Hari ini kita hidup di tengah masyarakat g terlilit kesyirikan. yang t Membuat mereka tidak dapat berkutik. Dengan berbagai dalih, dari pelestarian budaya hingga atas nama mencari berkah mereka lakukan ritual itu.
Bulan Suro menjadi icon syetan untuk meniupkan kobaran kesyirikan yang sudah membakar segala sendi masyarakat ini. Padahal bulan Suro yang sebenarnya dalam bahasa Islam disebut bulan Muharram itu adalah bulan yang paling dianjurkan berpuasa setelah puasa Ramadhan. Tentunya karena kemuliaan bulan ini.
Tetapi sebesar apa pun kekuatan syirik harus tetap dilawan. Tidak mudah memang tetapi harus tetap dilawan. Ya, harus dilawan.
1. Anggaplah bulan suro seperti bulan yang lain
Berbagai ritual kesyirikan yang kita saksikan pada bulan Suro berawal dari keyakinan akan kesialan bulan ini. Sehingga mereka harus memberikan sesajen dan persembahan lain untuk tangkal bala.
Padahal kita tahu bahwa tidak ada hari sial dalam Islam. Setiap hari dan bulan dalam Islam adalah baik. Baik untuk bisnis, belajar, memulai aktifitas, menikah dan baik untuk semua urusan baik. Tidak ada hubungannya antara bulan Suro dan kesialan.
Dalam kasus ini kita diingatkan pada budaya jahiliyah Quraisy. Mereka juga mempunyal bulan yang dianggap sial. Sehingga segala rencana di bulan ini dis hentikan untuk sementara hingga bulan ini berlalu. Tujuannya agar mereka tidak gagal tersandung aral yang banyak melintang di bulan ini. Hanya saja bedanya, bulan yang mereka takuti itu bukan bulan Muharram alias Suro, tetapi bulan setelahnya yaitu Shafar. Berbeda obyek bulannya, tetapi sama hakekat keyakinan jahiliyahnya.
Untuk itulah dengan sangat tegas, Nabi bersabda, “Tidak ada (keyakinan sial) bulan Shafar. (HR. Bukhari dan Muslim).
Muslim bukanlah pencela. Larangan menjadi pencela sampai pada mencela suatu masa tertentu. Siapa saja yang mengatakan bahwa bulan Suro adalah bulan sial sehingga perlu ritual untuk menolaknya, maka dia telah mencela masa. Rasul bersabda dalam hadits qudsi, “Jangan mencela masa. Karena Allah lah (pengatur) masa itu.” (HR. Bukhari dan muslim).
Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa tidak ada yang mendatangkan kebaikan dan bencana kecuali Allah saja. Bulan atau seseorang tidak bisa sama sekali menyebabkan kita celaka. Keyakinan kita terhadap bulan Suro adalah bahwa bulan itu tidak bisa menyebabkan bisnis kita bangkrut, penunggu laut selatan marah, usaha macet, rencana gagal. Sehingga, manakala keyakinan ini sudah tertancap kuat, tidak perlu lagi ada ritual untuk tolak bala di bulan ini. Tidak boleh lagi ikut ruwatan massal yang diadakan di sebuah tempat wisata di Jakarta. Atau mencuci pusaka dan mengharap berkah dari tumpeng yang sebenarnya dibuat oleh tetangga kita sendiri.
Justru kesialan sesungguhnya adalah ketika kita melakukan maksiat di bulan-bulan yang dimuliakan. Muharram termasuk satu dari empat bulan yang dimuliakan itu. Allah berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36)
Para ulama menjelaskan bahwa empat bulan haram (dimuliakan) itu adalah Dzul Qodah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. Lebih lanjut lagi Imam Qurthubi menjelaskan makna dari menganiaya diri di bulan mulia ini. Salah satu penafsiran beliau adalah, “Jangan kalian aniaya diri dengan berbuat dosa. Karena Allah jika mengagungkan sesuatu dari satu sisi maka sesuatu itu menjadi mulia dari satu sisi. Dan jika diagungkan dari dua atau beberapa sisi maka menjadi mulia dari beberapa sisi. Yang mana jika ada perbuatan jelek akan dilipatgandakan siksanya sebagaimana dilipatgandakan kebaikan padanya.”
Nah, barangsiapa yang berani mengotori awal tahun Islam itu dengan kesyirikan, maka tidak terhingga dosanya. Karena ini gabungan antara perbuatan syirik yang merupakan dosa terbesar dan dilanggarnya bulan mulia di sisi Allah. Nau’dzubillah.
2. Perbanyaklah Puasa Sunah
Bulan Muharram adalah bulan mulia setelah bulan Ramadhan. Untuk itulah Nabi mengajarkan kepada kita bahwa sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi pernah ditanya tentang sholat yang paling baik setelah sholat wajib. Beliau menjawab, “Sholat di tengah malam.” Kemudian beliau ditanya lagi tentang puasa yang utama setelah puasa Ramadhan. Beliau menjawab, “Bulan Allah Muharram.”
Puasa sunah yang dimaksud oleh Nabi banyak macamnya. Seperti dalam sebuah riwayat beliau bersabda, “Tidak ada hari- hari amal shaleh pada bulan- bulan itu yang lebih dicintai Allah dari sepuluh hari (bulan Muharram).” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah juga lebih utama daripada jihad fisabilillah?” Rasul menjawab, “Ya. Kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan fisik dan hartanya dan tidak ada yang kembali dari keduanya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Abu Dawud).
Pada bulan Muharram ini terdapat hari Asyuro yaitu hari kesepuluh dan Tasu’a yaitu hari kesembilan. Pada hari keduanya disunahkan untuk berpuasa. Puasa Asyuro lah yang dulu diwajibkan sebelum diturunkan kewajiban puasa bulan Ramadhan. Ketika puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan, Rasul menjadikannya sebagai puasa sunah.
Hari ke sepuluh ini bukan hanya dihormati oleh umat Islam. Tetapi dihormati pula oleh Yahudi dan Quraisy. Suatu saat Nabi menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro ini. Nabi bertanya, “Puasa apa ini?” Mereka menjawab. “Hari baik dimana Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israil dari kejaran musuh mereka dan Allah menenggelamkan Firaun. Dan perahu Nabi Nuh berlabuh di gunung Judi.” Nabi berkata, “Saya lebih berhak untuk memuliakan hari ini,” (HR. Muslim dan Ahmad).
Nabi juga bertekad untuk puasa hari Tasua (kesembilan) agar berbeda dengan ritual orang Yahudi dan Quraisy. Tetapi tekad itu tidak sempat terlaksanakan karena beliau telah meninggal dunia sebelum sampai pada hari ke sembilan Muharram tahun depan. Pada kesempatan lain Nabi pernah memberikan pilihan cara untuk berbeda dengan Yahudi pada ritual ini, “Puasalah sebelum (Asyuro) dan sesudahnya.”
Maka, pilihan puasanya adalah Asyuro saja. Atau Tasu’a dan Asyuro. Atau keduanya ditambah sehari setelah Asyuro. Seba- gaimana yang dijelaskan oleh Imam Syaukani. Tetapi beliau sendiri demi kehati-hatian lebih memilih puasa Tasua, Asyuro dan hari sesudahnya.
Inilah ritual yang diajarkan dalam Islam pada bulan Suro atau Muharram ini. Memperbanyak puasa sunah. Bukan ritual-ritual syirik. Bahkan kita diajarkan agar tetap menjaga “jarak” dengan orang non muslim dalam ritual mereka. Ketika ritual itu harus beririsan seperti puasa ini, Nabi menganjurkan untuk menambah puasa agar tidak mirip dengan mereka.
Sumber ritual bulan Suro adalah dari selain Islam. Maka bagaimana kita bisa menerimanya dan mengabaikan ajaran Islam di bulan ini. Apalagi telah banyak yang terjebak dalam ritual syirik. Sungguh, sudah saatnya kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M