Gerakan pemurtadan, ternyata tidak hanya dilakukan manusia. Jin yang telah memiliki dunia tersendiri. juga tidak mau tinggal diam dan membiarkan anak manusia mengikuti fitrahnya. Menjadi pemeluk Islam yang taat. Maka, dengan segala cara para penginjil dari bangsa jin itu berusaha merubah keyakinan anak Adam. Itulah sepenggal kisah yang dialami Yani, seorang mahasiswi semester IV dari Lampung. Dengan ditemani bapak dan seorang temannya yang juga kerasukan jin Kristen, ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.
Sebagai seorang muslim, saya meyakini keberadaan jin atau syetan. Tapi sedikitpun tidak pernah terbayang bahwa saya akan terlibat langsung dengan dunia jin secara fisik maupun batin. Namun bulan Maret 2003 menjadi catatan tersendiri, bulan yang menggoreskan pengalaman yang tidak terlupakan. Kala itu, saya tengah mengikuti ujian tengah semester di sebuah Perguruan Tinggi di Lampung. Saat duduk di barisan bangku terdepan di sebelah kanan, sambil menunggu pembagian naskah, tiba-tiba saya merasakan desiran angin, “swiiing” deru angin kencang menerobos jilbab dan masuk ke telinga saya. Seketika itu saya terkejut dan bingung darirnana datangnya angin tadi. Padahal ruangan ujian itu tertutup dan tidak memungkinkan masuknya hembusan angin. Apalagi saya mengenakan jilbab. Kalau memang ada angin, ia hanya akan terasa di permukaan luar saja dan tidak menyusup ke telinga. Kendati demikian, saya tetap mengabaikan keganjilan yang baru terjadi, karena saya harus berkonsentrasi pada soal-soal yang sudah dibagikan.
Ternyata hembusan angin itu adalah awal dari derita. Ketika sampai di rumah, entah kenapa saya tidak bisa lagi mendengar suara dengan jelas. Semuanya terdengar seperti suara lebah yang terus berdengung. Meski lawan bicara saya berbicara dari jarak dekat. Tiba-tiba saja saya menjadi seperti orang tuli dan kepala saya juga terasa sakit. Penderitaan itu terus berlangsung selama berhari-hari. Dari sini saya merasakan adanya keganjilan.
Keganjilan itu memaksa saya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu saya meminta orangtua saya mengundang orang pintar. Karena saya merasa bahwa penyakit ini bukan sekadar penyakit medis yang bisa diselesaikan melalui terapi kedokteran, terlebih bila teringat peristiwa aneh yang terjadi di kampus waktu itu. Orang pintar yang datang ke rumah itu memberi saya minuman air tawar yang telah ditetesi minyak wangi.
Semenjak berobat kepada dukun itu, saya dapat merasakan keanehan-keanehan yang terjadi di sekeliling saya. Seperti yang terjadi pada suatu malam. Saat sedang shalat tahajud jam setengah. empat pagi, tiba-tiba saya mendengar “Sreeek …” dari balik pintu jendela. “Itu adalah suara kursi ditarik paksa,” pikir saya. Namun, saya tidak berani melihat apa yang terjadi, hanya desiran rasa cemas yang menyeruak ke dalam dada.
Peristiwa ini hanyalah awal dari datangnya makhluk yang tidak terlihat, namun kehadirannya dapat saya rasakan. Kejadiannya terjadi saat saya shalat malam, dalam suasana yang tidak seperti biasanya. Bulu kuduk saya merinding, entah kenapa. Akhirnya saya putuskan untuk mengambil Al-Qur’an dan membacanya lirih. Lamat-lamat saya mendengar suara ribut seakan mengejek saya. Suara dari luar rumah itu menirukan saya mengaji. Bacaan saya seakan bergema. Padahal saya membaca dengan lirih. Secara logika tidak mungkin akan memantulkan suara. Dan samar- samar saya juga sering mendengar nama saya dipanggil, “Yani Yani..” lalu sunyi dan keheningan menyelimuti malam.
Saya semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada diri saya. Kemampuan mendengar suara yang tidak didengar orang lain itu hanyalah satu bagian dari keanehan yang saya alami. Selain itu ada beberapa hal yang terus menjadi pertanyaan dalam diri saya. Misalnya mimpi yang menjadi nyata. Entah sudah berapa kali. Misalnya dalam kepulasan tidur itu, saya bermimpi kedatangan seorang teman kuliah yang berpakaian biru. Awalnya saya hanya menganggap itu adalah bunga tidur belaka yang tidak perlu dirisaukan dan dipikirkan. Tapi apa yang terjadi keesokan harinya membuat saya berpikir ulang. Saya benar-benar kedatangan tamu. la adalah seorang teman yang semalam hadir dalam mimpi. Yang lebih mengejutkan ia mengenakan baju biru sama seperti yang terlihat dalam mimpi. Saya tidak tahu apakah itu suatu kebetulan belaka, tapi yang jelas mimpi-mimpi berikutnya juga sering menjadi nyata Sampai ada teman yang berkomentar, “En, kamu seperti paranormal saja.”
Saya tidak tahu bagaimana sebenarnya paranormal itu bekerja. Tapi yang jelas saya juga bisa menerawang dari jarak jauh seperti mereka. Suatu saat saya menerima telpon dari seorang teman karib yang sedang berada di Yogya, namanya Evi. Dia sedang makan dengan seorang temannya. Entah kenapa saat itu saya mencoba membayangkan siapa yang sedang makan dengan Evi. “Teman kamu, pakai baju biru ya,” kata saya. “Dia berambut gondrong,” kata saya lagi. “Kok kamu tahu sih,” ujar Evi dengan nada penasaran. Rasa penasaran Evi itu saya timpali dengan tawa mengembang. Apakah memang ada jin yang mengikuti saya? Saat itu saya belum berpikir sejauh itu.
Dialog-Dialog dengan Hati yang Membingungkan
Penderitaan saya tidak juga berakhir meski telah berlangsung berbulan-bulan. Bahkan bisa dibilang intensitasnya semakin tinggi. Selama berbulan-bulan saya tidak bisa tidur nyenyak dan hampir setiap malam ada saja gangguan yang saya alami. Tidak seperti biasanya, kali ini gangguan itu lebih sering terjadi saat saya mau melakukan shalat malam. Seperti yang terjadi pada malam itu. Ketika sedang sholat, saya merasakan hawa dingin menempel di punggung kanan saya. Hawa yang sangat dingin itu menjalar ke tangan sebelum akhirnya menggerayangi wajah. Saya terkesima, ketika hawa dingin itu tiba-tiba lenyap bersamaan dengan tiupan angin pada gorden yang bertiup kuat hanya satu kali, ketika kakak masuk ke kamar saya. Namun, muncul kembali saat kakak keluar kamar. Saya heran mengapa bisa demikian.
Selain diganggu ketika shalat, saya juga suka membandingkan antara Islam dan Kristen. Perbandingan yang berasal dari bisikan yang terbetik begitu saja dalam hati. “Orang Kristen itu sepertinya suka mengasihi sesama” sedikit kekaguman itu berawal dari kesukaan saya untuk mengikuti kajian-kajian Kristen di televisi. Betapa terkejutnya saya ketika saya merasakan bisikan dalam hati yang seakan menjawab kekaguman itu, “Memang benar. Agama kristen itu bersifat kasih” selanjutnya saya merasa ada bisikan-bisikan yang membicarakan tentang Yesus yang penuh kasih.
Akibat dari bisikan itu semakin menyesakkan rongga dada. Bagaimana tidak, bila selanjutnya timbul keraguan akan agama yang saya anut, “Sebenarnya Al-Qur’an itu benar nggak ya. Jangan-jangan yang benar itu agama Kristen lagi”. “Apa benar apa yang dikatakan nabi Muhammad?” itu adalah penggalan dialog-dialog yang sering kali terulang. Hingga saya keheranan dengan diri saya sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Namun seakan saya tidak dibiarkan untuk mengambil nafas dan menentukan jalan hidup. Bisikan itu menawarkan jalan keluar, “Sudah masuk Kristen saja. Di Kristen itu tidak ada yang disusahkan.”
Saya berusaha melawan bisikan yang merusak eksistensi aqidah itu. Dengan berdoa kepada Allah di keheningan malam. Namun, kembali muncul bisikan di telinga, “Tuhan kamu tidak mendengar. Tuhan kamilah yang mendengar,” saya semakin bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan diri saya. Siapa yang berbicara dan membisikkan keragu-raguan dalam hati ini. Walau demikian saya terus berusaha melawannya dengan banyak beristighfar memohon pertolongan kepada Allah.
Dialog Panjang dengan Jin Penginjil
Dalam keadaan yang membingungkan dan tertekan, akhirnya pertolongan Allah itu datang pula. Saat berkumpul dengan teman- teman di dalam suatu majelis ta’lim, seorang teman saya yang bernama Linda bercerita tentang ruqyah yang baru diikutinya di Pondok Pesantren “Darul Fatah” di Jalan Kopi, Bandar Lampung.
Akhirnya, tanggal 14 Januari 2004, dengan ditemani dua orang teman, saya datang ke pesantren Darul Fatah. Rupanya di sana, telah berkumpul beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dengan saya, meski dengan keluhan yang berbeda. Selang sepuluh menit Ustadz Hafi memutar kaset di ruang laboratorium bahasa, tubuh saya berguncang hebat. Padahal saya terbiasa membaca Al-Qur’an. Keringat dingin bercucuran tanpa dapat saya tahan. Meski demikian saya mencoba untuk menguasai diri, tapi akhirnya pertahanan saya jebol juga. Wajah saya menegang dan dengan sekuat tenaga, “braaak” tangan saya menggebrak meja laboratorium dengan keras. Gebrakan yang menarik perhatian semua orang.
Mengetahui saya bereaksi dengan keras, ustadz Hafi segera mendekati saya. Dan untuk sesaat saya bisa menahan diri. Namun, sejurus kemudian, saya tidak bisa mengontrol diri kembali. Dengan tanpa sadar saya menggebrak meja lebih keras sambil berdiri. Selanjutnya “buuuk” saya merasakan pukulan menghantam punggung saya. Pukulan yang mendadak itu, membuat saya terduduk lemas. Selanjutnya saya diperintahkan untuk rebahan di lantai. Dada saya bergemuruh dan ingin menumpahkan kemarahan yang terpendam. Saya semakin tidak bisa menguasai diri, sehingga dengan tiba-tiba saat ustadz Hafi berada di dekat saya, saya bangkit dengan mata memerah menatap tajam, kaki saya bergerak menendang ustadz Hafi.
Tendangan saya itu dibalasnya dengan pukulan dipunggung saya sambil meneriakkan, “Ukhruj yaa aduwwallah! (Keluar wahai musuh Allah !) Tempatmu bukan di sini.” Setelah itu saya sadar kembali dan mendengarkan kaset ruqyah. Ketika tiba giliran saya untuk diterapi tidak ada dialog karena jin itu mengaku atheis.
Beberapa minggu kemudian, saya datang lagi. Tidak seperti ruqyah pertama, saat mendengarkan kaset ruqyah saya biasa-biasa saja. Namun begitu ustadz Hafi menekan punggung saya, saya langsung bereaksi keras. Mata saya melotot dan terjadilah dialog yang saat itu sempat direkam.
“Bismillah. Assalamu alaikum,” tanya ustadz Hafi. Jin itu tidak mau menjawab hingga diulang tiga kali. “Siapa kamu? Apa agamamu ?”
“Saya Mikail. Saya Kristen,”
“Kapan kamu masuk ke sini? Dan mengapa?”
“Sudah agak lama. Saya ingin ia masuk agama saya.”
“Kamu di dalam dengan siapa?”
“Kami sekeluarga. Ada bapak, ibu, Mathius, Aras, dan adik saya Shafa.”
Kemudian terjadi dialog yang amat panjang antara ustadz Hafi dengan para jin itu melalui mulut saya. Dialog yang hampir bermiripan antara jin satu dengan lainnya.
“Yani tidak akan keluar dari agama Islam. Agama kami adalah agama yang benar dan diridloi Allah. la tidak akan berpindah agama,” ujar ustadz Hafi.
“Kami orang Islam, kami benci kalian, dan kami benci orang-orang yang berjilbab.”
“Terserah kamu. Sekarang kalian harus keluar dari tubuh Yani.”
“Ha..ha..haa. Tidak mau. Tidak akan pernah, sebelum ia kami baptis. Kami akan ganggu terus, hingga jadi penakut, susah bangun malam dan tidak baca Al-Quran. Shalat malam paling saya benci.” Jin Mikail tertawa. Kata teman saya yang sempat melihat, saat itu mata saya melotot dan saya menjulurkan lidah sambil mendesis seperti ular.
“Tidak akan pernah bisa wahai musuh Allah. Mengapa kamu ingin memurtadkannya?”
“Itu adalah tugas kami. Kami punya pasukan dalam jumlah besar yang dikomandoi oleh pendeta dari…. (jin itu menyebut nama sebuah tempat di Jakarta) Dan menjelang pemilu ini, pasukan kami dari kalangan jin disebar ke berbagai tempat untuk mengacaukan kaum muslimin agar tidak memilih partai yang orang perempuannya pakai jilbab itu.”
“Partai apa yang kamu maksud ?”
“Itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka harus dihancurkan. Mereka tidak boleh memilih partai Islam. Kami benci mereka, kami benci wanitanya. Mereka setia pakai jilbab kapan saja. Kami akan ganggu mereka. Dan mengajak dan membisiki mereka untuk memilih partai kami dan berpindah ke agama kami.”
“Memilih partai Kristen?”
“Iya” cetus jin itu dengan keras. “Agar kami bisa menguasai negeri ini mulai sekarang.”
“Sekarang keluar, sebelum saya sakiti kamu!”
“Tidak akan bisa. Ha..ha.. haaa Yesus melindungi kami.”
Lalu ustadz Hafi memukul daerah punggung dan kaki saya. jin yang merasuki tubuh saya itu meronta-ronta kesakitan dan berteriak, “Yesus… Bunda Maria, Bapa yang di sorga… Tolong aku”
Setelah hampir setengah jam, barulah jin itu menyerah.
“Baiklah, apa maumu hai orang Islam? Saya merasa kepanasan dan remuk tubuh saya.”
“Kamu harus keluar.”
“Saya tidak mungkin keluar. Saya sudah berjanji di depan pendeta saya. Saya takut kalau dihukum dan dibunuh.”
“Mengapa kamu mau disuruh berbuat kejahatan Mengganggu anak ini adalah kejahatan!”
“Saya dijanjikan sorga.”
“Bohong itu. Ajakan itu penuh kebohongan Sudah baca kitab kalian?”
“Sudah.”
“Baca di Perjanjian Baru Paulus mengatakan kalau agama ini bisa tersebar dengan kebohongan, maka mengapa kamu tidak sadar? Siapa Tuhan kalian?”
“Yesus.”
“Dia bukan Tuhan. Tidak satu ayatpun dalam Kitab kalian yang menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan atau ia memerintahkan untuk disembah.”
“Mengapa kalian menganggap Yesus sebagai Tuhan?”, tanya Ustadz Hafi.
“Karena dia lahir dari wanita yang suci. la lahir tanpa bapak.”
“Banyak orang yang lahir dari wanita suci. Berarti Tuhan banyak, bukan Yesus saja. Nabi Adam lahir tanpa ibu bapak. la lebih berhak untuk dipertuhankan.”
“Iya sih.” Jin itu mulai kalah beradu argumentasi. Kemudian ustadz Hafi mengungkapkan beberapa ayat yang membuat jin semakin pusing dan bingung serta penjelasan pandangan Islam.
Akhirnya mereka tertarik untuk masuk Islam. Dan satu persatu dibimbing membaca dua kalimat syahadat serta berikrar untuk tidak mengganggu lagi. Bahkan jin kristen yang telah masuk Islam itu, dengan kemauannya sendiri, akan berdakwah kepada sekumpulan pendeta.
Sebelum keluar, para jin itu berpesan, “Wahai kaum muslimah, hati-hatilah! Kami lebih senang masuk ke tubuh kalian. Karena kalian lemah dan mudah lalai. Teman-teman kami (jin yang masih Kristen) akan mengganggu kalian, terutama ketika beribadah agar tidak tenang. Kami ganggu kalian dengan televisi, tape dan alat musik. Untuk itu hati-hatilah kalian!” demikian pesan sekaligus pengakuan jin kepada beberapa wanita muslimah yang kebetulan saat itu mengerubungi saya.
Setelah ruqyah yang kedua ini saya baru sadar bahwa bisikan-bisikan dan gangguan ketika shalat berasal dari beberapa jin Kristen dalam diri saya. Mereka berusaha mempengaruhi dan mengkrintenkan saya. Dari sini saya semakin bertekad untuk melawan gangguan yang menggerogoti keimanan itu, meski apa yang terjadi setelah ruqyah ini bertambah parah. Genderang perang seakan sudah ditabuh untuk melawan bisikan yang tidak berkurang, “Untuk apa Allah menciptakan jin. karena jin hanya mengganggu manusia” “Apakah Allah tidak kurang kerjaan dengan menciptakan jin”.
Bisikan itu semakin berat karena sudah mempertanyakan hak Allah. Untuk itu saya segera mengkoreksi pikiran buruk itu, “Tidak, tidak. Allah menciptakan jin itu hanya untuk beribadah.” Ternyata gangguan yang semakin berat itu memang berasal dari jin Kristen yang masih belum keluar dari tubuh saya.
Hal ini saya ketahui setelah ruqyah yang ketiga, “Saya dengan Aras masih bersaudara. Kalian penjahat. Saudara-saudara kami telah keluar. Mereka masuk agama kalian. Kami datang untuk mengganggunya lebih kuat. Kami akan balas dendam. ingin membuat perhitungan dengan kamu, wahai orang jahat!” ungkapan terus terang dari jin yang mengaku bernama Lukas.
Ancaman itu rupanya tidak main-main. Para jin yang masih tinggal di tubuh saya itu terus mengganggu. Saat takbiratul ihram sudah terucap, para jin itu mulai bergerilya. Mereka menusuk-nusuk tubuh saya, mulai dari kaki hingga punggung. Seakan ribuan jarum terasa menusuk- nusuk tubuh saya. Tidak ketinggalan mata saya juga menjadi sasaran kekejaman mereka. Sakit yang tiada terkira itu akhirnya memang tidak bisa saya tahan. Derai airmata pun bercucuran, saya menangis di kamar dengan suara lirih. Saya tidak ingin tidur orangtua dan saudara saya menjadi terganggu, seperti saya juga tidak mau meninggalkan shalat malam ini. Dalam keadaan demikian, saya merasa semakin kecil di hadapan Allah. Dan hanya kepada-Nya lah saya berkeluh kesah. Akhirnya tusukan jarum itu berakhir setelah berdzikir berulang- ulang.
Hari-hari berikutnya gangguan itu tidak lagi sebatas dalam shalat. Jin Kristen itu tidak merelakan saya terus berdzikir, bahkan ketika membaca doa mau tidur saja sudah diganggu sedemikian rupa. Mata saya dibuat terkantuk, dan tertidur pulas sebelum selesai berdoa. Padahal untuk berdoa itu hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Saat terbangun saya mencoba berdoa lagi, tapi hasilnya tetap sama, “plees” saya langsung tertidur.
Saya tidak boleh menyerah, meski harus berkali-kali diruqyah. Dan, pada saat ruqyah yang kelima pengaruh jin itu demikian kuat. Dia berusaha menguasai diri saya. Ya, dia menggerakkan tangan saya hingga akhirnya mengepal di depan dada. Persis seperti hendak berdoa. Benar saja, beberapa saat kemudian keluarlah puji- pujian dalam agama Kristen. Tidak cukup berdoa di tempat, jin itu juga berusaha mengajak saya berlari, “Saya mau ke gereja. Saya mau dibaptis sekarang,” teriakan saya itu menggema disela- sela usaha ustadz Hafi menundukkan jin Kristen yang masih bertahan di tubuh saya.
Sepulang dari ruqyah ini gangguan jin itu semakin menggila. Saat saya sedang shalat ia mengelabuhi mata saya dan menampilkan gambar salib di atas sajadah. Gambar Yesus yang disalib juga terus menari-nari dalam benak saya. Saya tidak perduli saya meneruskan shalat tapi keteguhan hati itu dibalas dengan bisikan halus di telinga, “Yesus-yesus”. Pas saya lagi sujud dengan membaca, “Subhanallahu wabihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji hanya bagi-Nya).” Terdengarlah bisikan, “Maha suci Yesus yang maha tinggi.” Saya semakin bingung, saya ingin menjawab pertanyaan itu, tapi tidak bisa karena saya sedang shalat.
Beberapa minggu terakhir ini saya merasa jin Kristen itu semakin banyak. Mereka sering bernyanyi, “Kami pasukan (jin itu menyebut nama sebuah gereja di jakarta) siap menghancurkan umat Islam,” nyanyian-nyanyian itu terus menggema di telinga saat saya sendirian. Meski demikian kuat pengaruh Kristen itu saya tidak boleh menyerah. Karena saya sadar bahwa saya hanyalah satu dari sekian orang yang menjadi target kristenisasi yang menggejala di berbagai tempat. Seperti yang terjadi saat saya diterapi di kantor majalah Ghoib, saat diterapi oleh ustadz Junaidi, jin Kristen itu berteriak, “Anak ini milik ku. Anak ini harus menjadi Nasrani. Pasukan Tri buana akan menghancurkan umat Islam.” Mulut saya terus berteriak dengan suara serak. Ustadz Junaidi tidak tinggal diam, beliau membacakan ayat yang berhubungan dengan tekad orang Kristen yang tidak rela umat Islam berpegang teguh dengan agamanya. “Kami umat Islam sangat paham dan meyakini ayat itu. Kalian tidak akan mampu mengalahkan kami,” kata Ustadz Junaidi menegaskan.
Sebuah pertarungan yang berat bagi saya. Jin itu terus membandel hingga akhirnya ustadz Junaidi sempat meludahi saya. Tidak tahu, entah kenapa setelah itu saya menjadi tersadar. Jin itu untuk sementara bisa dijinakkan. Hati saya agak tergoncang, ternyata masih banyak jin yang bertahan dalam diri saya. “Jangan menangis” nasihat Ratih saat melihat saya sedikit tergoncang. Nasihat yang menyejukkan hati. Belum sempat nasihat lainnya keluar dari mulut Ratih, la pun kelojotan diserang jin yang cukup lama bersarang dalam dirinya. la kerasukan jin Kristen, persis seperti yang saya alami.
Entah. Apakah bertahannya jin Kisten ini karena memang para aktifis Kristen di kampus terus menerus mengirimkan jin demi jin saya tidak tahu. Tapi yang jelas jin Kristen itu mengaku masuk ke tubuh saya ketika saya sedang melamun saat duduk berdekatan dengan seorang aktifis Kristen teman sekelas saya.
Saya sadar itu hanyalah pengakuan dari jin, tapi gangguan demi gangguan yang terus mengiring keseharian saya tidak dapat menghilangkan keyakinan bahwa apa yang dikatakannya itu benar adanya. Meski demikian saya berusaha mengambil sisi positifnya. Saya berharap Allah akan menghapus dosa demi dosa yang telah berlalu dengan musibah ini. Ini hanyalah teguran dari Allah agar saya dan keluarga semakin beribadah kepada-Nya. Pada sisi lain, saya semakin yakin bahwa orang-orang Kristen dari kalangan jin dan manusia tidak rela melihat kemenangan umat Islam. Untuk itu, hanya ada satu kata yang terpatri dalam jiwa, “Tidak ada kata menyerah, sebelum badan berkalang tanah.”
Ghoib Edisi No. 15. Th. 2/1425 H/2004 M