Masjid yang menempati bekas lokalisasi Kramat Tunggak itu menarik perhatian setiap orang yang lewat di jl. Kramat Raya. Dengan menara yang setinggi 114 meter, ia seakan menantang langit. Sangat kontras dengan bangunan sekitar yang sepi dari bangunan bertingkat. Sementara hamparan tanah luas menghijau menambah daya tarik tersendiri. Tidaklah mengherankan bila setiap malam warga sekitar berdatangan ke masjid ini, meski sekedar bermain-main dengan teman atau sanak keluarga.
Masjid yang terdiri dari tiga lantai dengan ketinggian 60 meter ini mencerminkan perpaduan arsitektur Timur Tengah dan Betawi. Meski gaya timur tengah nampak lebih dominan. Lambang bintang delapan, dapat dijumpai dimana-mana. Hingga tempat wudlu yang terletak di luar sebelah kanan dan kiri masjid juga bergaya bintang delapan dengan delapan kran air. Kran luar ini rupanya disediakan buat jamaah yang tidak bisa masuk ke lantai dua.
Sementara di lantai dua yang menjadi ruang shalat utama, tidak terlihat satupun tiang yang menyangga balkon. Darimanapun anda memasuki ruang utama ini maka kesan luas, akan terasa. Dan perhatian dengan sendirinya akan tertuju pada dua buah Al-Qur’an besar yang terletak di kanan kiri mihrab Al-Qur’an yang memancing minat jamaah untuk mengabadikannya dengan foto bersama. Sementara kilatan cahaya yang bersumber dari lampu yang didesain seperti dua sayap kupu-kupu yang mengembang 15 derajat, menambah keindahan ruangan utama ini. Seakan kupu-kupu itu terbang di angkasa. Malam Idul Adha lalu Majalah Ghoib sempat menikmati indahnya bermalam di masjid kebanggaan warga Jakarta Utara. Berikut riwayat Kramat Tunggak yang terkenal itu.
Kramat Tunggak, Omset Dua Milyar Semalam
Saat mendengar nama Kramat Tunggak, bayangan kemesuman segera menyeruak ke dalam benak. Bayangan wanita-wanita muda dengan dandanan menor dan pakaian seadanya. Hal ini tidak bisa disalahkan karena sejak tiga puluhan tahun yang lalu Kramat Tunggak layaknya menjadi surga dunia bagi lelaki hidung belang dan para germo. Kramat Tunggak mencatatkan diri di antara deretan kawasan mesum terbesar, seperti gang Dolly di Surabaya.
Tapi kini pemandangan itu tidak lagi bisa disaksikan. Deretan bangunan rumah bertingkat dengan alunan musik dangdut itu tidak lagi ditemukan. Di lahan lokalisasi wanita Tuna Susila itu telah berganti dengan bangunan masjid megah. Masjid Islamic Centre Jakarta yang menjadi kebanggaan warga Jakarta Utara.
Sejarah lembaran hitam di Kramat Tunggak memang bisa dikatakan tidak terlalu panjang. Hanya seumuran lelaki dewasa. Sebenarnya nama Kramat Tunggak memiliki legenda tersendiri sebagaimana diceritakan Haji Yasin seorang warga Kampung Beting yang sempat ditemui Majalah Ghoib di Masjid Islamic Centre, sejarah nama Kramat Tunggak berawal dari keberadaan sebuah sumur sedalam tiga meter di jalan Mengkudu. Di dalam sumur tersebut ditemukan sebuah tombak yang menancap dengan kokoh. Itulah mengapa kawasan ini kemudian disebut dengan Kramat Tunggak. Kata tunggak merupakan pergantian dari kata tombak. Hal ini tak lain hanyalah untuk lebih memudahkan pengucapannya saja.
Awal tahun tujuh puluhan di Kramat Tunggak memang sudah ada deretan rumah-rumah kecil yang menjadi ajang transaksi seksual. Tepatnya di gang 6. Namun, sayang sekali gang 6 yang menjadi cikal bakal WTS itu masih bertahan hingga sekarang. Bahkan di gang 6 ini menurut Alam, mantan juru parkir di kawasan Kramat Tunggak, masih ada tiga losmen yang melayani bisnis esek-esek ini. Gang 6 ini masih belum masuk dalam wilayah yang dibebaskan dari kawasan pemukiman.
Apa yang terjadi di gang 6 saat itu, rupanya juga menjadi pemandangan sehari-hari di wilayah lain. Saat itu setiap menjelang malam di Jakarta bertebaran “becak komplet”. Maksudnya, becak yang menyediakan pelacur di dalamnya. Sedangkan yang menjadi makelar transaksi seks itu tak lain adalah abang becak itu sendiri.
Perkembangan Kramat Tunggak menjadi kawasan lokalisasi WTS yang bergaung hingga manca negara ini tidak terlepas dari tangan keras Ali Shadikin. Bang Ali demikian biasa dipanggil yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta membuat gebrakan luar biasa. Seakan tutup telinga dari kritikan pedas para ulama. Bang Ali terus saja melenggang dengan ide gilanya. Menjadikan kawasan Kramat Tunggak sebagai lokalisasi WTS.
Menurut Haji Yasin alasan pemilihan Kramat Tunggak karena daerah ini masih jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Di samping itu daerah persawahannya juga masih luas. Namun, itu bukanlah satu-satunya alasan. Masih ada sederet pertimbangan lainnya. Bagi orang yang tinggal di Jakarta pasti sudah tahu bahwa pelabuhan laut Tanjung Priuk berada di wilayah Jakarta Utara. Pelabuhan Tanjung Priuk merupakan pelabuhan internasional. Sehingga banyak kelasi-kelasi kapal yang berasal dari berbagai negara. Baik Asia, Eropa maupun dari kawasan Amerika yang membutuhkan jasa para wanita tuna susila. Demikianlah alasan lain yang disampaikan oleh Drs. H.Endang di masjid Islamic Centre Jakarta.
Klop sudah keinginan aparat pemda DKI untuk mengeruk keuntungan dari lokalisasi ini dengan kebutuhan masyarakat. Entah masyarakat yang mana Karena prinsip Bang Ali sebagaimana dilansir di media masa, “Sebagal gubernur, saya harus melindungi dan mensejahterakan rakyat. Itu prinsip saya,” katanya. Walaupun prisip itu sekali lagi mengundang kontroversi.
Hari demi hari Kramat Tunggak semakin terkenal. Kramat Tunggak semakin meluas hingga mencapai II ha. Mengejutkan, untuk kawasan lokalisasi WTS, yang jelas-jelas dilarang agama ini menelan lahan seluas itu. Di lahan ini berdiri setidak-tidaknya ribuan rumah bordil. Menurut Alam, mantan Juru parkir Kramat Tunggak, tidak sedikit dari rumah bordil itu yang menempati lahan seluas 50 x 50 m. Yang rata-rata dibangun dua tingkat kemudian disekat menjadi kamar- kamar kecil dengan ukuran 2 x 3 m. dengan demi- kian satu rumah bisa mencapai 40-50 kamar. Katanya, satu rumah bordil bisa menampung 35 hingga 70 wanita tuna susila. Jumlah yang sangat besar.
Bila demikian banyak rumah bordil dan sedemikian besar jumlah wanita tuna susilanya, tidaklah mengherankan bila dalam semalam omsetnya bisa mencapai dua milyar. Bisa dibayangkan berapa besar potensi ekonominya. Karena keberadaan lokalisasi dengan ribuan WTS ini, tentu akan mengundang datangnya pihak yang ingin mengeruk keuntungan. Seperti kata pepatah, “Dimana ada gula disitu ada semut” ribuan pencari kerja berdatangan mulai dari juru parkir, tukang cuci, penjual makanan atau minuman dan lain-lainnya. Demikian cerita Drs H. Endang.
Sebesar apapun keuntungan yang diperoleh dari tempat ini, tetap saja tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Mabuk-mabukan, penggunaan obat-obatan terlarang, perkelahian hingga menyebabkan nyawa melayang merupakan pemandangan setiap malam. Nyawa seakan tidak ada harganya. Hanya karena tersenggol sedikit ketika sedang asyik berjoged. Seperti diceritakan Haji Yasin, “Dulu masing-masing rumah ada hiburan dangdut dan setiap tamu bisa menyumbang lagu yang asyik buat joged. Hampir tiap malam sekurang-kurangnya satu nyawa melayang.”
Akhirnya hiburan dangdut itu diganti dengan musik radio. Meski demikian tetap saja tidak menjawab masalah. Keributan demi keributan terus berlangsung.
Warga asli sekitar Kramat Tunggak yang tadinya adem ayem itu terpengaruh. Anak-anak mudanya satu dua mulai berdatangan ke lokalisasi, “Dulu ada pemuda dari warga sekitar yang datang ke Kramtung. Kemudian nyoba bermain dengan seorang WTS. Habis itu dia langsung ngeloyor pulang tanpa bayar. Langsung saja dia diteriakin maling Untungnya dia anaknya orang yang berpengaruh, sehingga dibiarkan pergi,” ujar haji Yasin sambil tertawa mengenang cerita yang lucu ini.
Masjid Megah Bersihkan Tanah Hitam Kramtung
Untunglah gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso yang biasa dipanggil dengan Bang Yos menyadari bahwa lokalisasi Kramat Tunggak harus segera diakhiri. Bang Yos berani tampil beda dengan pendahulunya, Bang Ali. Setelah melihat bahwa masyarakat sudah membaur dengan lokalisasi. Dan yang lebih parah lagi anak-anak warga sudah banyak yang menjadi tumbal. Sebagaimana yang menimpa anak seorang tokoh warga kampung Beting itu. Kalau mau jujur, itu adalah sepenggal kisah pilu dari sekian banyak kasus lainnya. Kasus demi kasus yang akhirnya membuka mata hati para pemegang kekuasaan Jakarta, hingga akhirnya lokalisasi Kramtung resmi ditutup tahun 1999.
Kini bekas lokalisasi Kramat Tunggak di jl. Kramat Jaya kec. Koja, Jakarta Utara itu telah disulap menjadi Jakarta Islamic Centre seluas 10, 9 ha. Meski, sekarang di tengah lokasi ini baru berdiri sebuah masjid dengan menara setinggi 114 m, namun nantinya akan dilengkapi dengan bangunan lain yang secara terpadu menjadi pusat kebudayaan, pusat syiar Islam, pusat dakwah dan pusat pendidikan Islam.
Tekad ini semakin nampak kuat, saat gubernur Sutiyosa meresmikan Jakarta Islamic Centre pada 4 Maret 2003, “Dengan peruntukan seperti saat ini, lokasi Kramat Tunggak yang dulu kita kenal sebagai tanah hitam akan berubah menjadi tanah putih, lambang kesucian yang menampilkan citra baru yang mampu menyejukkan dan memancar kan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan,” kata Sus yoso sebagaimana dilansir di berbagai media masa.
Harapan ini tidak sekejar keinginan Sutiyoso semata, tapi juga harapan dari sekian juta penduduk Jakarta yang sudah muak dengan pelacuran yang dilegalkan. Karena itu, pihak yang terkait secara langsung dengan pengambil kebijakan atas keberlangsungan kegiatan di masjid ini sudah seharusnya mengerahkan segala kekuatan untuk menghidupkan masjid. Ketua bidang kegiatan masjid Islamic Center menangkap harapan ini dan menterjemahkannya dalam berbagai bentuk kegiatan. Baik yang bersifat pekanan atau harian. Yang tergolong bersifat pekanan adalah pengajian ibu-ibu yang diselenggarakan setiap hari Sabtu pada pekan ketiga. Pada malam Sabtu diadakan pengajian figh, malam Jumat diadakan dzikir bersama. Dan tidak ketinggalan setiap hari Ahad juga digelar pengajian. Pengajian TPA diselenggarakan setiap hari.
Untuk mewujudkan harapan menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, saat ini telah dididik 40 dai muda. Mereka adalah remaja-remaja pilihan lulusan dari berbagai SMA dan yang sederajat di seluruh Jakarta Utara. Ada 20 remaja putra dan 20 putri yang dengan antusias mengikuti program ini. Pihak pengelola kegiatan memahami bahwa untuk mencapai tujuan itu seyogyanya para dai tidak terbebani dengan urusan di luar kuliah. Mereka diharapkan dapat memfokuskan pada belajar. Akhirnya diambil keputusan untuk membebaskan mereka dari biaya kuliah yang ditempuh selama 4 semester.
“Para dai itu diharapkan mampu mengayomi masyarakat. Dai yang tidak hanya mengejek dan mencela kesalahan orang lain tapi seorang dai yang memberi pengertian. Seorang dai yang memberi solusi bukan tukang bikin masalah,” sebagaimana disampaikan KH. Nashruddin, saat ditemui Majalah Ghoib selepas khutbah Idul Adha. “Kalau perlu seorang dai juga harus berani masuk ke lokasi perjudian atau WTS. Tapi untuk itu dibutuhkan karakter seorang dai yang tahan banting dan tidak mudah terpengaruh,” lanjut pak Kyai.
Keberadaan Jakarta Islamic Centre dengan masjid dan halamannya yang luas nan asri ini cukup bisa dirasakan kehadirannya oleh masyarakat. Hampir tiap malam di lingkungan masjid ini tidak pernah sepi dari warga baik anak-anak, remaja atau orang dewasa. Tapi ada satu hal yang masih perlu dilakukan oleh pihak masjid adalah bagaimana membuat warga yang sudah mendekat dengan masjid ini mau menjadi jamaah masjid yang aktif. Tidak hanya saat pelaksanaan shalat Jumat atau shalat hari raya.
Masjid ini memiliki daya tarik yang luar biasa. Sebagaimana disaksikan Majalah Ghoib saat pelaksanaan salat Idul Adha 2004, jamaah masjid itu membludak. 20 ribu lebih jamaah yang hadir sehingga melebihi daya tampung masjid. Sementara mobil dan motor berderet di areal parkir. Jamaah yang berjalan kaki pun kelihatan menyemut dan memenuhi seluruh lantai.
Jakarta Islamic Centre telah menjalankan fungsinya mendobrak mitos Kramat Tunggak sebagai lembah hitam menjadi lembah putih.
Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M