Pasar Pagi Ketapang Dua Geliat Hidup Pasca Bencana

Pasar Pagi Ketapang Dua, terletak persis setelah jembatan di ujung pertigaan jalan raya arah Bundaran Lambaro-Kota. Tepatnya, setelah belokan ke kiri arah TVRI Banda Aceh. Sebelum pasar persis, ada sungai yang melengkung sehingga mengapit pasar Ketapang Dua itu. Di sisi kiri, adalah bangunan utama pasar, yang hanya terdiri dari lapak-lapak. Dengan jalanan sempit dan dari tanah hitam, hujan sedikit saja sudah membuat pasar tersebut becek sekali. Di tengah-tengah jalan, nampak para penjual buah. Ada rambutan, lengkeng. Selain itu juga ada sayur-mayur, seperti kacang panjang, kentang, tomat, wortel dan bayam.

Siang itu Majalah Ghaib mengunjungi Pasar Ketapang Dua. Di hari yang sudah ke enam belas, pasca musibah gempa dan gelombang. Tsunami yang melanda Aceh, pasar-pasar memang belum efektif. Bahkan, di Kota, malah tidak ada pasar, kecuali pasar di dekat Taman Makam Pahlawan. Itu pun hanya sedikit sekali yang berjualan.

Justru di Pasar Ketapang, nampak sekali suasana ramai. Di tengah-tengah jalan, di pembatas jalan, banyak penjual menawarkan dagangannya. Ada yang menawarkan sayur-mayur, buah, dan ada juga yang menawarkan ikan teri kering. Dari hampir semua pedagang yang di temui Majalah Ghoib, rata-rata mengatakan, bahwa pasokan sebagian besar bahan pokok memang sulit. Seperti daging, ikan segar, dan gula. Untuk yang terakhir ini, yaitu gula, memang benar-benar dikeluhkan.

Begitupun, Dedi (30) pedagang cabe dan sayuran serta kebutuhan harian, mengatakan, “Kondisi pasar alhamdulilah sudah berjalan lancar.” Tapi tetap saja ia mengakui bahwa beberapa barang masih mahal dan bahkan langka. Tidak sebagaimana semingu yang lalu beras sudah muilai normal dengan harga 5000 per kilogram. Tapi telur mengalami kelangkaan. Sehingga harganya sempat mencapai 3000 rupiah per butirnya. Belakangan memang turun, sampai 1200 rupiah per butirnya. Gula juga mengalami kelangkaan yang sangat sampai hari ini di pasar Induk belum ada stok barang. Harganya pun mencapai 8000 rupiah per kilo gram.

Dedi menambahkan, “Kami biasa mengambil bahan-bahan tersebut dari Pasar Lambaro dan Lampaseh, tapi saat ini hanya Pasar Lambaro yang menjadi pasar induk karena Lampaseh telah hancur. Dan hingga kini tak berfungsi kembali. Namun kami juga bersyukur pasar yang hidup di Aceh saat ini hanya Pasar pagi Ketapang Dua ini dengan Pasar Lambaro, sehingga pembeli yang biasanya hanya sampai jam 11 tapi sekarang hingga sore hari kami tetap buka. Namun, membludaknya pembeli tidak jumlah diiringi dengan pasokan barang yang memadai. 

Sementara, Zakaria (25) mengatakan, bahwa yang tidak kalah sulitnya adalah pasokan daging. “Daging kambing mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Harga per kilonya mencapai kenaikan 10.000. Sedang daging sapi juga mengalami lonjakan kenaikan yang tingi pula mencapai 15.000,” katanya kepada Majalah Ghoib. Apalagi jagal atau pemotongan hewan saat ini hanya ada satu di Lambaro. Sedang pemotongan hewan lainnya mengalami kerusakan. “Sehingga praktis kami harus memotong sendiri Pedagang daging di Pasar Pagi Ketapang Dua hewan, baik kambing maupun sapi,” tambah Zakaria. Begitupun, pembeli daging masih nampak sepi. Menurut Zakaria, para pengungsi sepertinya enggan untuk membeli daging. Rata rata mereka sengaja berhemat. la biasanya bisa menjual satu sapi untuk satu kali penjualan. Sekarang ia harus menjualnya dua kali. Untuk menyiasati itu, Zakaria mencoba mengatasinya dengan membuat dua lapak penjualan.

Sedangkan Didi (34), pedagang sayur mayur mengatakan, bahwa saat ini tidak begitu banyak mengalami gangguan. Sayur mayur yang diambil biasanya dari daerah tinggi seperti Sigli, yang jauh dari terpaan badai Tsunami. Sehingga praktis seluruh sayuran sangat mudah didapat. Harga pun tidak mengalami kenaikan yang begitu tajam. “Sempat mengalami kenaikan berkisar 1000- 2000 perak. Tapi itu kami anggap normal untuk kondisi sekarang.” jelas Didi.

Yang paling susah justru mencari ikan basah dan segar. Yang ada hanyalah ikan-ikan teri atau ikan yang sudah diasinkan. Padahal masyarakat Aceh sangat suka dengan ikan segar dan menghindari ikan yang diasinkan. Kalau ada mungkin hanya segelintir saja. Itu pun harganya melangit.

Pasar Ketapang, juga punya catatan sendiri bagi Suryanto (55). Lelaki asal Malang. Di Pasar Ketapang, Suryanto (54), yang sehari-hari berjualan tahu goreng dan bakwan itu, mengatakan bahwa pada mulanya, ia tidak hendak berjualan bakwan. Sekitar empat bulan lalu, ia sengaja pergi ke Aceh bersama istrinya untuk menjenguk kakaknya. Sekaligus, niatnya, akan mencoba usaha dagang bakso. Anak-anaknya sudah besar. Yang pertama sudah kuliah, yang kedua sudah SMA. Satu lagi sedang SMP.

la mengontrak sebuah warung sangat sederhana, terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan untuk istirahat, dan satu ruangan untuk jualan. la mengontrak tempat itu seharga satu juta setengah untuk waktu satu tahun. la berharap ramainya Pasar Ketapang bisa menutupi paling tidak biaya sewanya. Sebab, setelah melihat situasi, ia menilai bahwa jualan bakso tidak pas. Dari pasar Ketapang, Majalah Ghoib bergegas ke Pasar Lambaro. Pasar Lambaro, terletak di jalan raya Banda Aceh-Medan KM 8, 5. Tepatnya di Kecamatan Lambaro Kabupaten Aceh Besar, Pasar Lambaro sebenarnya memang nyaris seperti pasar Induk. Sebab untuk pasar-pasar yang ada di Kota Banda Aceh, biasanya mengambil bahan- bahan dagangan dari Pasar Induk Lampaseh. Tapi karena pasar Lampaseh sudah rusak, jadilah pasar Lambaro berubah menjadi pasar induk.

Pasar Lambaro, kebetulan, terletak di sebuah persimpangan yang memiliki dua cabang jalan di sisi kirinya. Satu jalan simpang ke kiri yang tembus ke jalan raya Darul Imarah arah ke TVRI. Sedang simpang kiri satu lagi, sedikit menyerong, dan di ujungnya berputar kembali ke jalan raya Banda Aceh-Medan.

Di sebalah sisi kanan jalan itu berdiri ruko- ruko, yang kebanyakan merupakan toko kelontong, rumah makan. Ada juga yang menjual mebel, tempat pencucian foto, dan juga toko yang menjual perlengakapan rumah tangga.

Hari sudah menjelang sore. Kehidupan belum sepenuhnya normal. Hujan deras hampir merata di seluruh kota. Dalam perjalanan dari Kota ke Lambaro, hujan turun dengan sangat deras. Jarak pandang hanya sekitar sepuluh meter. Maka, tak urung jalanan di Pasar Lambaro, sisi simpang kedua-duanya, sangat becek. Jalanan yang hanya sekitar dua meter itu pun harus dipadati dengan becak motor serta orang-orang yang berlalu lalang hendak belanja. Sementara, para tentara dan polisi terlihat hampir di banyak tempat, di halaman-halaman ruko sisi kanan jalan raya Banda Aceh-Medan itu.

Tetapi geliat pasar di Aceh Besar itu sudah terasa ramai. Di sepanjang jalan simpang sekitar satu kilo ke arah utara ada banyak lapak-lapak penjual di sisi kiri dan kanan. Sayur-mayur sudah nampak banyak. Kentang, wortel, tomat, bawah merah, cabal. Hampir semuanya sudah bisa tersedia. Begitu juga seledri dan kol.

Demikian juga lapak buah-buahan, didominasi oleh rambutan. Salah seorang penjual rambutan, yang sempat ditemui Majalah Ghoib, tidak tahu pasti dari mana rambutan yang ia jual, ia hanya memastikan bahwa itu berasal dari Medan.

Pasar Lambaro di ujung utaranya ada bangungan utama pasar, terdiri dari dua bangunan masing-masing dua lantai. Di sisi sebelah selatan, adalah Pasar Sayur, sedang di sisi sebelah utara, adalah Pasar Daging. Tetapi, dua bangunan itu justru kebanyakan dipakai untuk toko-toko yang menjual baju, sepatu, dan perlengkapan sehar- hari lainnya. Begitu pun, tidak banyak yang berjualan di bangunan utama itu. Kebanyakan mereka berjualan di jalan simpang putar.

Seperti para pedagang di Pasar Ketapang Dua, hampir semua pedagang yang ditemui Majalah Ghoib di Pasar Lambaro, mengatakan, bahwa mereka kesulitan mendapat pasokan bahan-bahan utama, seperti daging, ikan segar, dan terutama gula.

Sore semakin senja. Hujan deras mulai reda. Tak lama hujan kembali turun. Meski tidak sederas sebelumnya. Di sisi kanan Pasar Lambaro, warung-warung masih menawarkan makanan. Selera khas Aceh yang kental dengan santannya. Polisi dan tentara, dengan senjata lengkap. Lalu lalang mobil-mobil relawan beriringan dengan mobil tentara. Suara klakson sesekali memekakkan telinga.

Pasar Lambaro dan Pasar Ketapang, hanyalah sedikit potret Aceh pasca bencana, yang mencoba tetap bertahan hidup, meski kenangan pahit tak begitu saja bisa dihilangkan. 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN