Lima bulan dalam dekapan Sihir Sepupu

Tak ada kebaikan di tengah kedengkian. Tak ada keharmonisan dalam balutan sifat iri dan dengki. Memang, sifat ini menjadi senjata utama syetan untuk memisahkan seorang manusia dengan lainnya. Bahkan orang-orang yang seharusnya hidup dalam jalinan kasih sayang, karena mereka masih satu keluarga besar. Satu darah. Seperti penuturan Vera, seorang mahasiswi yang menjadi bulan-bulanan sihir sepupunya. Hanya karena sifat iri dan dengki. Vera menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghaib di pinggiran Jakarta Selatan.

AHAD siang itu, saya sedang asyik melayani seorang pengunjung parneran intel di (JCC) Jakarta Convention Center, ketika seorang wanita muda datang menghampiri. Rina namanya. la bukan orang yang asing lagi bagi saya. Karena Rina masih terhitung kerabat sendiri, la anak tante dari Yogya, Jawa Tengah yang sedang kuliah di Jakarta. Meski tidak serumah dengan saya, tapi kos-kosannya tidak terlalu jauh dari rumah.

Awalnya, saya terkejut melihat kemunculannya di arena pameran ini. Tidak seperti biasanya, ia menemui saya di tempat kerja. Saat itu saya sedang bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) untuk sebuah produk elektronik. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman dan uang jajan, karena saya sedang menempuh pendidikan PR (Public Relation).

“Hai, Rin. Apa kabar?” sapa saya dengan lembut. Rina yang sudah semakin mendekat, masih tidak menjawab. la terkesan cuek dengan sapaan basa-basi itu. Tapi di luar perkiraan saya, pertemuan itu justru membuka kembali luka lama yang sudah ingin saya kubur.

Saya akui hubungan kami selama ini memang terbilang tidak harmonis. Meski usia kami tidak jauh berbeda dan jarang bertemu, tapi saya sering mendengar penuturan dari kerabat bahwa Rina suka menjelek-jelekkan saya di tengah keluarga.

Ada-ada saja berita tidak menyenangkan yang disebarkannya. Saya dibilang. suka keluyuran, suka minum minuman keras dan masih banyak lagi. Selama ini, berita tidak sedap itu hanya saya dengar dari orang lain. Saya belum pernah mendengarnya langsung dari mulut Rina.

Tapi pertemuan di arena pameran itu membuktikan kebenaran berita yang saya dengar selama ini. Perang dingin di antara kami pun kian memanas. “Ih…. udah badannya kurus, mukanya makin kelihatan lonjong aja,” kata Rina dengan sinis.

Deg, saya terkejut. Apa hubungannya dia dengan badan saya. Dan mengapa harus sibuk mengurusi orang lain. Seperti orang yang tidak punya pekerjaan saja, pikir saya. “Nggak apa-apa kurus yang penting kerja. Uangnya mau saya pakai ke Bali.” jawab saya sengit.

Pertemuan dua kerabat itu pun berakhir dengan tragis. Menyisakan bara yang kian membara. Bak api dalam sekam yang siap membakar setiap saat. Meski secara pribadi, terus terang, saya tidak peduli dengan komentar-komentar Rina yang menyakitkan selama ini. Saya menganggap itu sebagai bagian dari pelajaran tersendiri, bahwa orang yang suka iri dan dengki bisa datang dari mana saja. Bahkan dari dalam keluarga sendiri.

 

BAYANGAN KUNTILANAK YANG TERUS MEMBURU

Entahlah, apakah ada hubungan antara peristiwa Ahad siang itu atau tidak. Tapi yang jelas semenjak pertemuan itu kehidupan malan saya mulai terganggu. Ketenangan malam saya mulai terusik dengan datangnya mimpi-mimpi yang menyeramkan. Di saat orang- orang terbuai angin malam, saya terjaga dengan nafas memburu.

Badan saya bergetar hebat. Jantung saya pun berdebar kencang. Lantaran sosok perempuan berambut panjang dengan wajah menyeramkan membangunkan saya. Sosok perempuan itu berpakaian putih-putih, ia mengejar dan ingin menangkap saya. Saya berlari dan terus berlari hingga tak ada lagi kesempatan untuk menghindar. Dalam keadaan terjepit seperti itu tinggal teriakan sebagai senjata pamungkas. Saya pun berteriak keras. Atau di lain waktu sosok itu hanya berputar-putar mengelilingi rumah.

Teriakan yang pada akhirnya membuyarkan mimpi menyeramkan itu, meski bayang-bayang sosok menyeramkan itu tetap membekas. Malam demi malam, mimpi yang menyeramkan terus saja membayangi. Mimpi yang selalu datang antara jam satu sampai jam dua dini hari. Pada akhirnya, saya pun memilih tidur bersama mama. Karena saya tidak berani tidur sendirian. Mama menjadi saksi ketika saya sering terbangun tiba-tiba dengan perasaan merinding hebat lalu kemudian tangan dan kaki saya ikut bergetar.

Terus terang, saya selalu mengganti kata ‘kuntilanak’ dengan kata ‘cewek’ ketika menceritakan mimpi yang menyeramkan itu kepada mama. Karena ‘cewek’ itu. hadir di dalam mimpi bila siang harinya saya menyebut namanya.

Waktu terus bergulir, tak terasa dua minggu telah berlalu dari pertemuan Ahad siang itu. Niatan untuk pergi ke Bali menikmati panorama pantainya bersama teman- teman SMA terkabul. Meski telah lulus pada tahun 2002, tapi persahabatan di antara kami masih terpelihara dengan baik. Setidaknya hal tu berlaku untuk geng saya selama di sekolah. Ivo, Mia, Lina, Susi, Eni, dan Wita.

Selepas Ashar, bertujuh kami membeli tiket pesawat di sebuah agen perjalanan di Jakarta Selatan. Dalam perjalanan itu, saya mulai merasakan ada yang aneh dengan badan saya. Seperti ada beban ghaib yang menempel di punggung. Nafas saya pun semakin berat. Perasaan saya mulai tidak enak. Wah kenapa nih, gumam saya dalam hati.

Pikiran pun mulai tidak tenang. Rasanya ingin teriak. Saya ingin marah. Tapi marah kepada siapa dan atas dasar apa? Saya berusaha menenangkan diri sedemikian rupa, sehingga dalam perjalanan membeli tiket itu saya banyak diamnya Celotehan teman-teman tetap tidak bisa membuyarkan kegalauan jiwa ini. Hingga pada akhirnya saya sampaikan kegalauan itu.

“Ini kenapa sih, punggung gue pegel?” keluh saya kepada teman-teman saat kembali ke mobil. Tanpa banyak tanya, teman-teman mengomenteri keluhan saya dengan bercanda “Jangan-jangan ada yang nempel Ver,” jawab Ivo asal nyeplos saja. Ivo mengatakannya sambil memasang mimik ketakutan. Kontan saja, ulahnya itu disambut gelak tawa teman- teman. Saya hanya bisa cengar-cengir diledek sedemikian rupa. Saya tidak ambil pusing dengan celotehan mereka. Saya kembali terdiam. Dalam hati saya hanya bergumam, apa karena sedang datang bulan? Tapi sebelumnya saya tidak pernah merasakannya.

Dalam perjalanan pulang, beban di punggung semakin terasa berat. Nafas juga semakin sesak. Keinginan untuk teriak semakin tidak tertahankan. Dengan sekuat tenaga saya berusaha menguasai diri. Saya tidak ingin terjadi apa-apa dalam perjalanan itu. Akhirnya diam seribu bahasa menjadi senjata andalan.

Adzan Maghrib telah menggema dari menara- menara masjid, ketika saya tiba di rumah. Tetap dengan kondisi yang tidak berubah. Bahkan semakin berat. Beban di punggung kian mengganggu. Hingga saya pun mengajak mama berobat ke orang pintar “Ayo ma, badan saya terasa aneh. Berat banget. Ayo ma cepat, rengek saya kepada mama.

Yang terpikir saat itu hanya dukun, karena selama ini saya belum pernah mendengar ruqyah sebagai terapi gangguan jin yang tidak menyimpang dari ajaran agama.

Kebetulan, tidak jauh dari rumah ada seorang dukun yang lumayan terkenal Namanya Ki Tirto. Mama akhirnya mengantar saya ke rumah Ki Tirto selepas shalat Maghrib. Saya diterima di ruang tamu. Setelah mendengar keluhan saya, dukun berumur 45 tahunan itu segera mengambil menyan. la membakarnya. Asapnya meliak-liuk di udara sebelum hilang entah kemana. Sementara itu Ki Tirto komat-kamit. Suaranya lirih. Entah apa yang dibacanya, saya tidak tahu.

Hanya pengaruh dari bacaannya itu yang saya rasakan. Telinga saya semakin panas. Seakan ada sesuatu yang ingin keluar dari tubuh saya. Badan saya bergetar Hawa amarah yang menyusup sedari sore kini tidak terbendung lagi. Dan terjadilah apa yang telah terjadi. Saya kesurupan.

Tanpa dapat dicegah, dari mulut saya keluar pengakuan jin. Katanya, ia berasal dari pohon cimpedak. Memang, belum lama ini pohon cimpedak tua yang berada di samping rumah ditebang bapak. Pohon itu sudah tidak kokoh seperti dulu, la bahkan telah condong ke rumah dan dikhawatirkan akan tumbang dihempas angin yang akhir- akhir ini cukup kencang.

“Saya lagi main, rumah saya di tebang. Saya tinggal dimana?” “Nah, badan anak ini pas. Anak ini baik. Saya pun masuk saja,” kalimat demi kalimat itu meluncur begitu saja. “Saya nggak asal numpang. Kalau ada bahaya saya kasih tahu dia,” cerocos jin pohon cimpedak itu.

Ki Tirto berupaya keras mengeluarkan jin itu. Tapi la tetap bertahan. “Saya tidak akan keluar dari tubuh anak ini bila tidak dicarikan pohon tua yang lain,” katanya. Ki Tirto masih belum bisa mengeluarkan jin itu hingga malam semakin larut. Akhirnya jam sebelas malam, Ki Tirto menyerah. Saya dibiarkan beberapa saat hingga kesadaran saya kembali, Saya pun disuruh kembali lagi keesokan harinya.

Malam itu, sepulang dari rumah Ki Tirto, saya tidak lagi kesurupan. Dan keesokan harinya. Ki Tirto memberi saya beberapa bungkus kertas putih yang harus ditaruh di empat penjuru rumah. Ada juga bungkusan yang harus saya bawa kemana-mana. Semua perintah Ki Tirto itu pun kami laksanakan.

Hasilnya, saya memang tidak lagi kerasukan jin. Tapi bukan berarti saya sudah kembali seperti sedia kala. Justru setelah bertandang ke rumah Ki Tirto, keseharian saya berubah total.

 

LIMA BULAN HIDUP DALAM KEMALASAN

Kesurupan di rumah Ki Tirto itu telah merubah segalanya. Seakan telah terjadi metamorfosis dalam kehidupan saya. Saya yang dikenal sebagai seorang gadis periang berubah menjadi pemalas. Rencana berlibur ke Bali bersama teman-teman SMA pun kandas. Tiket yang sudah di tangan dan tercatat atas nama saya itu pun saya pindah tangankan. Ada teman lain yang pada akhirnya menggantikan saya.

Waktu itu perasaan saya biasa saja. Tidak ada kesedihan yang memancar, meski sebelumnya saya begitu menggebu-gebu ingin ke Bali. Berminggu-minggu saya kumpulkan uang dengan bekerja paruh waktu sebagai SPG. Namun, akhirnya kesempatan yang sudah ada di pelupuk mata itu saya biarkan lepas begitu saja. Aneh memang.

Saya juga tidak lagi bertemu Rina. Padahal nyaris setiap minggu ia main ke rumah. Bukan berarti saya menuduhnya. Tapi kenyataannya, ia memang tidak senang dengan saya. Semua anggota keluarga tahu akan hal ini. Ada saja alasannya. la sepertinya tidak senang dengan berbagai keberhasilan yang saya raih, Hanya saya memang tidak pernah menanggapinya serius.

Gagal ke Bali, sebenarnya tidak menjadi masalah. Karena masih ada hari esok. Masih ada kesempatan lain untuk berlibur ke sana. Masalahnya, sejak itu saya mulai menutup diri. Selepas kuliah, saya langsung ngacir. Saya bergegas pulang ke rumah. Padahal dulu, saya ngelayap dulu bersama teman-teman. Foto-foto di mall. Bergabung dengan geng yang sering jalan bareng.

Saya seperti seseorang yang kehilangan semangat. Terus terang, sebelumnya saya suka mengirim surat lamaran menjadi SPG dalam berbagai pameran. Tapi semua itu seakan telah menjadi masa lalu.

Pameran terakhir yang saya ikuti adalah saat bertemu dengan Rina, di JCC. Itupun berakhir dengan kurang memuaskan. Tidak banyak pengunjung yang tertarik dengan penjelasan saya. Menurut teman-teman, saya cenderung bengong. Saya menjadi SPG yang pasif. Hanya menunggu pengunjung dengan diam. Padahal itu bukanlah kepribadian saya. Manager pemasaran menyempatkan diri menegur saya. “Ver, kenapa sih kamu kok banyak bengongnya,” tanyanya ketika melihat saya sedang melamun dengan tatapan mata kosong di tengah riuh rendah pameran.

Mendapat teguran semacam itu, saya cuek saja. Tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri. Padahal dalam beberapa pameran sebelumnya, saya terbilang sukses. Semua target penjualan dapat saya penuhi. Pernah dalam sebuah pameran di Elektronik City di jalan Sudirman, dalam sehari saya bisa menjual lima product. Kulkas, TV, Elektro lux dan beberapa barang elektronik lainnya. Saya juga sering mendapat pujian dari atasan, sering mendapat bonus dan kembali dipanggil oleh perusahaan untuk pameran berikutnya.

Bahkan saya pernah menjadi SPG dengan penjualan tertinggi di antara tiga ratusan SPG, hingga mendapat ucapan selamat dari salah seorang direktur. Masalahnya, semua itu hanya tinggal kenangan.

Saya banyak berdiam diri di rumah. Dengan gaya hidup mau menang sendiri dan mudah marah. Semua keinginan saya harus terpenuhi. Bila tidak saya bisa marah kepada siapa saja. Saya tidak lagi peduli, apakah itu mama atau kakak-kakak saya. Bagi saya saat itu yang penting adalah keinginan saya tercapai. Hanya karena lauknya tidak cocok dengan selera, saya langsung marah. “Ma, lauknya kok ikan lagi sih ….” Selanjutnya saya ngomel macam-macam. Bila mama kemudian berkata agak keras sedikit, saya semakin keras melawan. Akhirnya mama memilih untuk mengalah. “Ya, besoklah, mama hari ini tidak sempat ke pasar,” jawab mama dengan pelan.

Jelas terasa mama menyadari apa yang terjadi dalam diri saya. Selama ini saya terbilang anak yang baik dan tidak suka melawan orangtua. Namun, entahlah mengapa semua itu terjadi. Waktu itu, semuanya hanya sebuah teka-teki. Tanpa ada jawaban yang pasti.

Pergantian hari justru semakin memperkeruh suasana. Bukan hanya makanan yang saya cela. Apapun yang dikatakan orangtua selalu saya bantah. Sedikit ada jawaban balik dari mama, kemarahan saya kian memuncak. Mata saya sampai melotot. Dan secara reflek saya menaikkan nada bicara saya seperti orang berteriak.

Saya juga mulai enggan mencuci. Pakaian yang kotor, saya tumpuk begitu saja. Kalau bukan mama yang mengurusinya, entah bagaimana saya harus menjaga penampilan.

Pada sisi lain, mimpi yang menyeramkan masih menjadi langganan tidur malam saya, hingga tanpa ampun saya terbangun kesiangan. Semua ini bukan untuk mencari pembenaran atas kesalahan yang saya lakukan. Tapi begitulah kenyataannya.

Hingga suatu saat orangtua terpikir untuk membawa saya ke psikiater. Apakah mungkin ada ketidaklabilan jiwa, gumam mama. Tapi keinginan mama itu saya tolak. Saya tidak mau dibawa ke psikiater, karena selama ini saya terbuka kepada mama. Apapun masalah yang saya hadapi selalu saya ceritakan. Tidak ada yang saya sembunyikan dari mereka.

 

PERKENALAN DENGAN MAJALAH GHOIB

Setelah kondisi semakin parah, ada salah seorang teman yang menyarankan saya mengikuti terapi ruqyah. Kebetulan di Ciputat, kabupaten Tangerang telah dibuka cabang ruqyah dari Majalah Ghaib. Waktu itu hari Sabtu. Dengan ditemani mama, saya mengikuti terapi ruqyah. Anehnya, baru memasuki gerbang saya sudah mencium bau wangi bunga. Aromanya harum sekali. Dalam hati kecil saya ada bisikan yang melarang saya meneruskan langkah. “Jangan masuk Jangan masuk.”

Beruntung, saat itu saya tidak sendirian, sehingga ada tempat untuk berbagi. Mama selalu meneguhkan niat saya agar tidak kalah melawan bisikan syetan itu. “Kuatin, Kuatin. Lawan bisikan itu dan jangan menyerah,” seru mama berulang-ulang.

Heboh. Itulah yang saya dengar dari mama, setelah terapi. Saya langsung menangis, begitu mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an. Selanjutnya saya tidak lagi dapat menguasai diri. Jin yang mengaku bernama Ence pun muncul, la mengaku tinggal di pohon cimpedak. “Kamu masuk dari mana?” tanya Ustadz Bakhtiar. “Dalam mimpi,” jawabnya. Memang di dalam mimpi saya sering bertemu dengan syetan ‘cewek’ itu.

Malam harinya, jin Ence datang lagi dengan wajah penuh amarah. “Gara-gara kamu nih, kuku saya patah,” katanya. Memang, saat ruqyah itu Ustadz Bakhtiar memijat kuku saya. Barangkali pijatan itu yang membuat kuku Ence marah. Malam-malam berikutnya, ia selalu hadir menemani kegelisahan saya. Jin itu baru keluar saat ruqyah yang kedua.

Selepas jin Ence keluar bukan berarti saya langsung terbebas dari gangguan jin. Karena tidak hanya jin Ence yang merasuki raga saya. Masih ada beberapa jin lagi. Sepasukan jin yang mengaku dikirim oleh seseorang untuk mengganggu saya. Ada yang mengaku berada di punggung, kaki, dahi, tangan dan beberapa tempat lainnya.

“Siapa yang mengirim kamu?” tanya ustadz. “Rina,” jawabnya. “Mengapa dia mengirim kamu?” “Iri,” katanya. Ruqyah demi ruqyah terus saya jalani. Setiap kali ditanya. Semua jin itu mengaku dikirim oleh Rina.

Sepasukan jin itu mengaku dikirim agar saya malas. Ada yang berada di kaki untuk menghalangi saya bepergian kemana-mana. Biar saya tidak banyak beraktifitas. Ada yang di kepala biar saya stress dan mudah marah. Ada yang di perut biar saya tidak lahap makan. Memang semenjak lima bulan lalu, berat badan saya turun lima kilo gram. Semua itu karena nafsu makan yang jauh berkurang. Wajah saya tampak kuyu dan terlihat jauh lebih tua menurut teman- teman dan keluarga.

Secara manusiawi saya tidak ingin mempercayai pernyataan jin. Saya khawatir semua itu hanyalah fitnah semata. Namun ketika saya mencoba menelusuri kembali kejadian beberapa bulan belakangan, semuanya memang mengarah pada satu titik.

Apakah itu kebetulan? Saya tidak tahu. Setiap ada kejadian aneh yang menimpa saya, dapat dipastikan didahului oleh kehadiran Rina ke rumah saya di Kebayoran, Jakarta Selatan. Pernah juga semalaman saya mendengar jerit tangis seorang wanita. Keesokan harinya, ketika saya menelpon orangtua katanya, Rina memang baru main ke sana. Oh ya, orangtua memang memiliki dua buah rumah. Semenjak sakit karena gangguan jin saya memilih menetap di rumah yang terletak di pinggiran Jakarta Selatan.

Namun, untuk menuduh Rina melakukan itu semua jelas bukan hal yang mudah. Karena tidak ada bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Sekadar pengakuan jin jelas bukan pijakan yang kuat. Karena masih ada celah kebohongan dari pernyataan mereka.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya keluarga besar sepakat mengadakan pertemuan dengan mempertemukan saya dan Rina. Rina pun menolak mentah-mentah dituduh telah mengirim sihir untuk menjatuhkan saya. Bahkan dengan tegas ia minta diajak ke tempat ruqyah. Kalau perlu ia juga ingin diruqyah. Untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah. Meski demikian, Rina mengaku bahwa selama ini ia memang kurang senang dengan saya. Entah apa sebabnya, saya sendiri tidak paham. Karena selama ini saya merasa tidak melakukan sesuatu yang merugikan Rina. bahkan di saat pertemuan keluarga Rina masih sempat- sempatnya membuat pernyataan yang tidak enak sehingga membuat orangtua dan keluarga yang hadir menjadi tidak percaya dengan hal yang saya alami.

Secara pribadi, sebenarnya saya berharap pernyataan jin itu bohong belaka. Saya tidak menginginkan keharmonisan keluarga besar kami menjadi hambar hanya karena ulah mereka. Namun, untuk tidak mempercayai sama sekali, juga sulit rasanya. Karena itu yang bisa saya lakukan saat ini adalah terus memperbaiki diri dan menghindari sebisa mungkin kontak dengan Rina.

Biarlah semuanya menjadi kenangan masa lalu. Toh. sekarang setelah menjalani terapi ruqyah yang ke tujuh kalinya, saya merasakan perubahan positif dalam diri saya. Wajah saya, katanya, sudah kembali ceria sepertia dulu. Yang lebih membahagiakan tugas PKL yang sempat tertunda selama lima bulan, akhirnya dapat saya kerjakan dengan baik. Teman-teman dan keluarga pun bilang kalau saya sudah banyak berubah. Dengan kejadian ini saya akan mencoba berbuat yang terbaik sehingga hidup saya jadi lebih baik di masa yang akan datang.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 63 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN