Manusia memang tak kuasa mengelak dari musibah dan takdir Yang Maha Kuasa, tinggal bagaimana menyikapinya. Tidak sedikit mereka yang putus asa dalam menghadapinya. Susi Susanti satu di antara mereka yang tegar dan pantang menyerah memperjuangkan kesembuhan putra bungsunya Fahmi Fitroni yang divonis radang otak dan kelainan jantung serta penyakit komplikasi lainnya. Berikut kisah perjuangannya merawat dan mencari dana pengobatan anaknya:
Saya sangat bersyukur, Allah telah mempertemukan saya dengan suami yang shalih, pengertian dan penuh perhatian terhadap keluarga. Saya Susi Susanti dan suami saya Ridwan sama-sama berasal dari Sumatera Barat, usia suami terpaut tujuh tahun di atas saya. Kami menetap di daerah Kramat Watu, Kabupaten Serang, Banten. Pengetahuan agamanya yang luas serta ketekunannya dalam beribadah membuat saya semakin bangga dengannya. Saya pun terkadang dinasehati di saat menunjukkan sikap yang kurang baik, dia mengatakan tidak pantaslah seorang yang beragama bersikap begini dan begitu.
Untuk menopang hidup kami sehari-hari saya dan suami berdagang pakaian di pasar. Tahun 1993 Allah mengaruniai anak pertama kami Imam Alamsyah Rafsanjani. Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 9 Maret 1996 Allah menambah kebahagian kami dengan hadirnya anak kedua, yang kami beri nama Fahmi Fitroni. Kehidupan pun kami jalani dengan penuh kebahagiaan.
Usaha dagang kami juga semakin berkembang dan saya pun semakin sering membantu suami berdagang. Anak-anak biasanya kami titipkan ke ibu saya yang kebetulan tidak terlalu sibuk sementara beliau pun tidak keberatan. Akhirnya begitulah setiap hari.
Suatu hari di tanggal 16 November 1998 sebagaimana biasanya anak-anak saya titipkan. Waktu itu di rumah ibu saya ada seorang pembantu yang biasanya ikut mengasuh Fahmi anak saya yang waktu itu sudah berusia 2 tahun. Pada hari itu pun sebagaimana biasa Fahmi diasuh pembantu sambil menggendongnya dengan kain gendongan. Namun tiba-tiba si pembantu tadi merasa ingin buang air kecil, diapun berniat ke kamar mandi. Mungkin karena pikirnya cuma sebentar dan khawatir kalau Fahmi ditinggal sendiri akhirnya Fahmi diajak serta ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi Fahmi yang berada di gendongan dikaitkan ke sebuah paku gantungan yang cukup besar sementara si pembantu buang air kecil.
Namun hanya dengan hitungan detik tiba-tiba Bruk, paku yang disangka kuat ternyata terlepas akibat beban yang terlalu berat. Wanita pembantu itupun panik, sementara Fahmi setelah terjatuh malah tidak bersuara apa-apa karena pingsan. Karena takut si pembantu itu kabur tanpa membawa apa-apa. Sementara itu nenek Fahmi (ibu saya) segera masuk mendengar ada sesuatu yang jatuh. Beliaupun kaget melihat cucunya tergeletak di kamar mandi tanpa bergerak.
Fahmi Hidup Lagi Setelah Divonis Meninggal
Selanjutnya Fahmi segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Serang dalam keadaan pingsan. Sesampainya di sana Fahmi belum juga siuman. Dia mengalami pendarahan di otak akibat terjatuh dari ketinggian 2 meter. Kami semua sangat khawatir dan sedih. Sampai akhirnya Fahmi tergolek selama 13 hari di rumah sakit dalam keadaan koma.
Pada hari ke 14 di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa anak saya Fahmi sudah tiada dengan indikasi berhentinya denyut nadinya. Terasa tersambar geledek saya mendengar berita itu, hampir tidak kuat kaki saya menopang badan ini. Beberapa orang mencoba menenangkan saya. Sementara itu suami saya masih belum percaya kalau anak kami meninggal. Dia yakın kalau Fahmi masih hidup.
Setelah agak tenang saya kembali ke rumah untuk mengabari ibu saya dan mempersiapkan segala sesuatu untuk membawa pulang ‘jenazah’ anak saya. Sedangkan suami saya yang berada di RS (menurut cerita perawat) setelah melaksanakan shalat Isya’ mendekati anak saya dan mencium keningnya cukup lama. Dan tiba-tiba keajaiban datang, Fahmi yang memang diyakini masih hidup oleh suami saya tiba-tiba bergerak dan siuman, Allahu Akbar. Namun sebaliknya suami saya setelah mencium Fahmi giliran dia yang tidak sadarkan diri dan jatuh. Oleh dokter dan perawat suami saya dibaringkan di tempat tidur dan diperiksa. Suami saya didiagnosa mengalami serangan jantung.
Saya dan keluarga yang tiba di RS masih mendapati suami tidak sadarkan diri. Perasaan saya pun bercampur aduk antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anak saya Fahmi yang dikatakan sudah meninggal alhamdulillah ternyata masih hidup, namun saya sedih kenapa malah suami saya yang tidak sadarkan diri, padahal waktu saya tinggalkan masih dalam keadaaan sehat bugar.
Saya duduk di dekat suami sambil menangis, sementara suami masih tidak sadarkan diri. Saya meraba tubuh suami dan merasa tubuhnya terasa panas dan dingin yang tidak merata. Saya mencoba menghubungi dokter untuk memeriksa kondisi suami saya tapi waktu itu dokter cuek saja, alasannya sibuk. Perasaaan saya dongkol sekali dan kembali ke sisi suami. Tidak lama saya berada di sisinya perlahan-lahan suami saya siuman dan tersenyum kepada saya. Setelah itu air matanya mengalir kemudian matanya menutup kembali. Kembali saya menghubungi dokter untuk memeriksakan kondisi suami.
Setelah agak lama barulah dokter datang dan setelah memeriksa, dokter memberitahu kalau suami saya tidak tertolong lagi. Kesadaran saya hilang, akal sehat saya tidak berfungsi lagi. Sambil berteriak saya mendekati dokter yang memeriksa dan mencekiknya. Saat itu saya menganggap kematian suami saya akibat kelambanan dokter menangani suami saya. Beberapa orang berusaha memegang saya agar tidak berontak. Tapi menurut cerita orang dalam kejadian itu saya sampai tidak kuat dipegang oleh sepuluh orang.
Kekecewaan Demi Kekecewaan
Sementara itu Fahmi yang didiagnosa menderita radang otak membutuhkan operasi yang biayanya sekitar 40 juta. Itu kalau dioperasi di RSCM kalau di RS lain pasti lebih mahal lagi. Karena saya tidak punya biaya akhirnya Fahmi saya bawa pulang. Sambil berdoa saya berusaha mencari dana untuk biaya operasi Fahmi. Di sisi lain karena penyakit Fahmi tidak diobati maka Fahmi setiap hari merasakan sakit terutama bagian otaknya. Kami pun bergantian memangku dan menggendongnya. Malah pernah selama seminggu Fahmi tidak bisa tidur. Saya pun jadinya tidak tidur dan akhirnya ikut jatuh sakit.
Kondisi perekonomian keluarga kami mulai guncang. Suami yang selama ini menopang ekonomi keluarga sudah tiada, sementara uang untuk modal usaha juga sudah habis untuk biaya pengobatan Fahmi. Malah sewaktu Fahmi sakit suami saya sempat meminjam uang kepada seseorang sebesar 2 juta rupiah. Hutang inilah yang juga menjadi masalah saya sampai sekarang ini karena ternyata semakin banyak. Orang tempat suami pinjam uang ternyata seorang rentenir. Dari 2 juta yang kami pinjam itu dalam sebulan berbunga 10 persen. Karena tidak mampu melunasi, saya hanya mampu membayar bunga- nya setiap bulan. Kalau dihitung-hitung sebetulnya saya sudah membayar hampir 15 juta rupiah, namun karena hanya bunga maka pokok utangnya masih ada sampai sekarang.
Barang-barang yang ada di rumah perlahan- lahan terjual. Sementara saya terus mencari dana. Suatu saat di tahun 2000 seorang wartawan majalah Islam mewawancarai saya dan mengangkatnya dalam majalah. Alhamdulillah ada beberapa pembaca yang simpati dan akhirnya saya mendapatkan dana 2 juta rupiah. Dengan dana ini saya kembali membawa Fahmi ke RS. Ternyata hasilnya bukan hanya radang otak yang dideritanya tetapi sudah komplikasi dengan kelainan jantung. epilepsi, dan paru-paru. Dana yang dibutuhkan juga semakin banyak, kalau dulu hanya 40 juta sekarang butuh 200 juta. Semakin kecillah rasanya harapan saya. Namun dalam hati saya tetap bertekad berusaha sekuat kemampuan saya.
Pernah saya mencoba mengirim surat ke badan amil zakat Pertamina, dan oleh pengurusnya saya dipertemukan dengan seorang dokter ahli tingkat profesor. Kata dokter itu penyakit anak saya membutuhkan biaya sangat besar, biayanya saja butuh sekitar 500 juta belum lagi pasca operasi masih membutuhkan penyinaran, karena ternyata akibat radang otak anak saya kini merambat menjadi kanker tulang. Akhirnya BAZ Pertamina itu menyatakan tidak sanggup membantu. Terus saya ke Dompet Dhuafa, di sana mereka hanya bisa memberi 500 ribu, alhamdulillah.
Ada kawan yang mengusulkan agar saya mendatangi lembaga-lembaga bantuan dan sosial. Saya akhirnya mencoba ke Peduli Kasih Indosiar namun tidak berhasil malah dikatakan bahwa penyakit anak saya ini tidak bisa sembuh. Habis dioperasi pun masih membutuhkan penyinaran, biayanya besar sekali.
Tidak berhasil di Indosiar saya lanjutkan ke SCTV tapi katanya dana mereka bukan untuk perorangan, begitu pula ketika saya menemui orang RCTI, terakhir saya ke TPI, namun semuanya mengatakan dana kemanusian itu bukan untuk perorangan.
Pernah juga saya memberanikan diri ke rumah Gus Dur yang saat itu menjabat presiden. Namun Gus Dur bilang tidak punya uang. Lalu saya bilang ke Gus Dur bahwa tidak mesti dalam bentuk uang, bisa juga dalam bentuk rekomendasi untuk minimal mendapat keringanan biaya operasi. Itupun tidak dipenuhi. Malah ada wartawan Sinar Pagi yang waktu itu berusaha membela saya juga akhirnya disuruh keluar.
Di pemerintahan Megawati pun saya mencoba mengetuk pintu hatinya. Namun karena kesibukan saya hanya bertemu dengan sekretarisnya katanya, “Bu, Bu Mega nggak punya uang”. Lalu saya hanya diberi 100 ribu untuk ongkos pulang, itupun belum jauh saya jalan dipanggil lagi katanya 100 ribu terlalu banyak akhirnya saya cuma dikasih 50 ribu. Sedih hati saya, Ya Allah koq gini-gini amat Padahal sebelum menjadi presiden pun saya sudah mengajukan ke Ibu Mega karena saya dengar PDIP bersedia membantu. Setiap kali saya datang mereka bilang belum ada dananya. Sampai hampir setahun saya hanya bolak-balik ke sekretariat PDIP terkadang juga hanya nelpon. Akhirnya saya minta ketegasan kalau memang tidak bisa ngasih tidak usah janji-janji.
Akbar Tanjung pernah juga saya datangi untuk maksud yang sama, dan alhamdulillah melalui sekretaris beliau saya diberi uang 2 juta dan dikatakan kalau ada perlu datang saja. Tapi saya segan untuk datang lagi meminta.
Kini yang saya usahakan adalah bagaimana mengatasi biaya pengobatan sementara anak saya yang tiap minggu biasanya membutuhkan biaya 1,3 juta untuk membeli obat. Sebab dengan kondisinya sekarang ini dia sangat rentan terkena berbagai penyakit di samping ia juga selalu membutuhkan obat penenang dan obat tidur supaya dia bisa istirahat.
Sementara untuk urusan makan, walau usianya sudah 8 tahun, tapi dia tidak bisa makan makanan yang keras. Makanannya hanya bubur bayi Promina, susu atau jus alpukat.
Dalam keadaan terjaga Fahmi harus senantiasa digendong atau dipangku, selain karena ia tidak mau ditinggal sendiri. la juga sewaktu-waktu mengalami kejang-kejang yang jika tidak segera ditenangkan bisa fatal. Akhirnya kami bergantian menggendong dan memangkunya. Alhamdulillah Ujang Supriadi, suami kedua saya (bapak tiri Fahmi) juga sangat menyayangi Fahmi. Saya menikah dengan Bang Ujang 3 tahun yang lalu. Beliau bekerja sebagai tukang jahit kecil- kecilan.
Sekarang saya sudah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, saya hanya mampu berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik bagi kami. Satu keinginan saya yang belum terpenuhi saya pengen ketemu Aa Gym dan mohon didoakan. Saya sudah pernah mendatangi beliau di Bandung tapi beliau sedang umrah. Mudah-mudahan suatu waktu Aa Gym bersedia memenuhi keinginan saya.
Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M