Shafar adalah bulan kedua dalam kalender tahun hijriyah, setelah bulan Muharram. Banyak sekali umat Islam, khususnya yang tinggal di Indonesia memberi perhatian lebih terhadap bulan shafar. Mereka melakukan ritual khusus untuk menolak bala’, yang mereka yakini banyak tersebar diakhir bulan Shafar, tepatnya pada hari Rabu, di pekan terakhir bulan Shafar. Mereka menyebut hari Rabu itu dengan Rabu Wekasan, artinya Rabu terakhir dalam bulan Shafar. Untuk menolak bala’ yang berhamburan di hari tersebut.
Itulah ritual yang sudah turun temurun, yang sudah membudaya di sebagian masyarakat muslim negeri ini. Entah mulai kapan “ibadah baru” itu muncul dan mentradisi. Yang jelas ritual tersebut semakin memperkuat mitos masyarakat terhadap seramnya bulan Shafar sebagai bulan bencana. Bulan yang pada saat itu diturunkan tiga ratus ribu macam bala’ di muka bumi ini. Sungguh sangat mengerikan, kalau memang benar apa yang mereka yakini.
Tapi benarkah mitos bulan Shafar tersebut? Atau itu hanya salah satu dari jerat-jerat syetan, untuk menakut-nakuti kita semua, agar melaksanakan ritual yang sama sekali tidak ada dalilnya, ataupun contoh dari para shahabat dan tabi’in, generasi terbaik umat ini. Dengan begitu syetan berhasil menipu kita dan menjauhkan kita dari Syari’at Islam.
Kalau kita bercermin kepada kehidupan Rasulullah dan para shahabatnya, maka akan kita jumpai suatu kenyataan yang kontras dengan fenomena ritual Rabu Wekasan yang marak di akhir bulan Shafar. Banyak kemenangan dan kesenangan yang diraih oleh umat Islam, yang jatuh pada bulan Shafar. Bahkan kemenangan gemilang dan spektakuler diraih Rasulullah dan pasukannya di bulan Shafar, yaitu kemenangan di Perang Khaibar.
Khaibar dahulu merupakan kota besar yang memiliki delapan benteng besar dan kokoh, serta kebun-kebun terhampar luas, yang jaraknya sekitar 180 KM di sebelah utara kota Madinah. Khaibar telah berubah menjadi perkampungan yang berbahaya bagi stabilitas keamanan kaum muslimin. Disitulah konspirasi jahat kaum Yahudi dirancang, daerah tersebut menjadi pangkalan militer dan basis pengkhianatan, sumber permusuhan dan pemicu peperangan, merekalah provokator pengkhianatan Bani Quraizhah dan penduduk Ghathafan serta orang-orang Arab badui terhadap kaum muslimin.
“Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar Allahu Akbar, Runtuhlah Khaibar! Jika kita tiba di pelataran suatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang layak mendapat peringatan”. Itulah pernyataan Rasulullah, ketika beliau dan pasukannya memasuki wilayah Khaibar. Lalu beliau berdoa, sebelum mengomandoi pasukannya untuk maju bertempur: “Ya Allah, Rabb langit dan bumi serta apa saja yang dinaunginya. Dan Rabb bumi yang tujuh dan apa saja yang dikandungnya. Rabb syetan-syetan dan siapa saja yang disesatkannya. Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan daerah ini, kebaikan penduduknya, kebaikan apa saja yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan daerah ini, kejahatan penduduknya, dan kejahatan apa saja yang ada di dalamnya. Majulah kalian semua dengan nama Allah!”.
Ketika Rasulullah hendak menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib, ternyata dia lagi sakit mata. Lalu Rasulullah meruqyahnya dan meludahi kedua matanya, seketika itu juga Ali sembuh dari penyakitnya, seakan dia tidak pernah merasakan sakit mata sama sekali.
