Masjid al-Alam II Dibangun Secara Ghaib?

Kawasan pantai Marunda, Jakarta Utara hingga tahun 1980 an masih penuh dengan rawa-rawa dan pohon bakau. Di sana terbentang muara sungai Blencong atau kali Bekasi. Tapi kini, kawasan pantai Marunda tidak bisa menghindar dari suratan takdir. Mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah. Rawa-rawa telah ditimbun. Pohon bakau telah terkikis. Jalanan setapak yang berlumpur berganti dengan jalan-jalan beraspal.

Di sana, di Marunda Pulo berdiri kokoh bagunan kayu yang menjadi simbol perlawanan Betawi. Bila dulu orang harus menggunakan perahu untuk melintasi rawa-rawa dan sungai hingga sampai ke rumah si Pitung. Kini, tidak lagi diperlukan perahu, Sepeda motor sudah bisa menembus rumah panggung dari kayu yang dikenal dengan Rumah si Pitung.

Si Pitung adalah legenda seorang pemuda dari Betawi yang hidup pada abad ke 18. Layaknya legenda Robinhood di Inggris. Si Pitung dianggap sebagai tokoh pembela rakyat kecil, lemah. melarat dan tertindas.

Meski dalam kacamata penjajah Belanda saat itu, ia adalah seorang pemberontak. Seorang ekstrimis yang harus ditumpas. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan si Pitung yang suka merampok harta tuan-tuan tanah yang merampas tanah, kekayaan dan perempuan warga setempat.

Menurut Atit Fauzi (54), juru kunci Rumah si Pitung. Si Pitung bukanlah warga asli Marunda Pulo. Rumah tersebut sudah berdiri sebelum kedatangan si Pitung ke Marunda Pulo. Di rumah panggung itulah si Pitung melakukan pertemuan dengan teman-temannya. Sekaligus sebagai tempat persembunyiannya.

 

Masjid al-Alam II Dibangun Hanya Semalam?

Menyusuri jalan dari Rumah si Pitung ke arah pantai Marunda, terdapat sebuah bangunan masjid yang dikeramatkan, Masjid al-Alam Il yang tepat berada di bibir pantai Marunda. Dipisahkan dengan dam batu cadas untuk menyelamatkannya dari gusuran air laut yang telah mengikis habis tanah sekitar.

Bagi sebagian orang, masjid al-Alam Il disebut juga dengan masjid si Pitung. Padahal tidak ada kaitan antara si Pitung dengan masjid tua itu. Masjid al-Alam sudah berdiri sejak empat abad yang lalu. Menurut cerita masjid al-Alam II di bangun pada zaman Fatahillah. Masjid yang terpencil ini, menjadi tempat pengintalian tentara Fatahillah dari Demak dan Cirebon yang menyerang Sunda Kelapa (1526). Dua abad sebelum kelahiran si Pitung.

Masjid al-Alam II, telah mencatatkan diri sebagai basis kekuatan Islam melawan penjajahan Belanda. Tapi kini, sangat disayangkan bila masjid bersejarah ini dipahami lain oleh sebagian orang. Masjid ini tidak sekadar menjadi tempat shalat atau aktifitas keagamaan lainnya. Tapi sudah jauh bergeser dari yang seharusnya. Orang- orang yang datang ke masjid ini memang berdatangan dari berbagai daerah. Tegal, Madura, Demak, Purwakarta atau masyarakat sekitar. Bila sekadar i’tikaf, dzikir atau shalat berjamaah mengapa harus menempuh perjalanan Jauh ke masjid tua ini?

Tentu ada faktor lain yang membuat mereka mengagungkan dan menganggapnya lebih mulia dari masjid-masjid lainnya. Hal ini tidak terlepas dari cerita yang beredar di kalangan masyarakat tertentu bahwa Masjid al-Alam II, memang luar biasa. la adalah satu dari sembilan masjid yang dibangun oleh Walisongo hanya dalam waktu semalam.

Masjid yang tidak diselesaikan oleh manusia biasa. Dan dengan cara yang tidak biasa. Seperti diungkapkan Atit Fauzi, seorang tokoh masyarakat Marunda Pulo saat ditemui di rumahnya. “Masjid al-Alam II adalah seperti halnya masjid al-Alam I di Cilincing. Kedua masjid itu dibangun dalam waktu semalam oleh Walisongo bersamaan dengan tujuh masjid lainnya.”

Mitos itulah yang mengundang ratusan orang setiap malam Jum’at Kliwon. Mereka berdatangan dari berbagai daerah. Sedang pada malam-malam biasa yang beri’tikaf di masjid ini berkisar dua puluhan orang.

Sudirman, pemuda asal Lagoa, Jakarta Utara adalah satu dari sekian orang yang percaya dengan keistimewaan masjid ini. Sehingga ia rela i’tikaf di sini sejak dua hari lalu. Bahkan itu untuk yang keempat kalinya. “Saya sudah ke sini empat kali,” tutur Sudirman sambil mempermainkan tasbihnya.

Senafas dengan Sudirman adalah Jarwani, seorang ibu muda asal Cilincing. la bahkan sudah berada di sini sejak empat hari yang lalu. Meninggalkan suami dan anaknya di rumah. Ketika ditanya lebih lanjut apa yang menjadi tujuan utama mereka sehingga rela meninggalkan rumah, mereka hanya tersenyum dan tidak mau berterus terang. “Macam-macam mas.” Itulah kilah mereka.

Daya tarik masjid al-Alam tidak sebatas pada mitos pendiriannya yang terbilang unik. Di sana juga terbaring jasad seseorang yang dikeramatkan. la dianggap sebagai orang baik yang layak untuk dijadikan tawasul (perantara). Makamnya terletak persis di belakang masjid al-Alam. “Makam Kyai Jami’in,” hanya itulah informasi yang didapat dari İstri marbot masjid al-Alam II ketika ditanya tentang siapa yang dimakamkan di sana.

la tidak berani banyak menjawab, katanya takut bila nanti jawabannya salah dan tidak berkenan di hati Kyai Jami’in, ia takut bila Kyai Jami’in yang telah meninggal ratusan tahun yang lalu marah. Padahal beberapa menit sebelumnya, ia telah menemani seorang wanita bercelana jeans dan berkaos lengan pendek masuk ke dalam ruangan makam.

Dengan berbekal sebotol air dalam botol, wanita asal Cakung, Jakarta Timur itu mengaduhkan permasalahannya. Memohon kepada Allah melalui arwah Kyai Jami’in agar suaminya yang telah kena pelet wanita lain, bisa kembali mencintainya seperti dulu. Majalah Ghoib yang saat itu tidak jauh dari mereka, sempat mengintip dari balik pintu, ternyata air dalam botol tersebut diletakkan di atas makam. Lalu dimulai proses berdoa. Ada-ada saja.

Retno yang saat itu menunggu temannya di luar makam pun berkata, “Mas, kalau mau didoakan di dalam, mas beli air dulu.” Entah, untuk apa air dalam botol itu. Yang jelas air itu kembali dibawa keluar. Dari sorot matanya, wanita itu nampak lebih tenang. Harapan agar suaminya kembali seperti dulu mulai membekas.

Sudah ribuan atau bahkan puluhan ribu yang berziarah ke Masjid al-Alam II, dengan tujuan berbeda-beda. Tidak sedikit di antara mereka yang juga meminta pesugihan. Buktinya, uang recehan ratusan perak sering ditemukan berserakan di nisan-nisan makam.

Seperti diungkapkan Farhan, seorang warga Marunda, “Saya sering menemukan uang recehan di kuburan. Itu adalah uang pemancing dari orang-orang yang mencari pesugihan. Agar apa yang mereka inginkan terkabul.”

Zaman sudah berubah. Pemahaman orang akan Islam juga semakin bercampur aduk dengan ragam kebatilan. Sebagian masjid dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan masjid lainnya. Padahal dalam kacamata agama semua masjid itu sama di sisi Allah, kecuali Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjid Nabawi.

Tidak seharusnya penghormatan kepada seseorang yang telah meninggal pada akhirnya menjerumuskan kita kepada rusaknya akidah. Dan agar orang-orang yang kurang paham ajaran agama tidak menjadi korban-korban berikutnya, maka kita wajib menyampaikan kebenaran walau terasa pahit.

Masjid al-Alam II berdampingan dengan kuburan

 

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN