Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan (pembicaraan rahasia) mereka, kecuali bisikan- bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena semata-mata mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala yang besar (surgo)”. (An-Nisa’: 114)
Kata kunci (keyword) pada ayat ini adalah “najwa”. Secara bahasa, najwa merupakan sebuah istilah yang menunjuk pada pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) yang berlangsung antara dua orang atau lebih tentang sesuatu hal. Namun istilah ini lebih banyak berkonotasi negatif karena seringkali pada realitasnya, kebanyakan materi najwa adalah dalam konteks kemaksiatan dan tuduhan negatif tentang orang lain. Sampai Allah menafikan adanya kebaikan yang diharapkan dari model pembicaraan seperti ini. “Tidak ada kebaikan” pada najwa melainkan jika materi yang dibicarakan adalah materi yang mengarah kepada kebaikan.
Ungkapan “kebanyakan” pada ayat di atas bisa jadi mengisyaratkan banyak dan maraknya aktivitas ini di tengah-tengah masyarakat. Bahkan seringkali dijadikan alternatif di sela-sela kejenuhan rutinitas dunia kerja atau di saat waktu luang dan kosong dari aktifitas yang bermanfaat. Padahal di antara indera manusia yang paling aktif adalah mulut, sehingga indera ini perlu dikawal dan diarahkan kepada kebaikan. “Barangsiapa yang mampu menjaga lisannya dan anggota yang berada di antara kedua pahanya, maka aku jamin baginya surga”.
Dalam memahami ayat ini, sahabat Sofyan Ats- Tsauri, mengkaitkannya dengan hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa seluruh pembicaraan anak Adam akan memberikan keburukan kepadanya, kecuali jika dalam rangka berdzikir kepada Allah atau memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Tepat seperti tiga alternatif yang disodorkan Allah dalam konteks najwa: “Kecuali bisikan-bisikan tentang memberisedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”.
Secara korelatif dan berdasarkan susunannya dalam mushaf, ayat ini muncul setelah 9 ayat sebelumnya diturunkan berhubungan dengan peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang laki-laki Anshor, Thu’mah bin Ubairiq. la menyembunyikan barang curian milik Qatadah bin An-Nu’man di rumah seorang Yahudi, Zaid bin As- Samin agar tuduhan diarahkan kepadanya. Ketika peristiwa ini diketahui, Thu’mah tidak mengakui perbuatannya, mala ia menuduh orang Yahudi yang mencuri barang itu. Bukan itu saja, kerabat-kerabat Thu’mah mengadukan kasus ini kepada Nabi dan meminta beliau membela Thu’mah dan menghukum Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu adalah Thu’mah.
Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya sampai turun ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang khianat”. (An- Nisa’: 105). Betapa kejahatan berawal dari tuduhan yang dilakukan secara kolektif yang merupakan materi yang banyak dibicarakan dalam najwa di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Ash-Shabuni, relevansi ayat di atas dengan ayat-ayat sebelumnya dapat difahami dari tiga hal berikut: Pertama, apapun materi pembicaraan, baik secara rahasia (berbisik-berbisik)maupun terang-terangan tidak akan lepas dari pengetahuan Allah Kedua, segala rencana dan usaha, meskipun dilakukan dengan sembunyi- sembunyi dan rahasia akan diketahui Allah. Ketiga, tidak ada kebaikan yang diharapkan dari pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) kecuali dengan tujuan kebaikan dan perdamaian (ishlah).
Secara tematis, pembahasan tentang tema “najwa” secara lebih luas ditemukan dalam surah Al-Mujadilah ayat 7 hingga ayat 10. Lebih khusus, larangan berbuat demikian secara tegas ditujukan kepada orang-orang yang beriman. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebaikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu sekalian akan dikembalikan”. (Al-Mujadilah: 9). Menurut Al-Qurthubi, larangan yang ditujukan kepada orang yang beriman tentang perbuatan ini disertai dengan perintah mengenainya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melakukan pembicaraan rahasia seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik. Tetapi lakukanlah dengan tujuan meraih ketaatan, ketakwaan dan menghindar diri dari apa yang dilarang Allah swt”.
Kebiasaan jelek dari najwa orang-orang yahudi dan munafik terungkap dari sebab nuzul surah Al- Mujadilah ayat 8. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi, ayat ini turun secara khusus tentang orang-orang yahudi dan munafik yang biasa melakukan najwa sambil memandang orang-orang beriman dengan pandangan yang menghina dan merendahkan.
Abu Hayan menambahkan, kebiasaan yahudi dan munafik dalam melakukan pembicaraan rahasia adalah dalam konteks perbuatan dosa secara umum, kemudian dalam konteks menyulut permusuhan yang akan memberatkan jiwa seseorang karena terdapat tindakan menzalimi orang lain, dan terakhir dalam konteks yang lebih besar dari itu yaitu untuk merencanakan tindakan penghinaan dan pendur- hakaan terhadap Rasulullah. Demikian bentuk dan materi pembicaraan orang-orang Yahudi dan munafik yang diungkap oleh Al-Qur’an secara berurutan.
Pembicaraan rahasia yang berunsur penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi pernah dilakukan oleh para pemuka Quraisy ketika mereka diundang makan bersama Rasulullah. Setelah Rasulullah bersama mereka, beliau membacakan ayat Al- Qur’an dan mengajak mereka beriman kepada Allah . Maka para pemuka Quraisy berbisik-bisik di antara mereka dengan mengatakan, “la (Muhammad) adalah tukang sihir, orang gila dan hanya membawa cerita-cerita dongeng belaka”. Begitu tuduhan yang disebarkan di antara mereka terhadap Rasulullah yang ternyata banyak dibicarakan dalam forum pembicaraan rahasia di antara mereka. Allah mengungkapkan kejadian ini dalam firman-Nya, “Kami lebih mengetahuil dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang- orang zalim itu berkata: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir”. (Al-Isra’: 47).
Memang tergelincinya pembicaraan seseorang dari ruang kebaikan dan takwa tidak terlepas dari peran syetan yang senantiasa berperan aktif dalam menghiasi pembicaraan rahasia di antara mereka. “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syetan, supaya orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman itu bertawakkal”. (Al-Mujadilah: 10)
Dalam konteks sekarang, betapa kita harus lebih banyak waspada terhadap apapun jenis pembicaraan yang kita lakukan agar terhindar dari pembicaraan yang justru akan menjadi bumerang dan berdampak buruk kepada diri kita, apalagi di tengah hiruk pikuk pembicaraan yang banyak bernuansa negatif, berunsur provokatif dan berbau tuduhan dan fitnah. Padahal dengan tegas, Allah menyatakan, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan oleh seseorang melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18). Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan diri dari segala bisikan syetan dalam setiap pembicaraan kita agar terlepas dari jerat kemaksiatan dan kesesatan yang dihembuskannya…
Oleh : Dr. Atabik Luthfi, MA
Dosen STAIN Cirebon dan Ketua PW IKADI DKI Jakarta