Demi mencari pandangan ulama tentang ritual bulan Suro. Majalah Ghoib menemui seorang pakar ilmu hadits Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediamannya di kawasan Ciputat, Jakarta. Dengan ramah dan penuh keakraban Guru Besar Ilmu Hadits ini bercerita banyak seputar bulan Suro. Berikut kutipan wawancaranya:
Adakah bulan-bulan yang dianggap keramat dalam Islam?
Sekarang istilah keramat itu sendiri berbeda antara keramat dalam istilah Indonesia dengan keramat dalam bahasa Arab yang berasal dari karamah. Kalau karamah dalam istilah aslinya diartikan mulia. Sedangkan dalam bahasa Indonesia keramat sudah memberikan konotasi lain seperti keris keramat berarti keris yang mempunyai tuah atau punya kekuatan. Nah, kalau kembali ke pengertian aslinya yang berarti kemuliaan memang dalam Islam ada beberapa bulan yang dimuliakan yang diistilahkan dengan arba’atun hurum (empat bulan yang dimuliakan).
Bagaimana bentuk pemuliaannya?
Bentuk pemuliaannya biasanya berupa larangan mengadakan peperangan di dalam bulan itu, dan menjaga stabilitas keamanan. Bulan-bulan itu adalah Dzulqoddah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Apakah ada bentuk pemuliaan dengan mengadakan ibadah atau ritual tertentu?
Secara umum memang ada hadits yang mengatakan Rasulullah menganjurkan untuk banyak berpuasa di bulan-bulan yang dimuliakan itu. Namun belum jelas apakah berpuasa itu sebagai bentuk pemuliaan. Jadi bisa iya bisa tidak.
Di Indonesia, saya banyak mendengar ada ritual pada bulan Muharram yaitu membuat bubur suro. Bubur ini terbuat dari berbagai jenis bahan makanan yang dicampur menjadi satu. Kabarnya bubur ini dibuat untuk memperingati kisah banjir di zaman Nabi Nuh as yang mana ketika banjir telah selesai, para penumpang kapal Nuh merasa kelaparan sedangkan bahan makanan hanya tersisa sedikit. Akhirnya sisa-sisa bahan makanan itu dikumpulkan dan diolah. Peristiwa ini diyakini terjadi pada bulan Muharram atau yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai bulan Suro. Terus terang saya belum pernah mendapatkan riwayat yang shahih baik dari Al-Quran maupun Nabi ataupun dari sahabat yang menceritakan kisah ini.
Ada lagi kebiasaan masyarakat kita yang saya dengar pada bulan Muharram ini terutama di Jakarta pada tanggal 10 Muharram, mereka menyebutnya sebagai Hari Raya Anak Yatim. Pada hari itu mereka berlomba-lomba untuk menyantuni anak yatim. Nah, kebiasaan inipun belum saya dapatkan riwayat pensyariatannya. Tetapi hal ini bukan berarti menyantuni dan memuliakan anak yatim itu tidak boleh, bahkan sangat dianjurkan di setiap saat bukan hanya di bulan Muharram.
Adakah sejarah penamaan bulan muharram sebagai bulan Suro?
Sepengetahuan saya bulan Suro itu diambil dari kata Asyuro yang artinya kesepuluh yang mana memang disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram yang diistilahkan puasa Asyuro, Mungkin dari sinilah sejarah penamaan.
Bagaimana sikap Rasululah dan para sahabat saat masuk bulan Muharrom?
Yang saya ketahui hanya berpuasa, baik itu pada hari kesepuluh, maupun yang berdasar pada hari kesembilan. Ada lagi riwayat dalam Sunan Ibnu Majah yang menunjukkan bolehnya berpuasa sebulan penuh pada bulan Muharram.
Apa tidak ada ibadah khusus lain selain puasa?
Yang saya ketahui hanya itu, tapi kalau ada orang lain yang mengatakan ada dan bisa me nunjukkan dalilnya yang shahih maka bisa saja kita ikuti.
Tapi yang tampak pada masyarakat kita sekarang malah ritual pada tanggal 1 Muharram bukan pada tanggal sepuluh. Contohnya saja memandikan benda pusaka pada tanggal I Suro. Apa tanggapan Anda?
Dalam Islam saya belum pernah mendapatkan ritual seperti itu. Namun kalau kita lihat, Muharram itu kan identik dengan awal tahun baru Islam. Mungkin ada sebagian orang yang membersihkan barang-barang itu sekali setahun. Sepanjang itu hanya tradisi bukan sebagai ajaran agama maka menurut saya itu tidak masalah. Apa salahnya saya umpamanya membersihkan perabot rumah tangga sekali setahun. Sedangkan kalau itu dianggap sebagai ajaran agama maka harus ada dalilnya.
Menurut informasi yang dibersihkan itu adalah benda-benda tertentu yang mereka anggap keramat, itu bagaimana?
Kalau itu kemudian menyangkut masalah aqidah, ya harus ada dasarnya. Seperti jika ada anggapan tidak boleh dimandikan kecuali pada bulan Suro, maka itu menjadi hal yang harus ada dalilnya. Kata tidak boleh itu kan mengandung konotasi haram. Nah, kalau haram harus ada dalilnya. Karena kita tidak boleh mengharamkan sesuatu tanpa ada dasarnya. Kalau mau memandikan pusaka silakan kapan saja tapi kalau tidak mau apa dasarnya tidak mau. Kalau menganggap tanggal 1 Muharram itu mempunyai kekuatan itu bisa syirik. Itu sama dengan mengadakan tandingan untuk Allah. Jadi kalau ada anggapan ada selain Allah yang mampu memberikan manfaat dan mudharat maka itu sudah syirik.
Tapi bagaimana kalau benda-benda pusaka itu setelah dimandikan diarak lalu siapa saja yang berpapasan dengannya mesti jongkok atau semacam menyembah?
Kalau sudah penyembahan kepada selain Allah itu syirik, meski jongkok itu belum tentu penyembahan, namun menurut saya hendaknya dihindari sebab ini menjurus ke syirik atau minimal berlebihan.
Ada lagi dalam ritual Suro berupa nasi tumpeng yang diarak lalu diperebutkan banyak orang entah untuk tujuan apa, bagaimana itu?
Kita belum tahu apa niat dan tujuan mereka, kalau itu dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dari doa orang yang mendoakan makanan itu boleh dan tidak syirik, dan ini pernah dicontohkan oleh Nabi saw. Tapi jika makanan itu diyakini mempunyai kekuatan tertentu sehingga orang yang makan rezekinya akan banyak, dan sebagainya itu sudah musyrik. Jadi kita tidak boleh gebyah uyah bahwa semua itu syirik. Terkadang ada suatu hal yang kelihatannya syirik tapi ternyata tidak setelah diteliti lebih jauh. Ini sama dengan orang yang bakar menyan, itu tidak semuanya syirik, kalau tujuannya untuk mengharumkan ruangan itu tidak apa-apa.
Apa yang sebaiknya dilakukan umat Islam sebagai solusi terhadap permasalahan ini?
Mestinya ada penyuluhan aqidah atau penggalakan pengajaran aqidah sebab di Indonesia ini pengajaran aqidah termasuk yang lemah sekali. Akibatnya banyak orang yang terjebak dengan sesuatu yang dianggap ibadah tapi sebetulnya maksiat. Dan khusus pada bulan Muharram ini sebaiknya umat Islam mengikuti saja apa yang dituntunkan oleh Nabi saw seperti puasa sunah tidak perlu ada ritual-ritual yang tidak jelas kebenarannya.
Biodata .
- Nama : Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
- TTL : Batang, 2 Maret 1952
- Pendidikan :
- Pesantren Tebu Ireng, Jombang
- S1. Jamiatul Imam, Riyadh Jurusan Syariah
- S2. King Saud University, Riyadh Jurusan Tafsir Hadit
- Jabatan :
- Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah, Jakarta
- Guru Besar Ilmu Hadits Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta
- Ketua Pokja Asuransi dan Bisnis Syariah, DSN MUI
- Pengalaman Organisasi :
- Mantan Sekjen Ittihadul Muballighin, Jakarta
- Keluarga : 1 Istri, 1 Anak
Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M