Isak tangis nan pilu tak putus-putusnya terdengar dari seorang wanita muda. Di depannya terbujur kaku sesosok jenazah. Sesekali terdengar lengkingan yang menyayat hati menandakan kesedihan yang mendalam. Orang- orang yang berada di sekitarnya berusaha menenangkan dan menyabarkannya, namun tidak banyak berpengaruh, wanita itu masih saja larut dalam dukanya. Di tengah-tengah kenestapaannya, lamat-lamat terdengar bait-bait syair kesedihan keluar dari mulutnya. Bait syair yang membuat orang yang mendengarnya turut larut dalam suasana berkabung. Dialah Khansa, seorang wanita arab terhormat yang tengah berbelasungkawa atas kepergian saudaranya Shakhr yang sangat dekat dengannya. Kepiawaiannya dalam merangkai bait-bait syair membuat syairnya banyak dikenal dan dikutip orang. “Aku menangisinya selama setahun,” katanya. Namun semua ini terjadi di masa jahiliyahnya. Di saat dia Khansa belum mengenal Islam.
Nama lengkapnya Tamadhar binti Amru bin Al-Harits bin Asy-Syarid, setelah dia mendengar dan meyakini kebenaran dan keluhuran Islam, diapun menghadap Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya. Sejak itu diapun merubah perilakunya dengan perilaku Islami dan tunduk pada aturan-aturan Islam.
Bukan hanya itu, Khansa bukan termasuk orang yang pasif dan hanya melakukan ritual ibadah saja. Dia senantiasa berupaya untuk memberikan sumbangsih untuk agama yang dicintainya ini. Dia selalu berpikir apa dan bagaimana dia harus berbuat untuk kepentingan dan kemajuan Islam.
Dengan semangatnya yang mengebu-gebu Khansa pun mendidik anak-anaknya untuk mau berjuang dan berkorban untuk Islam. Dia mengajarkan tauhid dan akhlak, serta membekali anaknya dengan semangat untuk berjuang dan menggembleng mereka untuk tidak takut pada kematian.
Tidak heran jika anak-anaknya tumbuh dengan semangat kepahlawanan. Ini terbukti di zaman kekhalifahan Umar bin Al-Khaththab, ketika Amirul Mu’minin memerintahkan Panglima Saad bin Abi Waqqas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan Persia dalam perang Al-Qadisiyah Khansa pun menyemangati anak-anaknya untuk ikut dalam peperangan.
Empat puteranya yang sudah beranjak dewasa tanpa pikir panjang menyambut seruan itu. Keempat puteranya seakan berlomba mendaftarkan diri untuk menjemput kematian. Khansa sangat kagum dan bersyukur. Bahkan Khansa pun ikut menyertai pasukan muslimin ke medan peperangan. Pada malam harinya di saat pasukan mempersiapkan diri, Khansa mengumpulkan anak- anaknya untuk memberikan wejangan-wejangan serta mengobarkan semangat mereka berperang dan untuk tidak lari dari peperangan serta senantiasa mengharap kepada Allah untuk syahid di jalan-Nya. Khansa pun berwasiat:
“Duhai anak-anakku sekalian, sesungguhnya kalian telah memilih Islam dengan ketaatan, kalian telah berhijrah dengan sukarela dan demi Allah yang tiada ilah kecuali Dia. Sesungguhnya kalian adalah putra tumpuan harapan seorang wanita yang tidak pernah mengkhianati ayah kalian, kalian juga tidak pernah memerlukan paman, kalian tidak pernah merusak kehormatan kalian dan tidak pula berubah dari nasab kalian. Kalian mengetahui apa yang telah Allah janjikan bagi kaum muslimin berupa pahala yang besar bagi mereka yang memerangi orang-orang kafir, dan ketahuilah bahwa negeri yang kekal lebih baik dari negeri yang fana Maka ketika esok Allah menghendaki kalian masih selamat, persiapkanlah diri kalian untuk memerangi musuh dengan penuh semangat dan mohonlah kepada Allah untuk kemenangan kaum muslimin. Jika kalian telah melihat perang berkecamuk maka terjunlah kalian ke medan laga, bersabarlah kalian menghadapi panas perjuangan, niscaya kalian akan berjaya dengan harta rampasan perang dan kemulaian atau syahid di negeri yang kekal.”
Keesokan harinya, dengan semangat menggelora keempat putera Khansa terjun ke medan pertempuran. Akhirnya setelah membunuh banyak orang kafir, satu persatu anaknya gugur sebagai syahid.
Tatkala berita kematian anak-anaknya itu sampai ke telinga Khansa yang sabar maka tidak tampak di wajahnya raut kegoncangan apalagi ratapan. Begitu berbeda dengan keadaan ketika saudaranya meninggal di masa jahiliyahnya. Bahkan Khansa sempat megucapkan suatu perkataan yang masyhur dan dicatat serta senantiasa dikenang dalam sejarah, yaitu:
“Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya anak-anakku, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam Rahmat-Nya.”