Chaerul Umam, Sutradara dan Ketua Lembaga Seni dan Budaya PP Muhammdiyah.
B anyak pihak prihatin dengan maraknya tayangan-tayangan misteri di TV. Seperti yang juga dirasakan oleh orang film sendiri, Chaerul Umam. Di sela-sela syuting filmnya, di kawasan Bambu Apus, lelaki yang biasa dipanggil Mas Mamang itu menyampaikan pandangannya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
Sebagai insan perfilman, apa komentar Anda tentang kondisi perfilman di Indonesia sekarang ini?
Ada sedikit perbedaan antara perfilman bioskop dengan film televisi (sinetron). Kalau film bioskop beberapa tahun ini bisa dikatakan sedang pingsan atau mati suri. Sedangkan film televisi (sinetron) sedang booming yang luar biasa. Hal ini pertama disebabkan banyaknya permintaan dari broadcast, sekarang sampai ada 9 broadcast dimana rata-rata menayangkan 20 jam bahkan ada yang 24 jam setiap hari. Ini semua membutuhkan cerita-cerita sehingga orang-orang yang belum pantas menyutradarai sebuah produksi terpaksa harus turun tangan menyutradarai, padahal di antara mereka ada yang mungkin tingkatnya masih asisten atau lebih rendah lagi seperti kameraman. Dampaknya adalah pada kualitas yang juga akhirnya rendah.
Tema-tema apa yang lagi diincar oleh para produser?
Pada umumnya para produser mengambil ‘selera-selera bawah’. Walaupun sebetulnya selera bawah itu bisa dibina dan ditingkatkan. Cuma pembinaan untuk menaikkan selera itu biayanya banyak, biasanya para kapitalis itu tidak mau keluar biaya terlalu besar untuk kebutuhan masyarakat. Yang penting kebutuhan dia dulu lah. Untuk mendapatkan tema-tema yang berkualitas butuh biaya, butuh survey, harus mencari penulis yang bagus, pemainnya pun yang berkualitas. Nah bayarannya itu kan mahal. Padahal belum tentu masyarakat bawah itu langsung menyukai. Jadinya mereka berpikiran yang jelas sajalah, yang orang bawah suka.
Jenis film yang disukai penonton sekarang?
Hampir semua jenis film masih disukai. Cuma untuk komedi misalnya, penonton banyak yang memilih komedi slapstik, komedi yang fisik, Bukan komedi pikiran atau situasi sebab ini sulit membuatnya. Orang-orang tertentu saja yang bisa membuatnya. Kemudian jenis film suspence atau ketegangan, ini juga banyak peminatnya. Begitu pun dengan film action yang biasanya dikemas dalam cerita-cerita lama supaya kostum dan penampilannya agak lain tapi pada hakikatnya itu hanya bak-bik-buk saja, pukul-pukulan, konflik yang tajam, dan sebagainya. Itu kan sudah daya tarik yang murahan, kelas permukaan. Terus dibumbui legenda biar menarik, legenda ini biasanya dikarang sendiri sejarahnya, kostumnya dsb. Kadang legendanya Jawa tapi pakaiannya Hongkong. Kedalaman sejarahnya pun nggak penting.
Kemudian jenis horor, horor ini dibuat yang aneh-aneh. Sebetulnya ada jenis horor yang berkualitas, di luar negeri banyak film barat yang dibuat berkualitas, penekanannya pada situasinya yang mencekam. Kalau kita jalan pintas saja: syetan. Atau yang aneh-aneh. Terkadang cerita- cerita di tukang warung itu divisualisasikan, seperti ada orang yang lagi makan sate ternyata mukanya rata. Situasi negeri yang lagi porak-poranda pun ini dimanfaatkan para produser dengan menyuguhkan film-film yang membuat masyarakat berpikir praktis berkhayal, umpamanya bagaimana menjadi kaya dengan cepat.
Untuk jenis horor, apa sikap dan pandangan Anda? Apalagi, selain sinetron, banyak jenis acara lain, dari sajian khusus sampai reality show?
Saya pribadi tidak suka, seandainya saya. suka, saya akan mengikuti mereka membuat film semacam itu. Tetapi walaupun saya tidak suka saya tidak bisa melarang mereka, saya paling hanya bisa memberi mereka alternatif, saya berupaya apa yang saya lakukan ini bisa menjadi alternatif. Dan memang seharusnya kita ngasih alternatif, sebab yang punya TV bukan kita. Dan negeri ini katanya negeri bebas, ditawari syariat Islam nggak mau. Ya sudah inilah konsekuensinya. Kita sebagai umat Islam tidak punya TV, jadi kita hanya bisa menawarkan alternatif. Untuk melarang susah dan bukan hak kita. Itu haknya badan sensor, Majelis Ulama atau yang lain.
Tapi bukankah akibatnya merusak dan menghancurkan bangsa kita?
Mereka tidak peduli, yang penting dagangan mereka laku. Masyarakat mau membayar, membayarnya itu dengan menonton. Yang membayar uangnya nanti itu si iklan. Yang penting banyak yang menonton, iklan mau bayar. Yang menentukan sekarang itu iklan. Iklan nggak mau bayar, TV rugi.
Dari segi biaya penggarapan, bagaimana tayangan-tayangan seperti itu?
Jelas jauh lebih murah dan lebih laku. Acara itu kan tidak butuh bintang-bintang besar dan biaya produksinya pun tidak begitu besar. Apalagi sekarang dengan adanya teknologi komputer semuanya jadi lebih gampang. Kalau dulu mesti ke lab, ke Hongkong, ke Amerika, izinnya susah. Sekarang tinggal klik-klik saja beres.
Penilaian Anda, apakah ada dampak dari maraknya acara-acara tersebut pada masyarakat kita?
Kalau dilihat dari segi keyakinan agama mereka semakin sesat. Tambah percaya bahwa syetan- syetan atau jin-jin itu bisa nongol, bisa berkuasa, mengatur, bisa ngasih rejeki dsb. Akibatnya mereka semakin sesat.. sesat..dan sesat. Semakin percaya pada perdukunan, percaya pada pepohonan, pada arwah-arwah yang tidak jelas dsb.
Apakah di luar negeri acara-acara seperti ini juga laku sebagaimana di Indonesia?
Di luar negeri mungkin justru minoritas, Hanya stasiun TV-TV yang murah yang menayangkan acara-acara seperti itu. Kalau film bioskop maka hanya diputar oleh bioskop-bioskop pinggir kota. Film-film horor kita laku di situ, tapi nama- namanya sudah pada diubah menjadi nama-nama bule semua. Ha.. Ha..
Anda sendiri, apakah tidak punya keinginan untuk membuat film-film seperti itu?
Oo, saya sangat kepingin. Tapi untuk meluruskan keyakinan-keyakinan yang salah. Ada rencana seperti itu, seperti bagaimana mengusir jin, menangani orang kesurupan. Baik itu dalam bentuk dokumenter ataupun cerita, bahwa semua itu hanyalah khayal orang saja. Kesurupan itu memang ada tapi bagaimana menanganinya itu perlu disampaikan.
Selain Anda, adakah sutradara-sutradara lain yang punya keinginan sama dengan Anda?
Ada beberapa, yang saya ketahui seperti Deddy Mizwar, Imam Tanthowi mereka juga gemes terhadap hal-hal seperti itu. Tapi mereka juga hanya sebatas gemes saja karena kami bukan penyandang dana. Yang berkuasa sekarang sebenarnya para kapitalis terutama pengusaha iklan. Mereka itulah yang menentukan strategi tema. Sebetulnya iklan itu juga tidak sepenuhnya bergantung pada pengusaha bahkan lebih bergantung pada rakyat. Kalau rakyat bersatu, umpamanya untuk memboikot suatu iklan itu bisa. Seperti apa yang dilakukan ibu-ibu majlis taklim yang kirim surat kepada iklan bahwa mereka tidak akan membeli produk itu jika diiklankan di acara ini acara itu. Cuma sayangnya ini hanya beberapa saja. Coba lebih banyak lagi bahkan menjadi satu gerakan. Itu luar biasa bisa menyetir acara.
Terakhir, apa harapan Anda kepada umat Islam atau dunia perfiman?
Yaa ..harapan saya mestinya kita umat Islam punya stasiun televisi sendiri. Sekarang sudah dibuka otonomi daerah dan bermunculan stasiun- stasiun TV lokal, mestinya ini kita manfaatkan.
Ghoib, Edisi No. 14 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M