Satu lagi bencana menimpa negeri kita. Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) kembali meminta banyak korban. Penyakit yang disebarkan oleh makhluk kecil bernama nyamuk Aedes Aegypti ini cukup membuat cemas semua orang. Musibah ini lebih terasa berat lagi bagi mereka yang berada di garis kemiskinan akibat tidak punya biaya. Banyak yang tidak tertolong. Salah satunya adalah Didik Aditama (18) anak dari pasangan Ibnu Rahmat (43) dan Ira (38), jiwanya tidak tertolong. Kematian memang takdir. Tapi keluarganya mengaku, bahwa salah satu sebabnya karena lambatnya penanganan tenaga medis di salah satu RS. Berikut kisahnya:
Saya tidak menyangka sama sekali bahwa musibah yang kami alami berlangsung begitu cepat. Wabah demam berdarah kali ini ternyata juga memakan korban anak saya Didik yang menjadi tumpuan harapan saya. Didiklah yang selama ini saya harapkan banyak membantu saya kelak. Bukan hanya karena dia anak pertama laki-laki tetapi juga potensinya ada. Dialah kebanggaan keluarga. Selain dia termasuk cerdas di sekolah dia juga punya perhatian besar ke keluarga. Bisa hidup prihatin, mengerti kondisi keluarga yang pas- pasan. Inilah yang membuat Didik tidak pernah menuntut macam-macam dan punya semangat besar untuk bisa berhasil.
Didik lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 1985. Sejak SD Didik nggak nyusahin orang tua. Dia berprestasi, mendapat beasiswa dari sekolah, dia pun kerap mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba dan cerdas cermat. Ketika SMU dia sudah bisa mencari penghasilan dengan memberikan les-les privat bagi anak- anak. Mungkin karena cara mengajarnya bagus, dia sampai kewalahan menerima tawaran les. Akhirnya dia membatasi karena tidak mau pelajarannya terganggu.
Dalam pergaulan masyarakat pun Didik termasuk mudah bergaul. Teman-temannya cukup banyak, tapi dia sendiri tahu membatasi pergaulan sehingga dia jarang keluyuran layaknya remaja kebanyakan.
Setiap pagi sebelum Subuh Didik sudah bangun trus Shalat Subuh sebagaimana yang dilakoninya sejak SD. Setelah itu cuci piring dan siap-siap ke sekolah. Sepulang dari sekolah dia makan siang dan istirahat sejenak dan sore harinya mengajar privat (menangis).
Perjuangan Mencari Kesembuhan
Sekitar tanggal 10 Februari 2004 Didik sakit panas, saya heran sebab tidak biasanya Didik sakit karena walaupun Didik agak kurus tapi dia sehat. Semakin lama panasnya semakin tinggi dan tidak ada tanda-tanda mau turun, meski begitu dia tidak pernah mengeluh. Akhirnya saya putuskan membawanya ke klinik di dekat rumah. Oleh dokter Didik didiagnosa menderita gejala Thipus dan diberi obat. Beberapa hari kemudian kesehatan Didik perlahan membaik dan mengalami peningkatan. Dia sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Dia pun merasa sudah mampu ke sekolah karena merasa banyak tertinggal pelajaran. Tapi saya melarang sebab kelihatannya dia belum sehat benar. Namun setelah beberapa hari saya tidak mampu mengahalangi keinginanya yang kuat untuk ke sekolah. Akhirnya saya izinkan tapi saya berpesan agar pulang saja bila merasa belum kuat.
Apa yang saya khawatirkan benar terjadi, ternyata Didik di sekolah sempat pingsan, tapi kejadian ini tidak diberitahukan kepada saya, hal ini saya ketahui dari teman-temannya. Akhirnya keesokan harinya Didik tidak lagi ke sekolah, la hanya istirahat di rumah.
Hari Selasa malam tanggal 24 Februari suhu badan Didik tiba-tiba naik lagi, padahal beberapa hari sebelumnya kondisinya sudah membaik, bahkan sorenya masih sempat melayani dirinya sendiri, minum susu murni dan makan telur ayam kampung 2 butir. Dia pun masih sempat ngobrol dengan ibunya tentang teman-temannya. Takut terjadi apa-apa malamnya Didik saya bawa ke dokter. Bersama 2 orang tetangga Didik dipapah ke taksi menuju dokter praktek yang kami kenal. Sesampainya di dokter, karena kebetulan pasiennya lagi banyak dan melihat kondisi Didik yang sangat memprihatinkan serta kelihatan sangat lemah dokter memberi pengantar ke rumah sakit. Menurut dokter Didik harus dirawat inap dan diinfus. Akhirnya kami sepakati untuk membawanya ke salah satu RS di wilayah Tebet Jakarta.
Dalam perjalanan saya merasa sangat cemas melihat kondisi anak saya yang semakin lemah. Apalagi di perjalanan sempat macet, ditambah lagi sesampainya di rumah sakit itu kami kesulitan menemukan pintu masuk ke bagian gawat darurat. Satpam penjaga pintu yang ditanya, dengan nada enteng menunjuk pintu yang lain dan harus memutar. Sesampainya di pintu yang dimaksud ternyata pintunya tutup dan akhirnya mencari pintu yang lain lagi. Sopir taksi sampai kesal. Beruntung ada seorang sopir taksi yang memberitahu bahwa pintu yang buka itu mesti mutar lagi.
Setelah menemukan pintu masuk kami langsung menuju Instalasi Gawat Darurat. Di sana saya menemui seorang juru rawat dan saya sampaikan kalau anak saya butuh pertolongan secepatnya karena ada gejala demam berdarah. Perawat itu menjawab kalau kamar di RS itu sudah penuh dan tidak memungkinkan lagi ada penambahan pasien. Kami mencoba bernegoisasi kalau bisa ditempatkan di bagian lorong-lorong saja atau di ruang gawat darurat asalkan anak saya mendapatkan pertolongan. Namun diapun menolak dan mengatakan kalau ruang IGD ini paling lama hanya sehari bisa ditempati selanjutnya harus ke kamar.
Sekali lagi kami memohon minimal anak saya diberikan pertolongan pertama berupa infus sebab kondisinya sangat lemah sambil memikirkan tindakan selanjutnya. Tapi apa yang dikatakan, “Percuma saja Pak diinfus kalau tidak dirawat di sini. Mendingan Bapak membawanya ke RS yang lain.” Deg, geram rasanya mendengar jawaban seperti itu, dada ini terasa mau pecah. Namun kami masih berusaha menenangkan diri. Kami pun minta tolong menghubungi RS Budhi Asih yang mungkin masih ada kamarnya yang kosong. Namun sekali lagi jawaban yang tidak mengenakkan hati kami terima. Katanya dia tidak tahu nomor telepon RS itu. Kami berpikir masak sesama RS tidak tahu nomor teleponnya. Akhirnya setelah sekitar 1 jam berada ditempat itu dengan perasaan jengkel, geram, dan sedih yang bercampur aduk, kami meningggalkan tempat itu. Sementara kondisi anak saya semakin parah.
Kami akhirnya menuju RS Budhi Asih. Sesampainya di sana kami mendapat sambutan yang jauh berbeda dengan RS sebelumnya. Setelah menjelaskan sedikit tentang kondisi anak saya, Didik langsung diinfus dan diberikan bantuan pernafasan. Padahal kondisi RS Budhi Asih jauh lebih ramai dari RS tadi. Kami berfikir semestinya RS ini jauh lebih berhak menolak pasien karena lebih ramai pasiennya. Kami pun sedikit lega dan bisa dengan tenang mengurus administrasi dan menanyakan kamar.
Ternyata yang kosong hanya kamar di kelas 2 yang uang mukanya sekitar 600 ribu, padahal kami orang miskin yang tidak punya uang sebanyak itu. Alhamdulillah tetangga saya Pak Prayitno mau bantu walaupun dia sendiri sebetulnya pas-pasan. Namun setelah diperiksa dokter ternyata dokter mengatakan bahwa anak saya harus dirawat intensif di ruang ICU karena kondisinya semakin parah. Apa boleh buat malam itu juga anak saya masuk ruang ICU. Kami sekeluarga hanya mampu berdoa dan tawakkal kepada Allah atas cobaan ini.
Setelah semalaman berada di ruang ICU, keesokan harinya tanggal 25 Februari 2004 sekitar pukul 05.50 pagi. Anak tercinta kami Didik menghembuskan nafas terakhir untuk menghadap Penciptanya. Kami merasa sangat kehilangan. Di balik kesedihan kami saya merenung beginikah nasib orang miskin seperti kami? (terisak).
Saya mencoba beristighfar untuk menenangkan hati dan berpikir jernih bahwa semua ini sudah menjadi takdir dan kehendak- Nya. Dan kami harus menerimanya dengan ikhlas. Saya berusaha untuk tidak menyalahkan siapa-siapa. Walaupun beberapa kerabat sempat geram dengan perlakuan oknum pihak RS yang tidak segera memberikan pertolongan pertama hanya mungkin karena melihat kami orang miskin. Apalagi belakangan kami mendengar kabar bahwa pemerintah meminta kepada semua pihak RS untuk tidak menolak setiap pasien korban demam berdarah. Bahkan bagi yang termasuk keluarga miskin tidak akan dipungut biaya. Namun kenyataannya masih ada pihak RS yang tidak mengindahkannya.
Harapan saya mudah-mudahan kamilah korban terakhir yang diperlakukan secara diskriminatis. Dan kalau bisa, jika memang selama ini pengobatan bagi keluarga miskin digratiskan, kami meminta hak kami kembali pada rumah sakit, sebab terus terang uang yang kami pakai kemarin untuk berobat itu kami pinjam dari orang yang juga sangat membutuhkan.
Selain itu semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua terutama bagi para petugas kesehatan untuk terus meningkatkan jiwa sosial, kesabaran dan pengabdiannya kepada masyarakat. Kita semua makhluk Allah yang saling membutuhkan.
Seperti dituturkan Ibnu Rahmat kepada Hasri Hasan, dari Majalah Ghoib, di rumahnya, di Pejaten, Jakarta Selatan.
Ghoib, Edisi No. 14 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M