Hampir mirip dengan ritual Suro yang di lakukan masyarakat negeri ini. Mesir dahulu punya kebiasaan serupa. Ada ritual persembahan tumbal ke sungai Nil. Tumbalnya adalah seorang gadis yang masih perawan, lalu di hiasi dengan pakaian dan perhiasan yang bagus dan mewah, sebelum di lemparkan ke sungai Nil.
Penyikapan yang salah terhadap kedatangan bulan Suro telah melahirkan keyakinan, mitos dan ritual yang menjerumuskan kepada kesyirikan. Kita harus tahu mengapa ritual-ritual itu sangat berbahaya bagi aqidah kita. Mari kita bongkar mitos bulan Suro sebelum mitos itu membongkar iman kita.
Dalam bulan Suro, ada ritual pemandian pusaka-pusaka dan benda-benda yang dikeramatkan. Ritual itu muncul, karena sikap yang berlebihan terhadap barang-barang tersebut. Masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa di setiap benda-benda ada penunggunya. Yang membuat benda tersebut lebih ampuh dan sakti dibanding benda-benda lainnya yang sejenis. Mereka khawatir terutama pemiliknya kalau tidak menyediakan sesajen atau melakukan ritual pemujaan, penunggunya tidak betah atau kabur meninggalkan benda tersebut, akhirnya keampuhannya dan kesaktiannya sirna, atau membikin ulah.
Itulah bentuk pengagungan dan ketakutan yang ditujukan kepada selain Allah. Dalam Islam hal itu termasuk bagian dari bentuk kesyirikan. Rasulullah bersabda: “Siapa yang menggantungkan jimat, maka dia telah syirik.” (HR. Ahmad). Di riwayat lain: “Siapa yang bergantung pada sesuatu maka diserahkan kepadanya (Allah berlepas diri dari orang itu)”. (HR. Tirmidzi).
Kalau mereka yakin pusaka yang dikoleksi berpengaruh dalam siklus kehidupan, sehingga tiap tahun dipuja dan dimandikan, dan jika suatu saat ritual itu ditinggalkan, lalu terjadi bencana, maka itulah akibat dari keyakinan yang salah. Akhirnya mereka semakin yakin dengan benda itu dan semakin tersesat. Itulah kehinaan yang diberikan Allah.
Berkaitan dengan masalah ini Ibnu Katsir mencatat suatu riwayat yang menarik untuk kita simak dalam kitabnya. Ketika Rasulullah dan para sahabat keluar dari Makkah menuju Hunain, mereka melihat orang-orang kafir bergerombol di bawah pohon yang dinamakan Dzatu Anwath dan mereka menggantungkan senjata-senjata di pohon tersebut. Saat mereka melewati pohon lain yang sejenis, mereka berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami (pohon itu) sebagai Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki.” Rasulullah bersabda: “Demi Allah kalian telah meminta seperti permintaan kaum Musa kepada Musa (ketika selamat dari kejaran Firaun): ‘Hal Musa buatlah untuk kami tuhan (berhala) sebagaimana mereka. mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab: Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan apa yang mereka lakukan itu bathil.” (Al-Araf: 138-139). Kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/257).
Ada lagi ritual mandi suci yang mereka yakini bisa menambah keberkahan. Ini adalah keyakinan yang dipaksakan. Apalagi hanya dengan mandi. ditempat tertentu, dan tempat tersebut bukan termasuk yang direkomendasikan oleh Rasulullah untuk dikunjungi, atau dijadikan sarana untuk memohon berkah dari Allah, Limpahan rizki yang dicari dengan cara mandi ditempat tertentu, merupakan cara yang tidak dibenarkan oleh logika akal sehat. Lebih-lebih kalau ditinjau dari syariat Islam. Rasulullah tidak pernah menyuruh sahabat yang seret rizkinya untuk mandi dengan air zam- zam atau air sungai tertentu agar rizkinya melimpah.
Justru Rasulullah senantiasa memerintahkan umatnya untuk bekerja dan berusaha serta berdoa dalam mengais rizki, agar Allah memperlancar dan memberkahinya. Rasulullah pernah berpesan ke Abdullah bin Umar: “Apa yang membuat berat salah seorang dari kalian saat mengalami kesulitan dalam penghasilannya untuk membaca doa ketika keluar dari rumahnya:
“Dengan nama Allah, kuserahkan diriku, harta dan agamaku. Ya Allah jadikanlah aku ridha menerima keputusan-Mu dan berkahilah apa yang sudah ditakdirkan untukku, sehingga aku tidak ingin mempercepat apa yang engkau lambatkan dan memperlambat apa yang Engkau segerakan.” (HR. Ibnu Sunni).
Adapun ritual mandi dengan tujuan untuk mensucikan diri, Kalau yang dimaksud dengan mensucikan adalah membersihkan badan dari debu dan kotoran yang melekat di tubuh, maka setiap orang yang mandi memang tujuannya seperti itu. Dan tidak perlu pergi ke pemandian khusus atau memilih waktu-waktu tertentu, karena setiap saat bisa dikerjakan.
Tapi kalau dilihat dari model ritualnya, dengan memilih tempat-tempat khusus dan di waktu-waktu tertentu, pasti ada niatan tertentu pula. Dan yang mereka maksud menyucikan diri dalam ritual tersebut adalah melebur dosa-dosa atau membuang kesialan yang ada dalam diri. Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk menghapus dan melebur dosa dengan ritual mandi di tempat tertentu dan di waktu tertentu.
Media dan fasilitas yang disediakan oleh Allah untuk melebur dosa-dosa adalah dengan mengerjakan amal-amal kebaikan dan kewajiban-kewajiban yang sudah diperintahkan. Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari pada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Hud: 114).
Rasulullah juga bersabda: “Apa pendapat kalian bila ada sungai yang mengalir di depan pintu salah seorang dari kalian, lalu dia mandi setiap harinya lima kali, apakah ada kotoran yang masih tersisa ditubuhnya?” Para sahabat menjawab: “Tidak akan ada kotoran ditubuhnya wahai Rasulullah.” Rasulullah menimpali: “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR Bukhari dan Muslim). Maka, mandi di tempat-tempat keramat itu, bukannya mensucikan justru melumuri tubuh ini dengan dosa.
Sedangkan ritual pelarungan kepala kerbau atau ayam wungkul dan yang sejenisnya di laut atau danau, agar tidak diganggu oleh penunggunya dan supaya kepentingan masyarakat sekitar tidak terancam. Hal itu sangat bertentangan dengan syariat Islam, dan termasuk peribadatan kepada selain Allah, Allah telah mencela perbuatan mereka dengan firman-Nya: “Katakanlah: ‘Mengapa kamu menyembah selain Allah, sembahan yang tidak dapat memberi mudharat (bahaya) kepadamu dan juga tidak memberi manfaat. Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”” (Al-Maidah: 76).
Ritual serupa pernah mentradisi di Mesir sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam. Hampir mirip dengan ritual Suro yang dilakukan masyarakat pesisir pantai selatan (laut kidul). Ketika Mesir telah ditaklukkan oleh pasukan Islam, ‘Amr bin Ash mulai berinteraksi dengan penduduk setempat pada awal tahun baru kalender (bangsa Qibti). Para penduduk bercerita tentang ritual persembahan tumbal seorang gadis yang masih perawan, lalu dihiasi dengan pakaian dan perhiasan yang bagus dan mewah, sebelum dilemparkan ke sungal Nil. ‘Amr bin Ash menolaknya dan menegaskan bahwa tradisi itu tidak pernah ada dalam Islam. Tetapi ketika tradisi itu tidak dilaksanakan, ternyata sungai Nil tidak mengalir sama sekali. Akhirnya penduduk semakin yakin dan bersikukuh untuk melaksanakan ritual tahunan tersebut.
Ketika Amr melihat gelagat buruk itu, serta merta dia mengirim surat ke Khalifah Umar bin Khaththab menceritakan masalah Nil. Lalu Umar membalasnya dan membenarkan sikap Amr yang memerangi ritual kemusyrikan tersebut. Umar membalas surat Amr dengan menyelipkan di dalamnya selembar kartu untuk dilemparkan ke sungai Nil. Amr membuka kartu tersebut, di dalamnya tertulis “Dari hamba Allah, Umar bin Khaththab Amirul Mukminin kepada sungai Nil di Mesir, amma ba’du Kalau kamu mengalir karena inisiatif kamu sendiri, maka janganlah mengalir! Sedangkan jika Allah yang mengalirkan kamu, maka saya berdoa kepada Allah yang Maha Esa dan Perkasa untuk membuatmu mengalir Kemudian Amr melemparkan surat tersebut sehari sebelum ritual tahunan digelar. Hasilnya sangat menakjubkan!!! Allah mengalirkan air sungai Nil dalam semalam pasangnya setinggi enam belas dzira (sekitar 12 M).
Tradisi ritual kemusyrikan akhirnya sirna dengan izin Allah sampai sekarang. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar. (Tarik- hul Khulafa: 128-129).
Kita harus menumbuhkan semangat mengikis kesyirikan tersebut. Karena kalau kita tidak peduli, lalu dari mana kita akan mengharapkan keberkahan dan kemakmuran bangsa kita? Apakah kita juga akan mengharapkannya dari para penunggu tempat-tempat angker? Ataukah kita juga akan memohon keselamatan dari “Nyi-Nyi” yang menjadi cerita legenda rakyat kita?
Lupakah kita bahwa yang menciptakan langit dan bumi beserta isi dan penghuninya adalah Allah? Kemana perginya keyakinan kita bahwa yang mengatur dan memelihara jagad raya ini adalah Allah yang Maha Perkasa? Kenapa kita melupakan ikrar janji kita dalam setiap rokaat shalat? “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada- Mu kami minta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).
Allah menjanjikan keberkahan, melimpahnya rizki dan makmurnya suatu negeri jika semua penduduknya mau beriman dan bertaqwa, dengan melaksanakan perintah-perintah- Nya dan menjahui larangan- larangan-Nya, termasuk ritual- ritual yang tidak pernah diperintahkan Rasulullah atau dicontohkannya. Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari diwaktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri- negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari Adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari Adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (Al-Araf: 96-99).
Saudaraku! Belum cukupkah rentetan bencana gempa bumi yang berturut-turut dibagian timur negeri ini? Belum puaskah kita menyaksikan tragisnya dampak banjir yang melanda bagian barat dari negeri ini? Atau kita masih mengharap bertambahnya tanah longsor yang telah melanda beberapa wilayah negeri ini? Atau kita masih ingin bertambah data korban-korban demam berdarah yang berjatuhan akibat ganasnya sengatan makhluk Allah yang kecil? Sampai kapan kita terus bertopang dagu untuk menunggu adzab Allah berikutnya dengan tetap membiarkan ritual-ritual kemusyrikan menghiasi bumi-Nya ini?
Iman ini harus dibersihkan, bumi Allah juga harus disucikan dari segala ritual kesyirikan, agar kembali keberkahan dan kemakmuran negeri.
Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M