Korban Pewarisan Paksa Ilmu Kera

dongengApa salahnya menjadi cucu ‘orang sakti’? Tidak ada yang salah memang. Tapi cucu ‘orang sakti’ berbeda dengan cucu orang biasa. Ia bisa mewarisi ilmu sang kakek tanpa harus susah-susah belajar. Tinggal mengasah, ia pun bisa ‘sesakti’ kakeknya. Masalahnya, tidak

 

semua cucu yang ‘terpilih’ mau mewarisi ilmu sang kakek. Di sinilah, masalah kemudian muncul. Keengganan itu berbuah petaka. Sang cucu pun didera sekian macam gangguan. Sering kesurupan, emosionalnya tinggi, hingga sakit fisik lainnya. Seperti yang dialami Rosa. Sang cucu itu, meuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib dengan didampingi ibunya.

Senja di tahun 2000, rona kesedihan menyeruak di tengah makam. Tubuh saudara sepupu saya sedikit demi sedikit tertimbun tanah. Tepat di samping makam paman yang telah mendahuluinya. Keheningan menyelimuti acara pemakaman itu. Tak terdengar kegaduhan dari puluhan orang yang mengelilingi makam. Di saat yang hening itu, saya dikelutkan oleh suatu pemandangan yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Almarhum paman menangis di dalam kuburnya. Saya tidak mempercayai pandangan mata saya.  Brerkali-kali saya usap mata ini, tapi pemandangan memilukan itu masih terlihat. Almarhum paman menangis di dalam kuburnya. Saya gelisah. Keringat dingin mengucur perlahan, membasahi kulit. Setelah itu, saya pun tidak tahu apa yang terjadi. Tubuh saya terkulai lemas dan … tidak ingat apa-apa lagi.

Kata ibu, suasana makam semakin menakutkan. Orang-orang yang ikut mengantar ke pemakaman terkesima. Namun, tidak banyak yang mereka lakukan. Mereka hanya membiarkan saya tergolek sebelum akhirnya tersadar kembali. Dan saya pun pulang ke rumah dengan badan lemas. “Tidak apa-apa, Rosa tidak sakit. Dia punya ilmu keturunan,” kata seorang dukun kepada ibu.

Kebetulan, saat itu memang ada seorang dukun yang ikut melayat. Dialah yang kemudian menenangkan keluarga, agar tidak terlalu mencemaskan keadaan saya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak lama lagi Rosa akan sadar dengan sendirinya,” katanya menenangkan.

llmu warisan? Sebuah pertanyaan yang selama ini tidak terpikirkan muncul dengan sendirinya. Pertanyaan demi pertanyaan terus menyusul. Membawa saya mengenang kembali kisah heroik kakek, mantan anggota KNIL yang bergabung dengan lndonesia.

Di masa perang kemerdekaan, kakek yang katanya bisa menghilang, sering mendapat tugas di barisan depan. Selain itu, kakek juga memiliki ilmu malih rupa. Terkadang kakek menyerupai macan dan di lain saat menyerupai kera. Ltulah sebagian dari kisah kakek yang saya dengar.

Suatu hari, ketika saya melihat gambar kera putih yang terkenal dengan sebutan Hanoman, saya langsung teringat dengan keris kakek yang gagangnya menyerupai kepala kera. Selain memiliki dua bilah keris dan delima merah, kakek juga menanam bunga wijaya Kusuma di depan rumah. Bunga itu mendapat perlakuan khusus dari kakek.

Selama ini, saya kurang akrab dengan kakek, lantaran kesibukannya yang menyita waktu sebagai perwira menengah di dinas militer. Ramalan dukun itu pun saya anggap angin lalu semata.

Seiring dengan berjalannya waktu, kesibukan kakek kian berkurang. la yang sudah sepuh itu banyak menghabiskan wlktu di rumah. Sehingga ketika saya main ke rumahnya, di daerah Bogor, Jawa Barat ada kesempatan untuk bertemu dengannya. Dalam pertemuan-pertemuan singkat itu, saya merasa ada yang berbeda dengan tatapan mata kakek. Tidak seperti cucunya yang lain. Kakek selalu menatap saya dengan tajam. Sepuluh menit lamanya mata yang tajam itu menatap saya. Tanpa kata tanpa suara.

Ditemani Dua Makhluk Hitam

Aneh, pengaruh tatapan itu langsung terasa. Badan saya menjadi berat. Seakan ada beban yang merasuk ke dalam diri saya. Di lain kesempatan tanpa alasan kakek ingin melihat melihat telapak tangan saya. “Rosa, sini! Mbah mau tanganmu,” ujar kakek. “Ada apa Mbah?” Tanya saya sambil mendekat. “Sini! Mbah mau lihat tanganmu.” Kakek menatap dengan seksama  telapak tangan saya. Saya pun dibuatnya keheranan. “Kamu bakalan jadi orang hebat,” kata kakek memecah kebisuan.

Saya tidak tahu, apa yang dimaksud dengan mejadi orang hebat itu. Apakah itu pertanda bhwa perkataan dukun dulu akan terbukti? Lalu mengapa harus saya yang terpilih. Mengapa bukan kakak lelaki saya.

Seiring dengan bertambahnya usia, kakek semakin sering sakit-sakitan. Hubungan saya dengan kakek pun semakin dekat. Bila ada kesempatan, saya selalu menjenguk kakek dan mengurus segala keperluannya. Sebaliknya perhatian kakek kepada saya pun semakin besar. Seperti yang terjadi di suatu malam, saat saya sedang tiduran sambil membaca majalah, kakek menghampiri dan menyelimuti saya.

Beberapa saat kemudian, antara sadar dan tidak saya melihat dua makhluk laki-laki dan perempuan menghampiri. Badannya yang hitam menghalangi saya melihat wajahnya dengan jelas. “Kami akan menjadi temanmu. Kami akan menjagamu,” itulah kata-kata yang sempat saya dengar sebelum kedua makhluk itu menghilang.

Keesokan harinya saya bercerita kepada kakek. “Mbah, semalam Rosa disamperin dua makhluk hitam,” kata saya. “Tidak apa-apa. Mereka itu teman,” jawab kakek acuh tak acuh. Saya masih tidak mengerti dengan maksud kakek, tapi untuk mempertanyakannya kembali saya segan. Saya biarkan semuanya mengalir seperti air begitu saja.

Suatu hari, saya merasakan ada getaran-getaran aneh. Saya menangkap sebuah firasat buruk yang akan terjadi. “lbu, hari Rabu Mas Ali kan menikah, hari Sabtunya giliran Mbah Kakung meninggal.” Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa dapat saya cegah.

lbu sempat marah mendengarnya. “Ros, hati-hati kalau bicara. Nanti bapak bisa marah. Orangtuanya dibilang mau meninggal,” kata ibu. “Ntar ibu lihat saja,” jawab saya tidak mau mengalah.

Firasat saya itu pun meniadi kenyataan. Seminggu kemudian kakek meninggal, tepat di hari Sabtu. lbu hanya geleng-geleng kepala melihat apa yang teriadi. Akhirnya bersama dengan ibu, saya segera bergegas ke Depok. Meski sudah mendapat firasat kakek akan meninggal, tapi di hari Sabtu itu saya tidak menemaninya. Karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggal.

Saat menghadiri pemakaman, keanehan yang terjadi beberapa tahun lalu kembali terulang. Rombongan pelayat berseragam prajurit kraton mengelilingi makam kakek. Kehadiran mereka sepertinya tidak diketahui oleh orang-orang yang saat itu menghadiri pemakaman.

Pasukan bersenjata yang telah bersiap-siap memberikan penghormatan ala militer pun tidak terusik dengan kehadiran prajurit ghaib itu. Semuanya tenggelam dalam perasaan masing-masing. ‘Door, door, door’ rentetan tembakan salvo terdengar mengiringi pemakaman kakek.

Suasana kembali sunl. Saat itulah saya mendengar suara monyet. Seekor monyet nampak berusaha mendekati saya. Sebelum akhirnya hilangtak berbekas. Monyet itu hilang begitu saja. Kehadirannya terhalang oleh saudara sepupu saya yang berdiri di samping saya. Dan saya pun tidak mempedulikannya.

Sepeninggal kakek, bunga Wijaya Kesuma dirawat nenek. Tanarnan yang hanya berbunga setiap bulan purnama itu pun kini mendapat tugas baru. La menjadi sesajen yang diaruh nenek di dalam kamar. Bunganya yang mirip ular naga itu memang mengerikan.

Waktu kembali berjalan seperti biasa yak terasa, empat puluh hari telah berlalu. Dua makhluk hitam itu kembali hadir. Dan kembali, mereka menegaskan komitmennya. “Kami disuruh menjaga kamu.” entahlah, mengapa saya harus dijaga? Kalau memang benar itu adalah ilmu warisan, mengapa saya yang harus menerimanya bukan cucu-cucu kakek yang lain?

Sederetan pertanyaan itu membawa saya menerawang kembali perjalanan masa lalu. Apakah ada pengaruh antara lama seseorang dalam kandungan seorang ibu dengan kemampuan mempelajari ilmu. Sejujurnya, menurut cerita ibu, saya baru terlahir setelah tiga belas bulan berada dalam kandungan. Selain itu, sejak kecil pola makan saya berbeda dengan anak-anak yang lain. Sampai berumur lima tahun, saya hanya mau makan nasi putih. Tanpa lauk, tanpa sayur-mayur.

Kehadiran dua makhluk di hari keempat puluh itu membawa suasana baru, punggung dan kaki saya semakin berat. Rasanya ada sosok lain yang menyatu dalam diri saya. Pada sisi lain, hubungan saya dengan bapak semakin parah. Sejak kecil, saya memang terkenal sebagai anak yang berani melawan perintah bapak. Berbeda dengan saudara-saudara saya. Kebiasaan itu pun terus berlanjut bahkan semakin parah.

Saya semakin mudah tersinggung. Seperti yang terjadi di suatu siang, setahun setelah kakek meninggal. Dua makhluk hitam itu mengeluarkan bisikan yang mematikan di saat saya bersitegang dengan bapak. “Mendingan kamu bunuh saja. Dia itu musuh kamu yang nyata. Bunuh saja.” Emosi saya tersulut.

Pisau yang tergeletak di atas meja itu melesat ke tangan saya. Seperti ada medan magnit di tangan yang menarik pisau itu. “Sekarang kamu jalan! Habisi dial” bisikan itu kembali mengarahkan langkah saya. Sebenarnya saya tidak mau melangkah, tapi kaki saya seperti ada yang menggerakkannya. Satu dua langkah. Saya berusaha mempertahankan diri, tapi dorongan untuk membunuh bapak ltu begitu kuatnya. Akhirnya, … Astaghfirullaaah, pisau itu pun terlepas dengan sendirinya. Kalimat istighfar itu telah mengalahkan bisikan-bisikan syetan itu.

Selain bisikan mematikan, kedua makhluk itu juga sesekali memperalat saya. Mereka hadir di dalam mimpi dan ininta dimandikan dengan menggunakan perantara badan saya. Mereka minta dimandikan dengan air kelapa hijau setelah Shubuh. Dua buah kelapa hijau pun mengguyur badan saya.

Alhasil, kekuatan yang saya miliki pun semakin tinggi. Teman-teman semakin takut melihat saya. Katanya, tatapan mata saya memancarkan hawa yang menakutkan. Tidaklah mengherankan bila kemudian tidak ada pemuda yang tahan berpacaran dengan saya lebih dari dua bulan.

Tamat SMA, saya diterima bekerja di sebuah toko swalayan. Di saat itulah saya dikenal sebagai seorang tukang ramal. Berita itu bermula ketika saya melihat seorang satpam yang sedang pasang togel. Saya perhatikan nomer yang dipasangnya tidak akan keluar. Dan secara reflek saya menyarankannya untuk merubah nomer pasangannya “Pak, pasang nomor 89 saja. Ntar keluar,” ujar saya spontan.

Entah mengapa, satpam itu percaya dengan omongan saya dan dia pun merubah nomornya tebakannya. Memang, yang keluar kemudian angka 89. Sejak itu, berita sebagai tukang ramal togel pun tersebar dari mulut ke mulut “Kalau mau pasang togel, tanya saja ke Rosa.” Meski tebakan saya benar, tapi saya tidak pernah mau menerima uang pemberian dari hasil judi tersebut. Dengan ringan saya katakan, “Nggak usah”.

Selain memberikan nomor togel, sesekali ada juga bisikan dalam hati yang menyuruh saya untuk menolong seseorang. Seperti yang terjadi ketika ada seorang teman kerja yang terkena sihir. Namanya Sita. Selalu timbul perasaan benci tatkala melihat suaminya. Saya menangkap kesan yang aneh memang Saya pun mencoba melakukan kontak batin dengan dukun yang mengirimkan guna-guna itu Ternyata dia adalah seorang wanita dengan perawakan kecil. “Malam nanti jangan tidur di lantai. Akan ada kalajengking dan ular yang datang,” kata saya kepada Sita. Kata-kata itu terucap begitu saja tanpa saya sadari. Keesokan harinya Sita menceritakan pengalamannya semalam, “Ada kalajengking dan ular yang masuk ke dalam rumah saya,” ujar Sita.

Itu bukan kali pertama saya berhubungan dengan dukun. Beberapa tahun silam, seorang dukun selalu datang ke kampung saya dua kali seminggu. Setiap kali datang, ada saja orang yang datang berobat. Suatu ketika saya dibawa ibu untuk berobat. Barangkali pingsan yang serig datang itu bisa dihilangkan. Dukun itu meminta saya untuk menjulurkan kedua tangan. Ia pun menjulurkan kedua tangannya menyentuh tangan saya.

Apa yang tidak diperkirakannya pun terjadi. Ada tarik menarik tenaga. Kedua tangan kami bergetar hebat. Wajah dukun itu membiru. Dari hidungnya keluar ingus. Sementara saya sendiri tidak mengalami perubahan apa-apa. Akhirnya dukun itu menyerah dan tidak melanjutkan prosesi pengobatan. Sejak itu, dukun tersebut tidak pernah lagi nongol. “Dukun itu kalah sama Rosa,” Begitulah bisik-bisik tetangga yang sempat terdengar.

Perjuangan Melawan Dua Makhluk Hitam

Di tempat kerja dengan suananya yang menyenangkan tetap saja tidak bisa menghilangkan penyakit kambuhan itu. Saya sering pingsan. Nyaris seminggu dua kali, meski setengah jam kemudian sadar kembali. Tapi tidak urung membuat heboh teman-teman. Lantaran, enam orang yang mengangkat tubuh saya masih merasa keberatan. Dari sini, ada yang mulai curiga bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan diri saya.

Waktu itu ada yang menyarankan saya untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Saran itu saya biarkan saja, hingga kemudian saya kembali tergerak untuk mengikuti ruqyah setelah melihat sinetron Astaghfirullah. Setelah mendaftar saya mendapat giliran satu bulan kemudian. Belum seminggu dari pendaftaran, saya kembali dibawa ibu ke Majalah Ghoib, lantaran tingkah laku saya yang menyerupai kera. Saya yang tidak suka dengan pisang berubah total. Satu sisir pisang habis saya lahap sambil mengangkingkan salah satu kaki. Mirip dengan gaya seekor kera yang sedang makan pisang.

Akhrinya saya diterapi Ustadz Rahmat di mushalla, karena waktu itu jadwal pasien laki-laki. Sepulang dari terapi yang pertama gangguan yang saya alami semakin hebat. Suatu siang ibu memasak air. Sudah satu jam air dimasak, tapi belum juga mendidih. Padahal air dalam panci itu semakin menyusut. Tinggal menyisakan sedikit. Ibu yang sudah melihat reaksi saya ketika diruqyah, akhirnya mengambil garam dan menaburkannya ke kompor.

Saya yang saat itu berada di dalam kamar, merasakan hawa panas yang luar biasa. Saya menjerit jerit. “Panas, Panaaas.” saya berlari ke dalam kamar mandi dan langsung menceburkan diri ke dalam kolam. Meski sudah berendam di kolam, tapi hawa panas itu masih terasa. Selang beberapa saat kemudian, saya pun pingsan.

Saat tersadar, saya sudah berada di kamar di kelilingi ibu dan kakak. Katanya, mereka terus membaca ayat Kursi disaat saya tidak sadarkan diri.

Hawa panas kembali menyerang tatkala saya mendengar adzan, atau bacaan al-Qur’an. Seperti yang terjadi suatu siang, ketika saya sedang tidur, adik saya membaca al-Qur’an di samping saya. Tiba-tiba tangan saya bergerak begitu saja menampar adik, tanpa dapat saya cegah. Adik pun lari tunggang langgang, meninggalkan saya yang sedang kerasukan.

Setelah terapi ruqyah, saya semakin tidak bisa menguasai diri. Ada saja yang saya lakukan tanpa sadar. Lari ke jalan atau bahkan menceburkan diri ke dalam kali. Untuk menghindari kemungkinan terburuk, praktis saya selalu dalam pengawasan keluarga. Bahkan saat tertidur lelap pun kakak atau ibu selalu berada di samping saya. Keluarga hidup dalam kekhawatiran. Takut bila sewaktu-waktu saya berontak dan melarikan diri.

Seminggu kemudian, saya mengikuti terapi yang kedua. Seperti yang pertama saya bereaksi dengan keras saat diterapi. Setelah dua kali mengikuti terapi di kantor Majalah Ghoib, keluarga saya berbenah diri. Kakak menyuruh ibu untuk membeli kaligrafi ayat Kursi dan surat al-Fatihah. Rencananya kaligrafi itu akan dipasang di dinding.

Belum sempat kaligrafi itu terpasang, ia sudah robek-robek saya hancurkan. Saya tusuk-tusuk dengan pisau. Tidak cukup menghancurkan kaligrafi, masakan mama yang masih tergeletak di dapur saya aduk-aduk. Saya campur dengan sampah.

lbu yang saat itu masuk ke dalam terkejut melihat perkembangan yang tidak diduganya. lbu menjerit melihat saya masih memegang pisau dan siap untuk menghancurkan apa saja. Sesekali, menurut cerita ibu, saya memasukkan ujung pisau ke dalam mulut. lbu kembali menjerit memanggil kakak. Jeritan yang menarik perhatian tetangga. Mereka berusaha keras melumpuhkan saya. Sambil memperdengarkan kaset ruqyah.

Akhirnya ibu berinisiatif menelpon ke Majalah Ghoib dan meminta salah seorang ustadz untuk datang ke rumah. Waktu itu Ustadz Rahmat yang datang ke rumah. Saat ugadz Rahmat datang, menurut cerita ibu, saya mengatakan bahwa saya sudah sadar. “Sudah deh, saya sudah sadar.”

Tapi yang terjadi kemudian, saya gunakan kebohongan untuk melarikan diri. Jin yang merasuk ke dalam diri saya membawa saya berliri ke kebon di samping rumah. Seperti seorang pencuri, saya dikejar-kejar kakak bersama warga. Mereka berusaha menangkap saya. Akhirnya saya pun tidak lagi menemukan tempat untuk berlari dan kembali menjadi tertangkap. Setelah beberapa saat diterapi Ustadz Rahmat saya pun tersadar.

Dijemput Kereta Kencana Ratu

Suatu hari saat kesurupan jin yang merasuk ke dalam diri saya mengatakan bahwa nanti malam ratu akan datang. Jin itu memperingatkan keluarga agar selalu berdoa dan membaca surat Yasin. “lbu harus waspada. Jam 12 malam jangan tenidur. Tolong jangain Rosa. Karena Ratu mau datang,” begitulah kata-kata jin itu seperti ditirukan ibu.

Keluarga berada dalam kekhawatiran. Mereka tidak berani tidur. Selepas shalat lsya’ ibu tidak henti-hentinya membaca surat Yasin. Bapak membaca ayat Kursi dan surat-surat pendek lainnya. Sementara kakak selalu mendampingi saya kemanapun saya melangkah. Tidak ubahnya seorang pengawal.

Waktu terus merambat tepat iam 12 malam terdengar bunyi kereta kencana dari atap rumah. Saya terus membaca surat Yasin dengan air mata berlinang. Suasana  begitu mencekam. Sementara saya sendiri, waktu itu antara sadar dan tidak duduk meringkuk di pojokan kamar.

Suara kereta kencana itu terus terdengar. Suara gedebak-gedebuk, seperti orang berlari terdengar dari samping rumah. Untuk menghindari kemungkinan terburuk di atas jendela dan lubang angin di taruh Qur’an. Semoga dengan itu akan banyak membantu.

kegaduhan suara kereta kencana itupun terdengar oleh tetangga di kanan kiri. Dari mereka keesokan harinya saya dapat cerita bahwa di malam itu, Ridho salah seorang tetangga sebelah sempat melihat melalui jendela rumahnya. Ridho melihat sosok seperti kera bertengger di atas pohon. Dia seperti mencari anaknya yang hilang tapi tidak berani masuk ke dalam rumah.

Ada beberapa tetangga yang pernah bertanya kepada ibu, kenapa sering terdengar suara anak monyet dari dalam rumah saya. lbu yang mendapat pertanyaan itu tidak bisa menjawab apa-apa. Lbu hanya terdiam, karena kenyataannya memang begitu.

Kami sekeluarga khawatir bila tetangga berpikiran negative dan menganggap kami mencari pesugihan kera. Tapi apa boleh buat, saya tidak bermaksud mempelajari ilmu hitam atau ilmu tertentu untuk mencari kekayaan. Jin itu datang dengan sendirinya, tanpa saya undang. Yang bisa kami lakukan hanyalah mengurangi pertemuan dengan tetangga. Malu, itu saja lasannya.

Menurut cerita ibu, saya pernah bertingkah laku seperti kera ketika berangkat ke kantor Majalah Ghoib. Kalau melihat pohon pisang di sekitar rumah katanya saya ingin memanjat pohon pisang itu. Sampai orang-orang yang melihat merasa kasihan. “Ya Allah, kasihan banget. Anak ini kok bisa begitu.” Begitulah komentar tetangga yang melihat keanehan saya.

Ketika diterapi di kantor Majalah Ghoib, jin yang ada dalam diri saya mengatakan, “Salah sendiri kakeknya ngilmu kamu yang kena. Kakek kamu tuh punya Perjanjian.” Kata jin itu lagi. “Perjanjian apa! Yang melakukan Perjanjian itu kakeknya, kenapa cucunya yang kena. Cucunya tidak tahu apa-apa,” sanggah Ustadz. Setelah sekian lama ustadz berdialog dengan jin kera, akhirnya jin itu mau masuk lslam sebelum keluar.

Alhamdulillah setelah berkali-kali mengikuti terapi ruqyah, perlahan gangguan jin itu semakin berkurang. Meski pada mulanya seakan meningkat, tapi lama kelamaan menurun juga.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 53/3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN