Kenangan di Surga

Surga itu bukan dunia. Surga itu kekal sedangkan dunia itu fana. Demikian pula dengan segala jenis kenikmatan yang ada di dalamnya. Kenikmatan dunia itu tidak ada yang abadi. Semua orang memahaminya dengan baik. Karena begitulah memang realitanya. Tak seorang pun yang merasakan kebahagian yang abadi. Suka dan duka silih berganti.

Lain halnya dengan kehidupan di surga. Bebas penderitaan, kepedihan dan penyakit. Tidak ada lapar. Tidak ada haus. Dalam surat Thaha ayat 118-119 Allah berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya yang menegaskan bahwa dalam kehidupan surga tidak ada lapar dan dahaga.

‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Di surga juga tidak ada noda dan kotoran, meski penghuninya selalu makan dan minum. “Sesungguhnya penghuni surga makan dan minum di dalamnya. Mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar dan tidak mengeluarkan ingus.’ Para sahabat bertanya, ‘ke mana sisa makanannya?’ Rasulullah menjawab, ‘menjadi sendawa seperti sendawa misik’.” Begitulah Imam Muslim meriwayatkannya dari Jabir bin Abdullah.

Masalahnya bila penghuni surga kekal di dalamnya, dan terbebas dari penderitaan, kepedihan atau penyakit. Tidak ada lapar dan haus. Tidak ada noda dan kotoran, tapi mengapa penghuni surga makan dan minum dan memakai wangi-wangian dan menyisir rambut?

Al-Qurthubi menjawab pertanyaan dalam kitabnya at-Tadzkirah, “Kenikmatan penghuni surga dan pakaian mereka bukanlah karena rasa sakit yang mereka alami. Mereka tidak makan karena lapar dan tidak minum karena haus. Mereka tidak memakai wangi-wangian karena berbau busuk, tetapi merupakan kelezatan yang terus menerus dan kenikmatan yang berturut- turut.”

Bukankah Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Hikmahnya adalah Allah mengenalkan mereka di surga dengan jenis yang dulu mereka nikmati di dunia. Allah menambahkan pada mereka terhadap hal-hal tersebut apa yang hanya diketahui Allah.” (At-Tadzkirah, Qurthubi hal 475)

Ibnu Katsir senada dengan Imam Qurthubi. Setidaknya hal ini tergambar dengan jelas ketika ia menafsirkan surat al-Waqi’ah ayat 17- 19 yang artinya, “Mereka dikelilingi oleh anak- anak muda yang tetap muda. Dengan membawa gelas, ceret, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pusing karenanya dan tidak pula mabuk.”

Ibnu Katsir mengatakan, “Kepala mereka tidak pusing, akal mereka tidak mabuk, tetap tetap sehat disamping kenyamanan dan kelezatan yang dirasakannya.”

Jadi, meski nama makanan atau minuman itu sama dengan apa yang mereka kenal di dunia namun hakekatnya sangatlah jauh berbeda. Tingkat kenikmatan dan kelezatannya juga tidak bisa dibandingkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN