Tahun 1999, beberapa dukun di desa Rongkop Gunung Kidul gerah. Daerah kekuasaan mereka yang selama ini adem ayem kedatangan seorang guru TPA. Ustadz Medi, demikian guru muda itu biasa dipanggil. Bila kedatangannya hanya mengajar baca tulis Al-Qur’an, tentu : bukan masalah besar bagi mereka. Tapi kali ini guru muda itu lain. Ia seorang yang bernyali besar. Dengan lugas ustadz Medi menerangkan bahaya syirik kepada masyarakat.
Kegigihan ustadz Medi pun menuai badai dari para dukun. Mereka bereaksi keras. Dengan diwakili seorang dukun yang dituakan mereka ingin adu kekuatan. “Bila kamu memang hebat, pegang keris ini,” ujar sang dukun dengan geram, sambil mengacung-acungkan kerisnya.
Dengan tenang, ustadz Medi meraih keris. Menerima tantangan sang dukun. Sejurus kemudian, mulutnya komat-kamit membaca surat al-Fatihah. Saat terdengar, “lyyaka na’budu waiyyaka nasta’in,” dari bibir ustadz Medi, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Keris sang dukun menjadi lentur. Dan… subhanallah, keris itu melengkung. Seperti setangkai bunga yang layu.
Bukan main terkejutnya sang dukun, “Sudah sekian lama saya mempelajari ilmu. Sampai saya harus menjalani bertapa dengan menggantung di pohon. Tapi ternyata tidak ada apa-apanya dengan bacaan al-Fatihah,” katanya dengan suara lirih.
Peristiwa luar biasa itu meluluhkan hati sang dukun. Keris layu itu mengantarkannya ke gerbang pintu taubat. Maha Suci Allah, sang dukun itu akhirnya dengan rendah hati belajar : membaca Al-Qur’an. Ustadz Medi membimbingnya belajar iqra’ dari jilid pertama. Taubatnya :sang dukun ini, tak lama kemudian disusul oleh tiga dukun lainnya.
Ghoib, Edisi No. 16 Th 2/ 1425 H/ 2004 M