Keuletan adalah kunci kesuksesan, apalagi jika disertai dengan doa. Itulah gambaran seorang pengusaha rumah makan di bilangan Cimanggis ini. Dengan susah payah, ia membangun usahanya hingga memperoleh kesuksesan. Semua itu didapat- kannya setelah ia dan keluarganya, berusaha lebih dekat dengan semua perintah Allah. Berikut kisahnya.
Pada tahun 1964, saya diterima sebagai pegawai negeri sipil di daerah Jawa Tengah. Saya bertugas di sebuah perkebunan milik pemerintah. Sebagai orang kampung, saya merasa terhormat dengan profesi saya itu. Hidup sebagai petugas perkebunan saya jalani dengan penuh semangat. Kehidupan terus berjalan. Saya dikaruniai 3 orang anak yang membutuhkan biaya untuk hidup. Gaji sebagai seorang pegawai negeri sipil, saya rasakan sangat kurang bahkan tidak cukup. Sambil bekerja di perkebunan, saya mencari obyekan sana sini untuk menambah penghasilan yang memang pas-pasan. Alhamdulillah, saya rnendapatkan uang tambahan dari ordermembuat gudang serta rumah di sekitar perkebunan. Dengan berbagai obyekan itu, tetap saja kehidupan kami masih terasa susah. Pada tahun 1972, tiba- tiba saya dipindahtugaskan ke Jakarta, masih di instansi yang sama. Walaupun terasa berat meninggalkan kampung halaman, saya berangkat bersama istri dan ketiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beribu harapan tertumpah dalam benak. Semoga Ibukota Jakarta memberikan penghidupan yang lebih baik.
Berdesak-desakan di dalam kereta, sudah menjadi langganan orang kecil seperti kami. Karena bekal yang terbatas, kami harus ngirit selama di perjalanan. Anak saya minta ini itu, saya biarkan saja. Dengan telaten istri saya mencoba menghibur mereka dengan seuntai kisah-kisah yang akhirnya bisa membuat mereka tertidur pulas.
Sebagai orang yang awam terhadap pemahaman agama, hanya pesan-pesan dari Embah di desa yang saya ingat. “Kalau kamu punya hutang, segeralah membayar sebelum ditagih, “katanya. Guratan wajahnya yang semakin renta terus terbayang dalam ingatan. Sementara, pesan-pesan para ustadz di kampung, tidak ada yang membekas di otak.
Setibanya di Jakarta, kami mengontrak sebuah ruangan sempit berukuran 5 x 4 m di daerah Cimanggis. Kami memilih daerah itu, karena hanya daerah itulah yang terjangkau oleh keuangan kami. Rumah sempit dan kumuh itu, harus kami tempati berlima. Jangankan memikirkan bagaimana ventilasi udara di rumah, bisa tidur nyenyak saja kami sudah bahagia. Setiap hari saya pulang pergi Cimanggis-Jakarta naik kendaraan umum. Untuk menutupi kebutuhan sehari- hari, saya mencoba mencari penghasilan tambahan di Jakarta. Sepulang bekerja, saya menjadi makelar motor sekenanya saja. Bahkan punya usaha ‘PALUGADA’ apa yang elu perlu, gua ada. Namanya juga obyekan, kadang-kadang hasil, kadang-kadang jeblok. Setiap bulan, kita sudah terbiasa berhutang di warung, seperti beras dan lauk-pauk. Bahkan pernah istri saya harus menjual cincinnya untuk membeli susu. Kata orang gali lubang tutup lobang. Cuma lubang saya, jarang ditutupnya, menggali terus.
Saya terus berpikir bagaimana caranya menambah income. Saat bekerja di Jakarta, saya punya relasi toko bangunan milik orang Cina. Karena kepepet terus, saya bilang padanya kepingin jualan barang- barang material walaupun sedikit. Tetapi niat itu belum bisa terlaksana, karena saya belum punya tempat yang memadai. Tiba-tiba Allah memberikan jalan kepada saya. Waktu saya kontrak di rumah saya itu, Pak Haji pemilik rurnah, sering pinjam uang kepada saya. Istilahnya, bayar dahulu kontrakan sekarang, untuk bayar bulan depan. Kalau punya uang sedikit-sedikit, saya nitip ke Pak Haji. Akhirnya Pak Haji itu tidakbisa mengembalikan pinjamannya, malah saya dikasih tanah 200 m². Saya disuruh mencicil berapa saja. Boleh Rp.5.000,-, boleh Rp. 2.500,- setiap bulannya. Ketika cicilan saya hampir lunas, Pak Haji mau menjual seluruh tanahnya kepada orang Cina (2000 m²), termasuk tanah saya yang 200 m². Harganya cukup lumayan, satu meter dibayar satu juta rupiah.
Setelah tanah tersebut jadi di beli, saya tidak minta uang. Saya ikut saja dengan Pak Haji kemana ia pergi. Pak Haji membeli tanah 2 100 m² masih di daerah Cimanggis, yang sekarang menjadi rurnah saya. Saya kebagian 600 m², sisanya uang cash sebanyak Rp. 400 ribu. Dengan uang tersebut, saya membuat gubuk sederhana berukuran 40 m². Gubuk itu berdidingkan batako dan beratapkan seng. Walaupun begitu, langsung kami tempati. Rumah tersebut bagaikan istana terindah yang pernah kami miliki. Nah mulai saat itulah saya terbebas dari hutang untuk kontrak rumah. Sejak itu, saya bisa membeli sebuah vespa butut. Ya lumayan lah.
MERINTIS USAHA KECIL. KECILAN SAMPAI SUKSES
Merasa sudah punya tempat untuk berjualan, saya meng- hubungi lagi relasi yang mempunyai toko bangunan itu. Saya ceritakan kepadanya, bahwa istri saya kepingin dagang barang-barang material. Daripada tidur siang lebih baik berdagang, kan bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Kebetulan toko material belum ada yang buka di daerah saya. Saya mencoba menjaminkan BPKB motor butut saya kepada orang Cina itu untuk mensuplai barang-barang material. Dia gak mau, dia malah bilang, “Sudahlah, tidak usah pakai jaminan segala.” la, sangat baik pada saya. Sorenya langsung dikirimi barang. Semen 10 sak, cat 10 kaleng, paku 10kg dan seng. Karena belum ada tempat yang memadai, semua barang-barang tersebut saya taruh di ruang tamu. Paginya saya ambil potongan triplek. Saya tulis pakal arang, “Di sini jual semen.” Saya gantung di pohon mangga pinggir jalan. Lalu saya tinggal bekerja ke Jakarta.
Ketika saya pulang kerja, istri saya bilang. “Mas-mas sudah ada yang laku.” Dengan nada sumringah (senang). Wah ini harapan besar. Barang masih di ruangan tamu, tempat masih belum jadi, tetapi sudah ada orang yang memesan dagangan kami. Besoknya saya cari tukang dari Jakarta. Saya mulai memperluas toko kira-kira 3 x 4 m dari triplek dengan atap dari seng. Saya mulai menata dagangan yang dijual. Cat saya susun berjejer biar kelihatan banyak. Saya rnulai menghubungi banyak orang di sekitar rumah. Disini kan banyak pengusaha ranjang. langsung saya hubungi, tentunya dengan harga bersaing. Itulah awalnya sehingga usaha saya berkembang terus. Istri saya semakin senang. Setelah pulang kerja, saya mampir ke toko bangunan teman saya itu, untuk beli barang-barang material. Saya langsung bawa sendiri pakai motor vespa butut saya. Setelah itu, saya antarkan kepada pelanggan berboncengan dengan seorang anak saya yang masih kecil. Saya dijuluki tukang paket, karena selalu membawa bungkusan. Usaha kami terus berkembang pesat, sampai akhirnya kami bisa membeli sebuah mobil Jip untuk kendaraan operasional. Waktu itu saya telah dikarunia 5 orang anak. Karena usaha semakin berkembang, saya memutuskan mengundurkan diri dari PNS (tahun 1975).
Karena anak-anak saya senang memasak, ditambah saya orang yang suka makan, saya mencoba membuka warung soto dan es buah masih di daerah Cimanggis. Saya berpikir, pasti laku menjual yang segar-segar di tengah suasana jalan yang terik. Tepatnya. ditahun 1991, saya memulai merintis berjualan makanan. Ukuran warung kami 6 x 4 m. Warung kami dibangun pada sisa-sisa bangunan yang tidak laku dikontrakkan. Afkiran- afkiran kayu sisa, saya pergunakan untuk memperindah toko sederhana itu. Pada saat itu, saya ikut prihatin terhadap makanan yang beredar di Indonesia. Makanan kita kan telah dijajah oleh bangsa lain. Anak-anak muda itu lebih bangga kalau pergi ke Kentucky atau Mac Donald, mereka dipaksa mengkonsumsi makanan-makanan luar negeri. Padahal masakan Indonesia itu lebih nikmat dari pada makanan luar negeri. Karena itulah, saya mencoba memunculkan makanan makanan tradisional asli Indonesia.
Saya tak menyangka, kalau warung tersebut berkembang dengan pesatnya. Setiap hari ada saja pembelinya. Untuk menambah pendapatan, warung kami juga menyediakan Bir (minuman keras). Maklum, saya kan orang awam yang tidak mengerti agama. Dan memang benar, setelah menyediakan Bir, warung terus ramai dikunjungi orang. Kehidupan terus berjalan. Warung makanan dan toko material saya berkembang dengan pesat. Di awal tahun 1993, saya mendapat hidayah. Saya dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang shalih. Anak saya yang nomor enam, minta disekolahkan di sekolah Islam. la kepingin sekolahnya yang memakai jilbab. Wah ini repot, kakak-kakaknya yang lain tidak ada yang pakai jilbab. Saya berpikir, kalau anak saya pakai jilbab, nantinya mau jadi apa. Saya bertemu dengan saudara di Jakarta Timur. la menunjukkan ada sekolah Islam yang bagus di daerah Depok (Nurul Fikri). Mulai saat itu, saya sering mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh sekolah untuk orangtua siswa. Saya tercerahkan, seperti orang yang baru masuk Islam. Saya berusaha melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Pertama kali melaksanakan sholat berjamaah di masjid, saya ditonton banyak orang. Malu sih, tetapi keinginan saya untuk berubah sudah mantap. Mulai saat itu saya berusaha menjalankan semua perintah Allah dalam setiap gerak langkah saya.
Saya langsung membujuk anak-anak saya untuk tidak menjual bir di warung. Mereka memberontak sampai terjadi konflik. Alasannya sederhana, karena bir menghasilkan income yang agak lumayan. Alhamdulillah, mereka akhirnya mau mengerti. Sore harinya, setelah tidak berjualan bir, anak saya datang dengan membawa uang yang sangat banyak. Saya merasakan keberkahan Allah datang menghampiri saya. Selama tiga tahun, belum pernah mendapatkan keuntungan seperti ini. (Menangis sambil menengadahkan tangan). Semenjak itu, anak saya bertambah yakin akan pertolongan Allah. Warung kecil itu pun lambat laun berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar. Rumah makan itu kami beri nama Pondok Laras (tempat istirahat).
Keberkahan terus bersama kami. Karyawan yang awalnya hanya 2 orang saja, kini hampir 30 orang. Luasnya hampir 6.000 m² dengan menu yang bervariasi. Saya menjawab semua kemajuan ini dengan terus meningkatkan kualitas ibadah keluarga. Hampir semua anak perempuan saya sudah berjilbab. Seluruh karyawan saya wajibkan mengikuti pengajian setiap hari Selasa. Di hari Rabu dan Jum’at, mereka dibekali dengan pelajaran tahsin dan tahfidz al-Qur’an. Orang bilang rumah makan saya seperti pesantren, karena semua karyawatinya menggunakan busana muslimah.