
Musibah kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia yang terjadi di Aceh telah menelan korban nyawa dan materiil yang sangat banyak. Dan trauma pun sangat dalam. Tetapi, kelak Aceh tidak boleh berubah menjadi serambi Roma. Harus tetap serambi Mekah.
Hari ke enam setelah Tsunami melumat Aceh, suasana Aceh belum banyak berubah dibandingkan hari-hari sebelumnya. Aceh yang mati. Bahkan masalah baru muncul. Yaitu bau menyengat di daerah yang dilanda Tsunami yang berasal dari mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat Majalah Ghoib datang di bandara Sultan Iskandar Muda Aceh, terlihat orang-orang menggunakan masker. Sebenarnya di bandara tidak tercium bau busuk mayat. Tetapi mereka rata-rata datang dari arah Banda Aceh yang telah berubah menjadi kota mayat dengan bau menyengat yang luar biasa.
Bandara sangat padat kerumunan orang, baik di luar ataupun di dalam. Ada para tukang ojek yang merupakan satu-satunya kendaraan umum yang ada. Karena transportasi lumpuh total. Selain masyarakat Aceh memang sedang berduka, bensin pun sangat jarang dijumpai dan kalaupun ada harganya melambung tinggi. Ada pula orang yang menunggu kedatangan saudaranya dari tempat lain untuk menengok atau bahkan menjemput mereka keluar dari Aceh. Tampak dua orang laki-laki paruh baya berpelukan erat sambil sesenggukan menangis. Pertemuan dalam duka yang mendalam setelah kehilangan semuanya kecuali dirinya sendiri.
Suasana di luar bandara juga dipenuhi oleh masyarakat, aparat dan relawan. Beberapa posko membuat tenda dan memanfaatkan gedung bandara. Mobil-mobil media dalam dan luar negeri nampak sibuk mempersiapkan liputan mereka.
Majalah Ghoib langsung melaju menuju Banda Aceh. Perjalanan ke Banda Aceh melewati Aceh Besar yang tidak tersentuh Tsunami, karena daerahnya cukup tinggi. Pemandangan padi menghijau dengan pohon-pohon yang tumbuh

subur di kanan-kiri jalan mengisahkan tentang masa lalu Aceh sebelum Tsunami, Namun tidak jauh dari persawahan itu, terdapat kuburan masal yang disediakan untuk para korban Tsunami. Sebuah alat berat untuk menggali tanah kosong dan tumpukan mayat dalam plastik hitam diletakkan di pinggir jalan. Bau mayat sangat menyengat. Setiap orang yang lewat dengan kendaraannya memilih untuk menutup kaca mobilnya atau menutup hidungnya rapat-rapat. Hanya nampak beberapa wartawan yang justru berhenti mengabadikan foto kuburan masal tersebut sambil menekap hidung dengan masker. Masker saja masih tembus, biasanya masyarakat membubuhi masker dengan balsam atau minyak oles agar bisa mengurangi bau busuk mayat yang menusuk hidung. Seperti yang diajarkan juga kepada Majalah Ghoib dan memang benar dapat mengurangi bau menyengat itu.

Kira-kira dua puluh menit perjalanan, Majalah Ghoib memasuki simpang Lambaro, Aceh Besar, Di sekitar pertigaan yang juga merupakan jalan penghubung menuju Medan itu, terdapat beberapa posko: posko PKS, BSMI, PKPU, Jawa Barat, PMI. Kembali antrian masyarakat ingin mendapatkan bantuan berupa makanan, pakaian ataupun pengobatan bisa kita saksikan di sini.

Nampak bapak-bapak dan anak-anak berebut mie instan dalam kardus yang memang sengaja dibuka untuk umum. Dengan sangat lahapnya mereka memakan mie yang belum dimasak itu. Air mineral juga menjadi rebutan mereka. Untuk sembako dan makan siap santap seperti biscuit dibagikan secara rapi. Rakyat Aceh memang sedang kelaparan. Tidak ada yang bisa dimakan, semuanya musnah. Kalaupun ada bahan mentah, tidak ada minyak atau alat masak yang bisa dipakai untuk memasak.
Adapun pakaian digelar di pinggir jalan dan masing-masing dipersilakan untuk memilih ukuran yang pas dalam jumlah yang diinginkannya. Seorang ibu tua menggelar baju kebaya yang dipegangnya untuk diukur dengan badannya. Bapak-bapak yang ikut memilih baju dan celana, juga memilih baju kecil untuk anak dan baju untuk istrinya. Yanti dan Rini, dua gadis Aceh yang masing-masing telah menggantungkan dua baju di lengannya siap meninggalkan tempat. “Ya, rumah habis, baju tinggal yang di badan saja,” kata mereka berdua kompak. Ketika Majalah Ghoib bertanya mengapa hanya dua buah saja yang diambil, Yanti menjawab dengan jawaban kepedulian yang menakjubkan, “Cukuplah, Buat orang lain.” Sebuah rasa kebersamaan di saat mereka juga sedang membutuhkan. Perasaan yang mahal. Bahkan sebelum pergi, keduanya menunjuk suatu tempat yang dipakai oleh para pengungsi untuk berkumpul dan belum mendapatkan bantuan sama sekali. Lagi-lagi kepedulian yang sangat simpatik.
Di pelataran masjid yayasan Hj. Cut Nyak Awan, terdapat beberapa tenda pengobatan. Dan sebuah tenda darurat untuk rawat inap. Seorang anak muda dengan sekujur tubuhnya penuh luka dari muka sampai kaki. Setiap jengkal punggungnya terdapat luka yang sedang dibersihkan oleh dokter. Sementara seorang yang lainnya sedang tengkurap sambil mengerang, “Allah…Allah…Allah…!” untuk menahan rasa sakit yang luar biasa dari kakinya yang menganga lebar yang juga sedang dibersihkan oleh seorang dokter. Seorang ibu separo mukanya rusak. Dan seorang bapak yang datang dipapah sebagian tubuhnya yang luka telah membengkak. Sebuah tenda yang lainnya digunakan untuk rawat inap. Seorang bapak tergeletak pasrah dengan infus di tangannya. Luka rakyat Aceh sangat menguras air mata siapa pun.
Sementara itu, daerah yang terkena gempa dan gelombang Tsunami di Banda Aceh saja, belum dibersihkan. Daerah Ajeun dan komplek kepolisian di Lamjame belum disentuh sama sekali. Sebuah alat berat milik TNI di bawah pengawasan ketat pasukan TNI sedang mendorong kayu-kayu dan sampah yang menghalangi jalan. Tetapi mayat yang bergeletakan di jalanan, yang berada di atas tumpukan kayu, di tengah danau belum diambil. Bau menyengat busuk mayat sungguh luar biasa.
Daerah yang sangat parah diterjang Tsunami, Uleuleu juga belum tersentuh. Baru ada sedikit pembersihan di sebuah lapangan. Daerah yang dulunya adalah merupakan rumah-rumah mewah yang berada di pinggir pantai itu kini rata dengan tanah. Kini kita bisa memandang bebas dan nampak dari kejauhan pohon kelapa yang tumbuh di pinggir pantai. Padahal dulunya tertutup oleh perumahan mewah itu. Tidak ada sisa. Sebagiannya menjadi tumpukan sampah dan sebagian lain diseret ke laut. Jembatan penghubung putus, sehingga mobil dan alat berat tidak bisa masuk, hanya dengan jalan kaki daerah itu bisa ditembus. Mayat-mayat dengan sangat mudah kita lihat. Bau menyengat kembali tercium. Sebuah mayat wanita menjuntai dengan tangan terjepit di atap rumah. Di tengah reruntuhan itu, sebuah menara masjid masih tegak berdiri.
Bukan hanya Uleuleu, di tengah kota pun baru masjid raya Baitur Rahman saja yang baru dibersihkan. Masjid kebangan seluruh rakyat Aceh itu sebelumnya terdapat mayat-mayat bergelimpangan di halaman dan di dalam masjidnya. Hanya saja, rumah Allah itu masih tegar berdiri hingga kini. Hanya menaranya saja yang nampak runtuh pada beberapa bagiannya.
Soping, pusat perbelanjaan di samping masjid raya itu, juga masih belum dibersihkan, Bangkai mobil, motor dan becak, reruntuhan, mayat. Banda Aceh mati.

Ramai-Ramai Tinggalkan Aceh
Hari Jum’at sore, mulal nampak evakuasi warga terhadap barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Dan eksodus besar-besaran terjadi. Mobil-mobil truk penuh dengan barang-barang rumah tangga meninggalkan Aceh. Mobil-mobil pribadi juga dipenuhi sesak dan di atasnya diikat barang untuk dibawa keluar dari Aceh.
Harapan yang lenyap bersama lenyapnya rumah dan keluarga mereka dan trauma yang sangat dalam memang seakan tidak memberikan pilihan kepada mereka kecuali lari sejauh-jauhnya dari Aceh.
Gempa-gempa susulan yang masih sering terjadi, membuat kepanikan mereka semakin menjadi. Masih terbayang jelas bagaimana gempa besar selama kurang lebih 7 menit mengguncang mereka yang kemudian disusul dengan Tsunami. Para relawan pun dibuat tunggang langgang ketika Aceh kembali digoyang gempa susulan. Seperti yang terjadi pada pukul 01.00 malam ketika semuanya sedang istirahat. Pada hari Sabtu gempa susulan yang terasa terjadi paling tidak tiga kali. “Aduh, saya seperti terus merasakan gedung ini bergoyang,” kata seorang wartawan yang sedang duduk di ruangan lantai dua.

Tsunami memang tidak meninggalkan pilihan. Rajale Sugandi, kepala lingkungan Punge Blangcut yang ditemui Majalah Ghoib sedang membereskan beberapa koper yang telah dibalut lumpur dan dua buah pesawat televisi, bertekad meninggalkan Aceh untuk selama-lamanya. Harapannya telah musnah, “Entah kapan rumah saya bisa dibangun kembali. Saya berharap anak saya yang di Kalimantan mengambil saya,” kata Sugandi di tengah reruntuhan.
Demikian juga dengan Karim, pemilik toko yang tengah mengangkut barang tersisa dengan truknya itu berniat tinggalkan Banda Aceh. “Saya memilih pulang kampung ke Sigli saja.”
Seorang ibu yang kehilangan suami dan tiga orang putrinya juga lebih memilih untuk meninggalkan Aceh. Apalagi dia mempunyai adik yang tinggal di Jakarta. “Entahlah, apakah saya masih mau bertahan di Aceh,” kata pegawai Pemda Aceh itu.
Memang ada sekelompok orang yang tidak punya pilihan. Seperti Darwis Abdullah yang kehilangan istri dan tiga orang anaknya. Bapak yang sehari-hari menarik becak mesin itu hanya bisa pasrah, “Saya orang miskin bang, mau pindah ke mana. Saya pasrahkan kepada Allah.”
Bahkan seorang polisi yang ditemui Majalah Ghoib di bandara saat menunggu pesawat ke Medan, mengungkapkan kegembiraannya ketika dia akan dipindah ke tempat lain. “Walaupun saya polisi, tapi saya takut melihat mayat. Dan sekarang saya akan pindah.”
Mereka adalah orang-orang dewasa yang bisa menentukan langkah dan punya pilihan. Tetapi anak-anak Aceh, mereka tidak tahu akan kemana. Banyak di antara mereka yang telah kehilangan ayah dan ibunya. Hidup sebatang kara. Mereka akan ikut kepada siapa saja yang akan mengajak dan melindunginya serta mengasuhnya.
Di sinilah, Aceh kelak rawan menjadi daerah yang bukan lagi merupakan daerah muslim. Karena bisa jadi anak-anak itu akan kembali kelak dengan agama yang berbeda. Paling tidak, kekhawatiran itulah yang nampak dari sebuah SMS:
Dr. Irene Handono: Dibutuhkan ortu (orangtua) MUSLIM untuk mengadopsi anak2 yatim piatu krbn tsunami Aceh. Tlg sebarkan ke muslim lain, krn Gereja sdh b’gerak u mengambil anak2 muslim tsb. Mari kt selamatkan mereka. Terimakasih.
Trauma memang menghantui semua muslim Aceh. Tetapi Aceh kelak harus tampil lebih baik lagi. Muslimin harus kembali ke Aceh untuk membangunnya. Anak-anak Aceh tidak boleh berganti agama. Mereka adalah harapan Aceh ke depan. Untuk tetap mempertahankan serambi Aceh agar tidak berubah menjadi serambi Roma..
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M