Karena Kita Masih Ragu

Ragu dalam hal apapun tidak baik. Bahkan bisa berbahaya untuk keselamatan kita. Dalam suasana tertentu saat berkendaraan, harus mengambil keputusan tanpa ragu, untuk belok ke kanan atau lurus. Kalau ragu, keselamatan kita bisa terancam dan bahkan bisa mencelakai orang lain juga. Itu untuk urusan yang bisa dikategorikan masalah kecil. Untuk urusan yang lebih besar atau besar sekali, keraguan akan menimbulkan efek yang besar, sebanding dengan besarnya urusan tersebut.

Dalam beragama pun tidak beda. Keraguan tidak ada tempatnya di sini. Itulah mengapa Nabi Muhammad dengan lafazh yang umum bersabda, “Tinggalkan yang meragukan dirimu kepada yang tidak meragukan.” Dari hadits tersebut, para ulama’ membangun kaidah-kaidah yang mendasari banyak hal dalam syari’at Islam. Dalam ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah, kaidah ini termasuk kaidah besar yang mencakup banyak hal, dari ibadah sampai muamalah. Keraguan juga merupakan pintu syetan yang cukup besar untuk merancukan kehidupan pribadi atau pun keluarga. Was-was, contohnya. Itulah mengapa Nabi Muhammad mengingatkan kita agar segera berlindung kepada Allah, ketika kita mulai dibisiki keraguan akan eksistensi Allah sebagai Khalik.

Ragu kepada janji-janji Allah juga merupakan penyakit akut masyarakat yang dampak negatif sangat terasa. Kita terkadang atau bahkan sering meragukan kekuasaan Allah dan janji-Nya. Walaupun keraguan itu tidak terucap dari lisan kita, tetapi sangat kentara di keputusan dan perbuatan kita. Kita tengok saja satu janji Allah yang tersirat dalam surat Nuh, “Maka akan aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Mari kita bacakan ayat ini kepada masyarakat. Mereka akan bertanya dengan penuh ketidakpercayaan, “Bagaimana mungkin?” Istighfar yang merupakan ucapan lisan untuk memohon ampun kepada Allah bisa mendatangkan hujan. Lebih tidak bisa dicerna lagi, istighfar mendatangkan keturunan. Yang akan membuat mereka semakin bergeleng tidak paham, istighfar memperbanyak harta.

Karena ilmu manusia tentang alam telah dianggap segalanya. Karena ilmu kedokteran telah menguasai keyakinan dan seluruh aspek kehidupannya. Karena matematika manusia yang dibangun di atas logika ansich digunakan untuk mengukur semuanya. Padahal kita sadar, banyak hal yang tidak bisa diukur dengan segala ilmu penemuan manusia tercanggih sekalipun. Tidak oleh ahli fisika, kimia, kedokteran, matematika dan tidak pula oleh yang lainnya. Masih banyak sisi gelap. Karena kita belum mendekat betul kepada yang telah Menciptakan para penemu itu. Yang telah membuka ilmu. Yang menentukan segalanya. Yang Memberi dan Yang Menahan. Karena iman kita telah tergadai oleh hingar bingar ilmu pengetahuan modern dan teknologi canggih.

Rasulullah menyebutkan salah satu syarat penting diterimanya sebuah do’a adalah keyakinan. “Berdo’alah dan kamu yakin akan dikabulkan.” Logikanya sederhana, ketika kita minta tetapi tidak yakin do’a kita dikabulkan, sama saja dengan meragukan kekuasaan Allah dalam menghilangkan masalah yang di mata kita sangat berat adanya. Cobalah itu pada kita. Kalau ada orang hendak minta pertolongan kepada kita, tetapi diiringi dengan tindakan atau ucapan, “Walau sebenarnya saya tidak terlalu yakın Anda bisa memberikan apa yang saya minta ini. Tentu dari awal kita telah memutuskan untuk tidak membantunya.

Pantas kalau kita termasuk yang tidak merasakan janji Allah, seperti dalam istighfar di atas. Karena kita masih ragu. Mana mungkin kita diberi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN