Orang Tua Terpikat Dukun Berbaju Kyai

Assalamualaikum

Apa yang harus kita lakukan, apabila kedua orangtua kita suka hal yang mistik. Datang ke seseorang yang dianggap Kyai, tapi kyai itu memberikan rajah, jimat dan air kesembuhan. Saya pernah diajak ke sana, tapi saya menolok. Ibu sering marah kalau diingatkan bahwa memakai jimat itu syirik dan dilarang Islam. Bahkan saya dianggap sebagai anak bandel dan tidak menurut orangtua. Saya takut ‘disumpahin’ Ibu. Bagaimana cara saya untuk mengingatkannya ustadz?

Yuni R, Malang Jawa Timur

Bismillah wal Hamdulillah, Kami sangat salut atas semangat dakwah Yuni dan sifat kritis terhadap adanya penyimpangan yang ada di sekitar. Yang benar memang harus dikatakan benar, dan yang salah harus dinyatakan salah, agar masing-masing tampak jelas dan tidak membingungkan orang lain. Termasuk tindakan kedua orangtua kita sendiri. Walaupun begitu kita harus mengambil langkah yang tepat dan bijak, agar kebenaran yang kita sampaikan bisa diterima oleh obyek yang kita tuju. Lalu penyimpangan yang ada bisa terkikis atau hilang.

Kyai adalah sebutan terhadap seseorang yang dipandang dan diakui sebagai ulama’ Islam, begitulah Prof. Dr. J.S Badudu mendefinisikannya dalam kamus Bahasa Indonesia. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, sebutan kyai penggunaannya telah melebar dan meluas. Tidak hanya diberikan kepada orang yang mumpuni dalam ilmu agama, tapi juga disandangkan kepada yang lainnya.

Di Jawa Tengah ada seekor kerbau yang dijuluki kyai Slamet. Dan sering kali kita jumpai dalam masyarakat kita, apabila ada orang yang tingkah lakunya bak ‘preman’, lalu prilakunya berubah dan rajin ibadah, teman-temannya pun memanggilnya kyai. Begitu juga ketika ada orang yang berjubah, bersorban atau berpeci putih, orang sekitarnya pun terkadang memanggilnya kyai, walaupun pengetahuan agamanya minim. Karena penggunaan kata kyai yang meluas itulah akhirnya sebutan kyai menjadi bias, bahkan sering disalah gunakan dan dijadikan obyek canda, dan ada juga yang memanfaatkan sebagai kedok bisnis.

Tapi yang jelas, kita sebagai umat Rasulullah telah diwarisi dua parameter, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Siapa pun orangnya, santri atau kyai, murid atau ustadz, masyarakat awam atau terpelajar, tingkah lakunya harus ditimbang dengan keduanya. Kalau apa yang dia katakan atau yang dia lakukan ternyata menyimpang dari dua parameter tersebut, maka kita tidak boleh mengikutinya. Mereka juga manusia biasa, bukan nabi atau rasul yang ma’shum (terjaga dari dosa). Kemungkinan salah dalam tindakan atau perkataan pasti ada.

Yang benar-benar kyai atau ulama’ saja terkadang bisa salah, apalagi kalau ternyata sebutan kyai yang disandangnya ternyata hanya kamuflase atau kedok saja. Dukun berbaju kyai, atau peramal bergaya ulama’. Sosok seperti itulah yang harus kita waspadai, sebagaimana yang dipesankan KH. Yusuf Hasyim, anak KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) kepada kami. Dalam masalah penggunaan rajah atau jimat.

Rasulullah telah tegas melarang umatnya untuk memakainya. “Barangsiapa yang memakai jimat, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jadi penolakan Anda sudah benar, hanya saja cara penolakannya itu yang harus bijak dan tidak kasar. Kalau Anda ingin memberi penjelasan tentang dilarangnya penggunaan jimat, Anda bisa minta bantuan orang ketiga. Seorang kyai atau ulama’ yang nasihatnya didengar oleh orangtua. Karena terkadang orangtua mengedepankan egonya, saat mendengar nasihat dari anaknya sendiri. Sehingga ia gengsi menerima nasihat meskipun isinya benar.

Dalam masalah yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa merusak tauhid, kita harus tegas dalam mengambil sikap, namun tetap santun dan elegan. Sebagaimana yang Allah  pesankan, “Dan jika keduanya (orangtua) memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Dan hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15). Rasulullah bersabda, “Tidak ada ketaatan bagi makhluq bila (dalam perintahnya) ada unsur kemaksiatan terhadap Sang Khaliq.” (HR. Ahmad, Thabrani)

Cintai, sayangi dan berbaktilah pada kedua orangtua. Berikan pencerahan dengan penuh hormat dan kecintaan. Iringilah dakwah Anda dengan do’a, sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang shahabat yang bernama Abu Hurairah. Dengan pendekatan lembut dan cinta serta do’anya dan do’a Rasulullah akhirnya sang ibu tercinta sadar dan masuk Islam seperti yang diharapkannya. Semoga Allah segera membuka pintu hati orangtua Anda tercinta untuk menerima kebenaran yang ada.

 

Oleh Ustadz Hasan Bishri, Lc.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN