Dua anak kecil bermain ayunan dengan riangnya, di bawah balutan udara Kalimantan Timur yang mulai dingin sore itu. Keduanya bergurau khas anak-anak lalu meluncurlah dari bibir mungil salah seorang anak itu, “Si Lala bidadari, Jesica putri ayu, kasihaaan deh lu”.
Sepintas, nyanyian kedua anak itu adalah hal biasa. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Tapi bila ditelisik lebih jauh dan ditelusuri darimana sebenarnya sumber nyanyian itu, maka akan membuat hati kita terperana. Nyanyian itu disarikan dari sebuah sinetron mistik yang disesuaikan dengan dunia anak- anak.
Sinetron ini dengan gamblang dan tanpa tedeng aling- aling mempertontonkan bagaimana seorang anak menyelesaikan masalah mereka. Bagi anak yang baik, maka ia akan mendapat bantuan dari seorang bidadari berbaju putih yang melambangkan kebersihan jiwa- nya. Sebaliknya, anak-anak yang berjiwa jahat pun tidak perlu khawatir, ia juga akan mendapatkan bantuan dari seorang peri yang jahat berbaju hitam.
Kita pantas bersedih hati, anak-anak yang notabenenya menjadi tumpuan harapan kemajuan bangsa ini di masa depan, telah teracuni pemikiran dan akidah mereka. Segala permasalahan yang menghadang dapat diselesaikan dengan cara- cara mistis.
Apa jadinya negeri ini, bila anak-anak tidak lagi menggunakan akal dan pemikiran untuk menyelesaikan masalahnya. Orang boleh berpendapat bahwa itu hanyalah sekadar hiburan. Tapi pertanyaannya, apakah kita tega menjerumuskan anak-anak dan bangsa ke jurang hanya demi hiburan. Hanya untuk keuntungan segelintir orang?