“Sesungguhnya Allah (dengan kekuasaan Uluhiyyah-Nya yang Agung) memerintahkan kalian semua agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan jika kalian memutuskan diantara manusia, maka putuskanlah dengan adil”. (An-Nisa’: 58).
Sebagai agama yang menghormati dan menjunjung tinggi hak milik, baik hak milik individu maupun hak milik bersama, Islam telah menggariskan salah satu dari 5 sasaran syariatnya (Adh-Dhorurat Al-Khams) adalah memelihara dan mempertahankan harta kekayaan (Hifdzul Mal). Rasulullah sendiri melarang keras siapapun -secara sendiri maupun kolektif- menghilangkan harta kekayaan karena harta dalam Islam merupakan pondasi amal. “Sesungguhnya Allah melarang kalian berkata-kata yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan menghilangkan harta kekayaan”. Bahkan beliau memberikan jaminan dan penghargaan yang tinggi dengan gelar “syahid” bagi seseorang yang meninggal dalam rangka mempertahankan kehormatan dan harta miliknya.
Namun pada kenyataannya, aktivitas memelihara harta dalam berbagai bentuknya seringkali diabaikan, bahkan cenderung tidak mendapat perhatian yang serius. Akhirnya, betapa banyak harta kekayaan milik bangsa yang dihamburkan dengan semena-mena dan kita selaku pemilik bersama secara kolektif tidak pernah menghiraukannya, mempertanyakan maupun menghalangi perilaku tersebut. Padahal fungsi dari khilafah tidaklah harus difahami terbatas pada konteks ubudiyyah, tetapi lebih dari itu, tugas memakmurkan pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tugas khilafah manusia. Allah menegaskan dalam firmanNya, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. (Hud 61).
Imam al-Fakhrurrozi memberikan contoh tentang pemahaman ayat di atas dengan mengilustrasikan sebuah kisah tentang raja-raja Parsi. Dikisahkan bahwa raja-raja Parsi sepanjang pemerintahan mereka banyak menggali sungai dan menanam pohon sehingga mereka diben kesempatan hidup yang lama oleh Allah Melihat kenyataan yang menakjubkan ini, salah seorang dari Nabi mereka bertanya kepada Allah , “Kenapa Engkau berbuat demikian kepada mereka (memperpanjang usia mereka)?”. Allah menjawab, “Mereka telah menghidupkan bumi- Ku (dengan memakmurkannya) sehingga hamba- hamba-Ku dapat hidup di atasnya”. Demikian juga dengan sahabat Mu’awiyah, diriwayatkan bahwa di akhir hidupnya justru ia banyak menanam pohon. Maka semestinya seperti kata pepatah Arab, “Orang-orang sebelum kita telah banyak menanam untuk kita makan, maka kita juga menanam untuk dimakan oleh orang-orang setelah kita”.
Di dalam sebuah hadits yang dimuat di dalam Riyadush-Sholihin, diantara amal yang masih dianjurkan sebelum seseorang menghadapi hari kiamat adalah menanam biji tumbuh-tumbuhan. Bahkan seseorang bisa melindungi dirinya dari sentuhan api neraka dengan sebiji korma. Demikianlah sikap dan moralitas umat terdahulu yang berlomba-lomba memberi yang terbaik untuk Lemaslahatan umat. Sangat kontradiktif memang dengan realitas sekarang, yang justru berlomba- lomba mengeruk harta kekayaan milik bersama untuk memperkaya diri yang jelas tidak dibenarkan dengan dalih apapun. Karena harta itu milik bersama, maka harus dipergunakan dan dberdayakan untuk manfaat dan kemaslahatan bersama.
Memang realitas seperti yang kita saksikan ini pernah diprediksikan oleh Rasulullah seperti dalam hadits Muttofog Alaih riwayat Hudzaifah bin al-Yaman, “Pertama sekali Allah menurunkan amanah ke dalam hati manusia yang diiringi dengan turunnya al-Qur’an. Maka mereka mengetahui cara menjalankan amanah itu dengan baik dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian diriwayatkan tentang tercabutnya amanah, sehingga hampir tidak ada seorangpun yang bisa membawa amanah dengan baik”.
Jelas berdasarkan hadits di atas bahwa benteng untuk aktivitas imarah adalah amanah. Agar program imarah untuk kemasalahatan bersama bisa berjalan dengan baik, dituntut masing-masing memahami prinsip amanah yang berupa sesuatu yang harus dijaga dan dipertahankan keberadaanya, serta dikembangkan dan diberdayakan untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
Dalam konteks amanah, surah An-Nisa’ ayat 58 merupakan panduan yang jelas karena secara redaksional menggunakan redaksi yang menunjukkan penekanan dan penegasan, Sesungguhnya Allah (dengan kekuasaan Uluhiyyah-Nya yang agung) memerintahkan kalian semua agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” (An-Nisa 58). Tidak dengan redaksi, “Sesungguhnya Aku” atau perintah langsung “Sampaikanlah amanah kepada pemiliknya” dan sebagainya. Dengan menampilkan lafadz “Allah” dalam ayat tadi dan tidak digantikan dengan khitab atau dhamir, jelas terkandung makna ketegasan dan penguatan dalam perintah-Nya
Secara korelatif, setelah sebelumnya Allah menginformasikan berita gembira tentang balasan yang disediakan untuk orang yang beriman dan beramal sholeh, padahal amal sholeh yang paling utama adalah menjaga amanah dan berlaku adil terhadap semua manusia, maka di ayat ini Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya agar bersikap adil dan amanah dalam segala hal.
Syekh Musthofa Al-Maraghi ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan bentuk-bentuk amanah yang harus ditunaikan dengan baik dan benar. Diantaranya: pertama, amanah seseorang dengan Tuhannya, yaitu semua perintah dan larangan yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang beriman. Kedua, amanah seseorang dengan dirinya, yaitu dengan tidak memilih untuk dirinya melainkan sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan manfaat di dunia dan di akhirat kelak. Ketiga, amanah seseorang dengan orang lain, yaitu dengan memelihara milik bersama dan tidak berlaku khianat dengan mengabaikan atau berbuat semena-mena terhadap harta kekayaan milik bersama.
Pemahaman yang sama juga kemukakan oleh Syekh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin ketika menafsirkan surat An-Nisa: 58, bahwa jenis amanah yang harus dipelihara dan ditunaikan dengan baik dapat dibagikan kepada dua bentuk; amanah yang terkait dengan hak-hak Allah dan amanah yang terkait dengan hak-hak manusia. Justru yang kadang diabaikan adalah jenis amanah yang kedua, yaitu arnanah yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam, terutama dalam konteks “Al-Amanah Al-Maliyah”, amanah yang berhubungan dengan harta.
Bentuk-bentuk amanah seperti di atas ini harus dijalankan secara bersama, tidak terpisah. Jika tidak, maka akan terjadi seseorang mampu menjaga amanah dengan Allah dengan komitmen menjalankan sholat, puasa dan amal ibadah mahdhoh lainnya, namun ia mengabaikan amanah dengan sesamanya. Atau sebaliknya, banyak yang bisa menjalankan amanah dengan sesama manusia, namun tidak perduli dengan amanah Allah terhadap dirinya yang harus ia tunaikan. Sungguh Islam menginginkan pemeluknya mampu menjalankan segala bentuk amanah dengan sebaik-baiknya..
Oleh : DR. Atabik Luthfi, MA