengan suami tercinta, emak hidup sudah biasa susah, karena kehidupan ekonomi keluarga emak apa adanya. Apalagi setelah suami emak usianya mulai semakin tua dan sakit-sakitan.
Setelah emak menikah dan dibawa oleh suami, emak pernah bekerja sebagai buruh tanijuga, untuk membantu suami dan membesarkan anak emak yang satu- satunya itu. Emak juga pernah bekerja sebagai petugas kebersihan PPN, dengan bertugas membersihkan dan menjaga pohon karet, dengan gaji yang hanya cukup untuk makan. Suami emak yang sering sakit-sakitan, hanya sekali saja emak bawa ke dokter di Puskesmas, selebihnya emak rawat sendiri. Sering suami mengeluh akan penyakit sesaknya yang semakin parah, tapi ya harus bagaimana, emak tidak punya biaya untuk membawanya berobat ke rumah sakit. Hingga akhirnya, suami emak meninggal pada tahun 2001, setelah sekian lama suami emak tersebut harus bertahan dengan penyakitnya yang kronis, dengan pengobatan yang apa adanya. Mulai saat itulah emak menjalani kehidupan ini seorang diri di rumah gubuk peninggalan suami, tanpa ditemani siapa pun. Anak emak satu-satunya tinggal di rumahnya sendiri dengan ekonomi yang juga serba kurang.
Sedangkan emak sudah bekerja sebagai petugas kebersihan di Villa Mutiara Lido, Cigombong ini selama 11 tahun. Dari tahun 1995. Jadi emak sudah bekerja di sini ketika suami emak masih hidup. Pertama kali, emak bekerja di sini, diajak oleh saudara yang kenal dengan petugas di Lido ini. Kalau saja, bukan karena kasihan, mungkin emak, tidak bisa diterima karena usia emak yang sudah sangat tua. Karena emak tidak punya kebun dan sawah sendiri, emak terpaksa harus bekerja sendiri di luar rumah. Gaji emak pertama kali 2000 rupiah dan sekarang sudah 7500 rupiah perhari. Emak harus bekerja di sini karena tuntutan ekonomi. Anak emak satu- satunya yang emak harapkan bisa membantu, bekerjanya hanya sebagai penjual dandang, yang kadang-kadang laku terjual, namun sering juga harus pulang tanpa membawa hasil, karena barang dagangannya tidak terjual. Cucu emak yang paling besar dari anak emak tesebut, sekarang sudah seusia anak SMP, tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah, karena anak emak tersebut sudah tidakmampu lagi untuk membiayai anaknya untuk bersekolah lebih tinggi.
Menjadi petugas kebersihan di Lido emak jalani dengan senang hati, karena emak memang dari kecil terbiasa bekerja keras, seperti mencangkul di sawah, merambah hutan dan lainnya. Tugas emak sehari-hari adalah membersihkan sampah disekitar ruko, Villa Mutiara Lido. Emak berangkat dari rumah jam 7:30 pagi dan pulang jam 3 sore. Emak istirahat jam 12:00 siang untuk makan nasi yang emak bawa sendiri dari rumah agar lebih mengirit.
Selama bekerja disini, banyak sekali suka dan dukanya. Sukanya seperti, disenangi oleh bos, karena emak dianggap sangat rajin dan telaten dalam membersihkan sampah. Sering juga emak mendapat hadiah dari para pedagang di ruko sekitar Villa Mutiara Liddo ini. Tapi dukanya juga lebih ada, terkadang dengan usia emak yang semakin tua ini, sering kelelahan dalam bekerja. Kepala sering pusing-pusing, mata sering berkunang-kunang. Tapi karena harus bisa membiayai diri emak sendiri, emak harus bertahan. Emak yakin, Allah akan memberikan ujian kepada hamba-Nya sesuai kemampuan hamba-Nya tersebut dalam menerima ujian, Apalagi, gaji emak kan sekarang 7500 rupiah perhari, sementara untuk ongkos saja, pulang pergi biaya 6000 rupiah, emak harus bisa mencukupi diri dari kelebihan gaji emak tersebut. Jadi, semuanya emak anggap sebagai anugerah dari Allah dan emak harus selalu bisa nerima apa yang telah Allah takdirkan untuk emak. Tapi biar seperti ini, emak setiap hari minggu ikut pengajian di kampung untuk mendapatkan ilmu agama. Sehingga iman emak bisa terus kuat, untuk menghadapi kehidupan yang serba sulit ini.
Menjelang sore ketika emak pulang ke rumah, saat inilah yang terkadang membuat emak sedih, bahkan sering menangis. Seperti malam-malam yang lainnya, emak harus tinggal sendiri di rumah. tanpa ditemani suami tercinta dan anak yang emak sayangi serta tidak ada tangisan cucu yang mencari kehangatan pada neneknya. Karena anak dan cucu-cucu emak tersebut sudah berpisah rumah dengan ermak. Kalau malam tiba dan hujan turun dengan lebatnya, emak sering ketakutan mendengar suara halilintar yang suranya menderu, ditambah kilat yang menyambar. Emak takut kalau rumah gubuk emak ini roboh kena petir.
Emak berharap kepada Allah, agar kehidupan ernak ada perbaikan. Terutama anak emak yang satu-satunya itu, bisa lebih baik lagi kehidupan ekonominya. Sehingga bisa membiayai kehidupan keluarganya. Dan yang lebih penting adalah, di hari tua nanti, sebelum emak meninggal, di saat emak sudah tidak kuat lagi bekerja sendiri, anak emak tesebut bisa membantu emak dalam kehidupan hari tua emak. Karena hal inilah, yang selalu menjadi pikiran emak. Kalau orang lain hari tuanya hidup bahagia, bisa diurus oleh anaknya, sambil menggendong cucu tersayang. Emak juga berharap demikian, kepada Allah, agar bisa mengisi sisa hidup ini dengan ibadah. Bahkan kalau bisa, dari sekarang pun, emak sih maunya sudah tidak mau bekerja lagi, untuk lebih berkonsentarsi beribadah di hari tua. Namun keadaanlah yang membuat emak harus terus berjuang dalam menghadapi hidup ini.
Emak juga terus berdoa, agar cucu-cucu emak yang harus putus sekolah karena tidak punya biaya. Menjadi anak yang sholeh dan sholehah, dan bisa lebih mandiri dalam menjalani kehidupan ini. Sambil emak berharap, semoga mereka bisa melanjutkan sekolahnya minimal sampai SMU untuk bekal mereka di hari depan. Namun sebaik-baik bekal dalam kehidupan ini adalah bekal taqwa..
Ghoib. Edisi 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M