Menjadi Pribadi yang Bersyukur

“Mereka (Para Jin) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya, diantaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kalam dan periuk-periuk yang tetap (berada di alas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud antuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”. (Saba’: 13)

 

Ayat ini mengabadikan anugerah nikmat yang tiada terhingga kepada keluarga Nabi Daud as sebagai perkenan atas permohonan mereka melalui lisan Nabi Sulaiman as yang tertuang dalam surah Shaad : 35, “Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampuniLah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Betapa nikmat yang begitu banyak ini menuntun sikap syukur yang totalitas yang dijabarkan dalam bentuk amal nyata sehari-hari.

Tampilnya keluarga Daud sebagai teladan dalam konteks bersyukur dalam ayat ini memang sangat tepat, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW. bersabda, “Sholat yang paling dicintai oleh Allah adalah sholat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.

Keteladanan nabi Daud yang disebut sebagai objek perintah dalam ayat perintah bersyukur di atas, ternyata diabadikan juga dalam beberapa hadits yang menyebut tentang keutamaan bekerja. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri . Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Bekerja yang dilakukan oleh nabi Daud tentunya bukan atas dasar tuntutan atau desakankebutuhan hidup karena ia seorang raja yang sudah tercukupi kebutuhannya, namun ia memilih sesuatu yang utama sebagai perwujudan rasa syukurnya yang tiada terhingga kepada Allah SWT.

Secara redaksional, yang menarik karena berbeda dengan ayat-ayat yang lainnya adalah bahwa perintah ber-syukur dalam ayat ini tidak dengan perintah langsung “Bersyukurlah kepada Allah”, tetapi disertai dengan petunjuk Allah dalam mensyukuri-Nya, yaitu “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”. Padahal dalam beberapa ayat lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti dalam firman Allah yang bermaksud, “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku”. (QS. Al-Baqarah, 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. Redaksi seperti dalam ayat di atas menunjukkan bahwa esensi syukur ada pada perbuatan dan tindakan nyata sehari-hari. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks syukur yang sungguh-sungguh, yaitu dengan lisan dalam bentuk pengakuan dan pujian, dengan hati dalam bentuk kesaksian dan kecintaan, serta dengan seluruh anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan. Sehingga bentuk implementasi dari rasa syukur bisa beragam; sholat seseorang merupakan

bukti syukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan syukurnya, segala kebaikan yang dilakukan karena Allah adalah implementasi syukur. lntinya, syukur adalah takwa kepada Allah dan amal sholeh seperti yang disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.

Az-Zamakhsyari memberikan penafsirannya atas petikan ayat, “Bekerjalah wahai keluarga Daud

untuk bersyukur kepada AILah” bahwa ayat ini memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan mengabdi kepada Allah SWT dengan semangat motivasi mensyukuri atas segala karunia nikmat-Nya. Ayat ini juga menjadi argumentasi yang kuat bahwa ibadah hendaklah dijalankan dalam rangka mensyukuri Allah SWT. Makna inilah yang difahami oleh Rasulullah SAW. ketika Aisyah ra mendapati beliau senantiasa melaksanakan sholat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Mengapa engkau berbuat seperti ini?. Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?”. Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).

Pemahaman Rasulullah SAW. akan perintah bersyukur yang tersebut dalam ayat ini disampaikan kepada sahabat Mu’az bin Jabal ra dalam bentuk pesannya setiap selesai sholat, “Hai Muaz, sungguh aku sangat mencintaimu, Janganlah engkau tinggalkan setiap selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berdzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan beribadah dengan baik”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dalam pandangan Sayid Qutb, penutup ayat di atas “Dan sedikit sekali dari hamb-hambaKu yang

bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan kelalaian hamba Allah dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan mampu menandingi nikmat Allah yang dikaruniakan terhadap mereka yang tidak terbilang. Sehingga sangat ironis dan merupakan peringatan bagi mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali. Dalam hal ini, Umar bin Khattab ra

pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa demikianl”. Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali darihamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku ermasuk yang sedikit tersebut.

Ciri lain seorang hamba yang bersltikur secara korelatif dapat ditemukan dalam ayat setelahnya bahwa ia senantiasa memandang segala jenis nikmat yang terbentang di alam semesta ini sebagai bahan perenungan akan kekuasaan Allah SWT yang tidak terhingga, sehingga hal ini akan menambah rasa syukurnya kepada Zat Yang Maha Kuasa. Allah SWT. berfirman diantaranya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan ALLah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (QS. Saba’: 19).

Memang komitmen dengan akhlaqul Qur’an, diantaranya bersyukur merupakan satu tuntutan sekaligus kebutuhan di tengah banyaknya cobaan yang menerpa bangsa ini dalam beragam bentuknya. Jika segala karunia Allah SWT yang terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan senantiasa mengacu kepada aturan Allah SWT Sang Pemilik Tunggal, maka tidak mustahil, Allah akan menurun-kan rahmat dan kebaikan-Nya untuk bangsa lni dan menjauhkannya dari malapetaka, karena

demikianlah balasan yang tertinggi yang disediakan oleh Allah SWT bagi komunitas dan umat yang senantiasa mampu mensyukuri segala bentuk karunia nikmat Allah, “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. (QS. AnNisa’: 147).

 

Oleh: DR. Atabik Luthfi, MA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN