Memaknai Kembali Ayatus Shiyam

Oleh : Atabik Luthfi, MA

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)

Merupakan satu rahmat Allah bahwa Ayatus Shiyam, yaitu ayat-ayat yang berbicara tentang puasa dalam berbagai pembahasannya dapat dengan mudah ditemukan karena berada pada satu surah secara berurutan di dalam surah al-Baqarah dari ayat 183 hingga ayat 187. Dan ayat di atas merupakan ayat perama yang menjadi landasan qath’i atas kewajiban puasa bagi seluruh umat lslam.

Dari kelima ayat yang berada dalam susunan ayatus shiyam, ternyata terdapat satu ayat yang berbeda dari segi pembahasannya. Ayat ini justru berbicara tentang kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqarah: 186). Meskipun demikian, masih tetap dapat ditemukan korelasi ayat ini dengan keempat ayatus shiyam.

Bulan Ramadhan yang dikenal juga den gan syahrul ibadah dan syahrud du’a merupakan bulan yang sangat tepat dan memang diperuntukkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nya untuk menjalin dan memperkuat komunikasi dan hubungan yang baik dengan-Nya. Betapa pernyataan kedekaan Allah  dengan hamba-hamba-Nya pada susunan ayatus shiyam harus dijadikan sebagai kekuatan motivasi untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya yang selama ini terasa sangat jauh dan kurang harmonis. lnilah salah satu rahasia kenapa ayat 186 ini mengapit ayatus shiyam sebagai bagian dari makna ta’abuddi yang bisa digali daripadanya.

Secara aplikatif dalam menjalankan seluruh paket Ramadhan; dari berpuasa, shalat tarawih dan qiyamul lail, tilawah Al-Qur’an, sampai dengan puncaknya I’tikaf tentu sangat membutuhkan pertolongan Allah SWT. Maka Allah membuka pintu lebar-lebar bagi hamba-hamba-Nya untuk memohon pertolongan kepadaNya agar senantiasa berada dalam jalan kebenaran “La’allahum Yarsyudun”.  Apalag dalam konteks makna ta’abbudi seperti yang disebudkan oleh Syekh Musthafa Masyhur dalam bukunya “Fiqh Da’wah” bahwa salah satu prinsip yang sangat mendasar dan harus senantiasa dijaga adalah memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah dan aspek ibadah ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia, baik dalam skala individu maupun dalam skala jama’ah. “Pengabaian akan interaksi dan makna ta’abbudi dalam bulan Ramadhan bisa menjauhkan seseorang dari target yang telah ditetapkan Allah “La’allakum Tattaqun”.

Makna lain yang bisa digali dari ayatus shiyam seperti yang dituturkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya “al-lbadah fil lslam” adalah makna “al-lmsak” yaitu menahan dan mengendalikan diri dengan segenap pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan inilah inti dan hakikat dari ibadah puasa yang menghantarkan seseorang kepada derajat muttaqin. Karena diantara sifat yang menonjol dari seorang muttaqin ada pada pengendalian dirinya. Allah SWT. menegaskan, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orangyang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orangyang berbuat kebaiikan”. (QS. Ali lmran: 133-134). Hanya orang yang mampu menahan di rinya dari keinginan kepada harta yang berlebih yang siap memberikan infaknya dalam keadaan lapang dan sempit. Demikian iuga, hanya orang yang mampu mengendalikan emosinya yang bisa bersabar dan memaafkan orang lain. Bahkan dalam keadaan ia mampu melampiaskan amarahnya. Wajar jika Allah menganugerahkan balasan yang cukup tinggi kepada siapa yang mampu mengendalikan dirinya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi, “Barangsiapa yang mampu menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskannya, maka ia akan di panggiI oleh Allah di depan para mahkluk-Nya yang mulia dan ia diberi kesempatan untuk memilih diantara bidadari yang ia inginkan”.

Secara korelatif juga, ayatus shiyam ternyata berbicara dalam konteks menahan diri, terutama dari harta orang lain yang bukan miliknya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. al-Baqarah: 188). Demikian juga dengan ayat yang mendampingi sebelumnya yaitu ayat 181 – 182 yang berbicara tentang harta pusaka yang dikhawatirkan terjadi penyelewengan padanya.

Makna lain yang cukup fenomenal yang bisa disaksikan sepanjang bulan puasa adalah makna ukhawi, dalam arti kebersamaan dan solidaritas. Dr. Sayyid Nuh dalam bukunya, Al-Fardhiyah wal Jama’ah fil Insan menyatakan, “Ibadah puasa adalah bentuk ibadah kebersmaan umat Islam, sekaligus persamaan dalam menahan rasa lapr dan dahaga pada waktu tertentu”.

Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam yang diteruskan dengan sahur bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian dari makna ukhawi yang berkesinambungan. Ditambah dengan momen silaturahim yang banyak berlangsung sepanjang bulan Ramadhan dalam bentuk buka bersama misalnya merupakan nilai yang luhur dari pemaknaan Ramadhan. Rasulullah SAW. sendiri merupakan contoh ideal sepanjang zaman, “Rasulullah adalah orang yang paling pemurah, terlebih lagi di bulan Ramadhan. Bulan dimana beliau selalu ditemui oleh Jibril. Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk bertadarrus Al-Qur’an. Sungguh bila Rasulullah bertemu dengan Jibril, beliau lebih pemurah lagi melebihi hembusan angin kencang.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa beberapa beberapa sahabat pernah mengadu kepada Nabi SAW. “Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak kenyang?” Beliau berkata, “semoga ini karena kalian makan sendirian”. Mereka berkata, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Berkumpulah pada makanan kalian (makan bersama) dan sebutlah nama Allah, semoga Dia akan member berkah kepada kalian”. (HR. Muttafaq Alaih). Bahkan belajar suatu ilmu dan mengajarkannya tidak ada berkah padanya kecuali dilakukan dengan bersama. Nabi SAW. bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah ta’ala dengan membaca Kitabullah dan mempelajari nya satu sama lain antara mereka, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, mereka diselimuti rahmat dan malaikat mengelilingi mereka, serta Allah menyebut mereka di sisi-Nya.” (HR. Abu Daud)

Demikian, lslam memandang kebersamaan umat lslam merupakan suatu tuntutan yang sangat urgen. Karena manusia jika tidak bersama dalam kebenaran, maka mereka akan bersama dalam kebatilan. Begitu pula, jika merekatidak berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, mereka pasti akan bersaing dalam mendapatkan perhiasan dunia. Berulang kali perintah Allah tidak ditujukan secara redaksional kepada individu (perorangan), baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Tetapi ditujukan kepada seluruh orang yang beriman, dengan bentuk pengajaran dan petuniuk. Termasuk dalam perintah puasa, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman”.

Mudah-mudahan semakin banyak pemaknaan yang kita lakukan terhadap Ayatus shiyam, maka akan semakin dapat memperkuat motivasi kita untuk melaksanakan seluruh paket Ramadhan dengan baik dan berkesinambungan sehingga kita termasuk diantara golongan yang mampu meraih predikat takwa yang dijaniikan Allah.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN