Merindukan Oase Iman di Negeri Kanguru

Suatu siang agak redup dengan tiupan angin dingin, Majalah Ghoib memasuki ruang museum nasional Australia di Canberra, ibu kota Australia. Suasana weekend terasa betul. Sepasang suami istri lengkap dengan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil nampak menikmati suasana museum yang bercerita banyak tentang sejarah Australia.

Bangunan museum itu sangat megah, bersih dan rapi. Majalah Ghoib segera menuju ruangan presentasi tentang Australia dari dulu hingga kini. Ruangan itu diset tempat duduknya seperti sebuah bioskop dengan beberapa layar televisi berteknologi canggih plus permainan lampu yang menawan. Selesai presentasi di ruang pertama, ruangan tempat para hadirin duduk itu berputar dan memasuki ruangan kedua dengan presentasi lanjutan. Begitu selanjutnya hingga ruangan itu berputar ke ruangan terakhir untuk presentasi yang terakhir. Dan setelah selesai, keluar dari pintu yang berbeda dengan pintu masuk.

Isi presentasi itu berbicara tentang Australia dari sejarah awalnya hingga kehidupan kini dengan segala harapannya. Hanya saja, ada satu hal yang menarik. Di awal presentasi di ruangan yang pertama, sebelum film bercerita tentang segalanya, presentasi itu dimulai dengan potongan terakhir suara adzan di tengah alunan musik pembuka. “Allahu Akbar!” begitulah suara itu sayup-sayup terdengar dan selanjutnya suara itu tertutup oleh alunan music Aborigin.

Tentu bukan sebuah kebetulan ketika seruan untuk memenuhi panggilan Allah diletakkan di awal presentasi tentang sejarah Australia. “Di tengah benua Australia ini ada sebuah monumen yang menandakan bahwa dulu di tempat itu ada masjid mengawali sejarah benua ini,” jelas Aldian seorang kandidat Phd kepada Majalah Ghoib saat bersilaturahim di rumahnya di kota Adelaide, Australia Selatan.

Komunitas muslim di Australia tidak bisa dibilang sedikit. Dari muslim Asia termasuk Indonesia, Arab terutama dari Libanon yang sebagian dari mereka telah berhasil menduduki kursi parlemen sebagai perwakilan muslim Libanon dan bahkan sebagian penduduk bule asli Australia yang telah masuk Islam.

Mereka semua merindukkan oase iman di tengah gurun kehidupan benua ini. Kerinduan itu sangat terasa bagi siapapun yang mengunjungi negeri ini dengan iman. Sangat terasa.

Kerinduan itu tak hanya ada dalam hati beku seperti musim winter yang sebentar lagi hadir. Tetapi kerinduan itu telah berbicara banyak terefleksikan dalam berbagai bentuk aktivitas imani.

Seperti saat mereka pernah mengundang ahli kristologi dunia ternama Ahmad Deedat yang mengadakan debat terbuka di Town Hall di pusat kota Sidney. Peserta dari orang-orang asli Australia non muslim sendiri sangat banyak. “Walaupun sehari setelahnya media-media Australia memprotes acara yang diadakan bertepatan pada hari Paskah tersebut. Mereka merasa kecolongan begitu lah,” kata Erman asli Indonesia yang sudah lama tinggal di Australia.

Bukan hanya Ahmad Deedat, tokoh Islam terkenal dunia lainnya, Prof. Tariq Ramadan juga pernah diundang dalam acara yang sangat bergengsi. The Largest Islamic Event in Australia, begitulah nama acaranya. Karena acara itu diadakan di Opera House yang merupakan lambang khas Australia di Sidney. Ari yang ketika itu juga hadir dalam acara mengungkapkan kebanggaannya pada acara tersebut. “Subhanallah inilah saat surat ar-Rahman diperdengarkan pertama kali di Opera House.” Acara dengan tiket AU$ 45 itu bertema-besarkan “Does God Exist?” Acara tersebut diadakan pada tanggal 26 Desember 2004 bertepatan dengan Tsunami menya pu Aceh dan Sumut.

Dan pada saat Majalah Ghoib masih berada di Sidney, poster tentang kehadiran Anwar Ibrahim dari Malaysia bisa dijumpai di banyak tempat. Tokoh Islam Malaysia yang terdzalimi, begitu mereka memperkenalkan Anwar Ibrahim, akan hadir memberikan ceramah di Town Hall.

Jelaslah betapa kerinduan merasakan kesejukan nasehat imani dan bahkan suasana ingin berbagi kesejukan itu kepada siapapun membuncah di hati muslimin di Australia.

Di Australia memang tidak terdengar adzan berkumandang keluar dari masjid dan memang dilarang karena mengganggu tetangga. Tetapi adzan itu berkumandang di hati muslimin. Terkadang mereka menyetel komputer yang selalu stand by untuk mengumandangkan adzan di rumah masing-masing pada jam shalat lima waktu. Atau bahkan pada jam tangan mereka. Mereka datang dari tempat yang tidak dekat untuk shalat Shubuh di masjid. Lutfi umpamanya, bapak yang kini telah menda-patkan pensiunan dari pemerintah Australia itu sering shalat Shubuh di masjid Ali bin Abi Thalib di Lakemba. “Ah, tidak jauh. Kan kita dikasih sarana mobil sama Allah. Hanya fifteen minutes saja.” Walau sebenar nya lima belas menit dengan mobil di saat jalanan lengang bukan jarak yang pendek.

Suasana shalat Jum’at pun unik. Di masjid Puchbowl, khatib berbahasa Arab dan kemudian disimpulkan dengan bahasa Inggris pada khutbah kedua. Di Masjid Tempe menggunakan bahasa Indonesia yang digabungkan dengan bahasa Inggris. Di Masjid Dee Way menggunakan bahasa Indonesia yang juga digabungkan dengan bahasa Inggris. Di Masjid Gallipoli, masjid terbesar di Sidney menggunakan bahasa Turki dan Inggris. Yang lebih unik lagi masjid Penshurst yang menggunakan bahasa Bosnia Arab dan Inggris.

Ketika Majalah Ghoib shalat Jum’at di masjid Ali bin Abi Thalib, Lakemba, khatibnya adalah mufti Australia Syekh Tajuddin al-Hilaly yang berbicara dengan bahasa Arab dengan pembahasan serial ketiga dari tema “Menegakkan kembali negeri Islam”. Sedang waktu shalat di mushalla Curtin University di Perth Australia Barat, khatib menggunakan bahasa Inggris yang sesekali diselingi bahasa Arab. Ya, agar Islam ini sampai ke hati setiap muslim yang hadir dengan berbagai bahasa dunia.

Tidak hanya sampai di situ, kerinduan itu berhembus hingga setiap komunitas muslim berniat mendirikan Islamic Center yang sebagiannya telah berdiri. Seperti Global Islamic Youth Center yang bertempat di Liverpool. Suatu Maghrib Majalah Ghoib berada di tempat itu bersama dengan para pemuda berbadan gempal. GIYC selain mengadakan kajian Islam, juga menyediakan ruangan dan waktu untuk senam dan beladiri, bahkan untuk para muslimah muda.

Islamic Center akan terus bermunculan. Seiring dengan dialihfungsikannya gereja-gereja menjadi masjid. Karena tidak mudah mendapatkan ijin mendirikan masjid. Masjid boleh didirikan di tempat yang memang digunakan untuk ibadah, seperti bekas gereja yang telah dijual. Masjid AIM Puchbowl umpamanya, dulunya adalah bekas gereja yang telah ditinggalkan oleh jamaahnya. Bukan hanya itu masjid Tempe pun dulunya adalah gereja yang dijual. “Penjualannya diumum kan di koran. Dulu kita beli seharga kurang lebih AU$ 200.000,” jelas Djarnaib sesepuh Indonesia di Sidney.

Gereja memang telah banyak yang kosong. Setidaknya itulah pemandangan yang bisa kita saksikan di kota-kota di Australia. Biasanya, hanya gereja-gereja milik komunitas Yunani saja yang ramai, karena mereka dikenal sebagai komunitas Kristen yang taat. Hari Minggu, tidak dijumpai keramaian di gereja. Tempat yang ramai adalah tempat-tempat rekreasi seperti pantai dan taman. Gereja hanya menjadi tempat ritual tertentu saja. Itulah pengakuan seorang ibu tua asli Australia yang menegur tim Majalah Ghoib di depan gedung Galeri Seni di kota Adelaide “Saya hanya dua kali ke gereja seumur hidup saya. Saat saya menikah dan nanti kalau saya meninggal.” “Di kota ini gereja tertuanya adalah gereja Anglikan. Tetapi separo dari jumlah gereja itu telah berubah menjadi pub atau rumah,” lanjutnya tanpa ada beban bersalah. Kalau ibu tua itu bercerita bahwa dia sudah pernah ke gereja saat menikah dulu, berarti dia pernah sekali menginjak lantai dalam gereja. Nah, bagaimana dengan kebanyakan orang Australia yang tidak memandang penting sebuah ikatan pernikahan. Berarti mereka tidak pernah melihat tempat ibadah mereka, karena kesempatan terakhir mereka adalah saat mereka mati.

Tanpa Islam negeri ini kering. Sekering gurun Australia yang luas. Tapi, geliat Islam di Australia sudah mulai dirasakan. Ketika Majalah Ghoib berkenalan dengan muslim asli Aljazair di masjid tertua di kota Sidney, dia selanjutnya berkata, “Tidak penting kita datang dari mana ini kan bumi Allah juga.”

Tepat, benua ini pun bumi Allah. Dan memang, tanpa Islam kehidupan masyarakat benua ini akan sangat gersang, segersang gurun benua yang luas. Kini, oase iman mulai ditemukan di tengah hamparan padang gurun. Oase itu mulai meluas, meluas dan terus didatangi orang yang mulai jengah dalam menikmati dunianya. Dan suatu saat nanti, sepenggal adzan yang diperdengarkan di awal presentasi di museum nasional Australia itu akan benar-benar berkumandang di bumi Allah ini. Bukan hanya sepenggal.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi Khusus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN