Wajah dan tatapan matanya menyiratkan tanda-tanda cerdas. Tubuhnya tampak sehat. Dialah Khabbab bi Arrat yang kala itu berstatus budak. Umurnya yang masih belum baligh membuat Ummu Anmar al-Khuza’iyyah tertarik membelinya. Ummu Anmar saat itu sedang berkeliling di pasar budak mencari seorang budak yang bisa dijadikan pembantu dan untuk memungut hasil pekerjaannya.
Di tengah perjalanan Ummu Anmar menanyakan asal-usul Khabbab yang dia nilai agak berbeda dengan budak lainnya. Khabbab bercerita bahwa dia sebetulnya anak arab, bapaknya bernama Al-Arrat dari Bani Tamim di daerah Najed. Ummu Anmar sedikit heranĀ kenapa Khabbab sampai menjadi budak. Khabbab menjelaskan bahwa pada suatu hari, satu kabilah Arab datang dan merampok di daerahnya. Binatang ternak diambil paksa, para perempuan ditawan dan anak-anak ditangkapi. Khabbab termasuk salah seorang anak yang ditangkap dan dijadikan budak, lalu diperjualbelikan, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain sampai akhirnya berada di tangan Ummu Anmar.
Melihat potensi besar yang dimiliki Khabbab, Ummu Anmar menitipkan Khabbab ke salah seorang pandai besi di kota Makkah untuk mempelajari cara membuat pedang. Dalam waktu singkat Khabbab bisa menguasai teknik pembuatan pedang yang baik. Dia mahir dalam membuat pedang.
Setelah umurnya bertambah dewasa dan tubuhnya semakin besar, Ummu Anmar menyewa sebuah tempat untuk dijadikan bengkel yang nantinya Khabbab disuruh bekerja di bengkel itu untuk mendapatkan keuntungan dari pembuatan pedang. Dalam tempo singkat Khabbab sudah terkenal sebagai ahli pembuat pedang yang bagus. Ramailah orang-orang membeli pedang darinya. Di samping keahliannya dia juga dikenal jujur dan selalu berkata benar. Ini semua menambah daya tarik dan kepercayaan orang untuk membeli pedang buatannya.
Meski usianya masih muda, tapi Khabbab mempunyai pemikiran yang sempurna, akal sehatnya selalu dipergunakan untuk merenungi apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia memiliki pertimbangan dan kebijaksanaan sebagaimana yang dimiliki orang tua. Di tengah- tengah istirahatnya dari membuat pedang dia sering merenungi tabiat dan perilaku orang- orang yang ada di sekitarnya. Dia melihat bahwa tradisi masyarakatnya adalah tradisi jahiliyyah. Kebodohan dan kesesatan yang merata telah membutakan kehidupan masyarakat Arab dan merupakan kenyataan yang sangat menakutkan bagi Khabbab. Dan dia menyadari bahwa dirinya adalah salah satu korban dari masyarakat semacam itu.
Di balik ketakutan dan kekhawatirannya Khabbab menaruh satu harapan suatu saat akan ada perubahan dalam tata kehidupan masyaraka ibarat secercah cahaya di tengah kegelapan yan gulita.
Tidak lama dalam penantiannya, Khabbab mendengar kabar bahwa ada seberkas cahaya yang dibawa seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah seorang pemuda dar Bani Hasyim. Khabbab yakin inilah yang dinantikan selama ini. Tidak sabar rasanya menemui orang tersebut. Khabbab menemui Rasulullah dan mendengar langsung ucapannya. Khabbab melihat keluhuran budi dan kemuliaan terpancar dari diri Muhammad. Diapun merasa sangat kecil di hadapan Rasulullah. Maka dengan keyakinan penuh Khabbab mengulurkan tangannya kepada Nabi Muhammad dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Khabbab tercatat sebagai orang keenam yang memeluk. agama Islam di muka bumi ini.
Peristiwa keislamannya tidak banyak ditutupi Khabbab, sehingga dengan mudah berita ini tersebar di seantero Makkah. Tidak terkecuali Ummu Anmar majikan Khabbab, bagai petir menyambar telinganya mendengar kabar itu. Ummu Anmar marah bukan kepalang. Dengan ditemani saudaranya, Siba bin Abdul ‘Uzza dan beberapa pemuda dari Bani Khuzaah mereka menemui Khabbab dibengkelnya. Khabbab yang kala itu sedang asyik membuat pedang tiba-tiba didatangi dan ditanyai.
Siba’ berkata, “Kami mendengar kabar yang kami belum mempercayainya?
“Kabar apa itu?” tanya Khabbab.
“Kabar bahwa engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita dan mengikuti agama yang dibawa pemuda Bani Hasyim itu. Betulkah itu?” tanya Siba’.
Khabbab menjawab, “Yaa, memang aku telah keluar…! Aku beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku tidak mengakui benda-benda yang kalian sembah. Aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Selepas kata-kata itu lepas dari mulutnya, serta merta Siba’ dan rombongannya memukuli Khabbab ramai-ramai Khabbab ditendang dan dilempari dengan benda-benda apa saja yang mereka dapat. Khabbab tidak sadarkan diri dan rubuh ke bumi berlumuran darah.
Beberapa hari kemudian Siba kembali melakukan penyiksaan kepada Khabbab. Dia dibawa ke padang pasir yang panas. Di sana mereka membuka pakaian Khabbab dan menukarnya dengan baju dari besi lalu menjemurnya tanpa memberi minum sampai kelihatannya Khabbab sudah payah mereka menghampiri dan mengharap Khabbab mau kembali ke agama nenek moyang, namun ternyata Khabbab tetap teguh pada pendiriannya. Tak ayal Khabbab kembali mendapat penyiksaan yang lebih berat lagi.
Ummu Anmar tidak kalah kejamnya. Suatu hari ia mendatangi Khabbab di bengkelnya. Diambilnya besi panas dan ditempelkan di kepala Khabbab sampai kepalanya berasap karena terbakar sampai akhirnya jatuh pingsan.
Mendapat perlakuan kejam dari Siba dan Ummu Anmar, Khabbab hanya bisa mengadu dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Setelah itu Khabbab ikut hijrah ke Madinah.
Rupanya Allah memperkenankan doa Khabbab. Allah ingin memberikan balasan setimpal kepada Ummu Anmar.
Ummu Anmar menderita sakit kepala yang belum pernah diketahui jenis sakit kepalanya. Juga tak seorangpun yang tahu obatnya. Karena sangat sakit, Ummu Anmar sangat tersiksa, diapun menjadi lemah dan tak mampu berbuat apa-apa.
Seseorang memberi nasihat, “Penyakit Ummu Anmar tidak akan sembuh kecuali diberikan tusukan besi panas di kepalanya.”
Karena sangat ingin sembuh akhirnya nasihat itu diikuti juga oleh Ummu Anmar namun hasilnya sebagaimana pengobatan-pengobatan sebelumnya bukannya sembuh malah semakin parah apalagi dengan tusukan besi panas di kepalanya.
Itulah balasan yang ditimpakan kepada Ummu Anmar yang telah memberikan penyiksaan kepada seorang mukmin yang tegar Khabbab bin Arrat.
Ghoib Edisi No. 18 Th. 2/1425 H/2004 M