Singkat cerita, setelah benteng demi benteng ditaklukkan dan dikuasai oleh pasukan Islam. Ibnu Abil Haqiq (tokoh Yahudi Bani Nadhir) mengirim utusan ke Rasulullah, untuk menawarkan perundingan dan gencatan senjata, agar orang-orang Yahudi yang di dalam benteng tidak dibunuh, anak-anak tidak ditawan, mereka siap meninggalkan Khaibar bersama keluarga, meninggalkan semua harta kekayaan mereka. Rasulullah setuju dan berkata, “Aku juga membebaskan kalian dari perlindungan Allah dan Rasul-Nya apabila kalian masih menyembunyikan sesuatu dariku”.
Karena banyaknya harta rampasan yang didapat dari perang Khaibar, maka Ibnu Umar berkata: Sebelumnya kami tidak pernah merasa kenyang, hingga kami menaklukkan Khaibar. Aisyah juga berkata: Sekarang kami bisa kenyang karena makan korma. Karena begitu gembiranya Rasulullah akan kemenangan Khaibar, yang ditambah dengan kedatangan Ja’far bin Abi Thalib beserta rombongan dari Habasyah (Eithopia d Eritria), maka Rasulullah memberi sambuta “Demi Allah, aku tidak tahu karena apa aku bergembira, entah karena penaklukan Khaibar atau karena kedatangan Ja’far.”
Dan masih banyak keberhasilan dan kemenangan lainnya yang menolak mitos bulan Shafar sebagai bulan turunnya bencana, seperti yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah, sebelum diutusnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Shafar adalah bulan seperti bulan lainnya, dalamnya Allah menentukan kebaikan dan juga bencana bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak selayaknya kita menyebut bulan tertentu adalah bulan bencana, atau menyebut bulan yang lain sebagai bulan keberuntungan. Karena bencana dan keberuntungan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Kepada Allah kita memohon keberuntungan dan hanya kepada Allah lah kita berlindung dari bencana dan segala jenis mara bahaya.
Maka dari itu, janganlah kita pesimis dengan datangnya bulan Shafar, atau malas berkarya, apalagi melakukan ritual menyimpang, yang justru mengundang murka Allah. Kita boleh berobsesi dibulan Shafar ini atau dibulan lainnya, untuk mengulang kemenangan gemilang yang pernah diukir oleh para pendahulu kita, yaitu penaklukan kaum Yahudi yang berada di Khaibar. Karena kaum Yahudi sekarang tak ubahnya seperti para nenek moyangnya terdahulu, sebagai bangsa yang licik dan arogan. Keberadaan mereka di bumi ini, khususnya ditengah komunitas kaum muslimin, tak ubahnya seperti duri dalam daging yang selalu menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan. Mereka bagaikan bom waktu, yang setiap saat bisa meledak dan meluluh lantakkan apa dan siapa saja yang di sekelilingnya. Keberadaan mereka sangat mengganggu stabilitas keamanan kaum muslimin, terutama yang hidup berdampingan dengan mereka.
Sampai kini arogansi dan kebrutalan orang- orang Yahudi di bumi Palestina dan sekitarnya belum terbendung. Belum hilang rasa duka kaum muslimin di dunia ini, atas Syahidnya Pemimpin spiritual HAMAS Syaikh Ahmad Yassin rahimahullah. Dengan biadabnya, mereka mengulangi arogansinya dengan merudal pemimpin HAMAS yang baru, yaitu Syaikh Abdul Aziz Ar-Rantisi rahimahullah. Entah siapa lagi para pimimpin kita yang sudah menjadi target sasaran mereka berikutnya. Yang pasti mereka tidak akan berhenti untuk menindas kaum muslimin, kalau kaum muslimin tidak berani melawan dan hanya diam seribu bahasa, atau bisanya hanya meratap dan mengutuk.
Sudah saatnya kita galang persatuan, kita kokohkan solidaritas kaum muslimin, dan kita kuatkan tali kehambaan kita kepada Allah, dengan selalu menelusuri sunnah-sunnah Rasul- Nya, dan meninggalkan ritual-ritual yang menyimpang agar Allah selalu bersama kita. Khaibar Khaibar ya Yahud!, Jaisyu Muhammad Saufa Ya’ud!
Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M