Pasar Terapung Banjarmasin

Maha benar Allah yang memberi rizki kepada setiap makhluk-Nya tanpa pilih kasih, ada yang diberikannya di pegunungan, di hutan, di dalam perut bumi ada pula yang dari dalam laut bahkan ada yang dipermukaan laut seperti pasar terapung yang dikunjungi kali ini.

Saat mentari terbit di ufuk timur, angin sepoi-sepoi basah menerpa wajah. Membelai lembut penuh kedamaian. Sepanjang mata memandang ke angkasa warna biru langit terlihat dominan. Sejuk, damai penuh kehangatan menyeruak ke dalam dada. Menggelitik perasaan. Memang di pagi yang cerah itu tim Ruqyah kami menyusuri jalan protokol kota Banjarmasin. Ibukota propinsi Kalimantan Selatan.

Setelah beberapa menit menyusuri jalanan kota Banjar, mobil kijang segera meluncur ke jalan Kuin, satu-satunya jalan darat menuju pasar terapung. Selain menempuh jalan darat, pasar terapung juga bisa dijangkau melalui transportasi air dengan menggunakan sampan atau kapal kecil dengan menggunakan dayung sebagai kemudinya.

Di sepanjang jalan Kuin terlihat rumah-rumah panggung berjajar sepanjang sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin. Sungguh menakjubkan, deretan rumah panggung itu berdiri kokoh di atas air. Sementara tidak terlihat pancangan beton menjadi sandaran bangunan di atasnya. Yang terlihat adalah bulatan- bulatan kayu Olin. Menurut Didi yang mengantar kami kayu Olin memiliki keistimewaan tersendiri. “Semakin lama terendam air, maka kayu Olin akan semakin kuat, berbeda dengan jenis kayu lainnya,” ujar Didi sambil mengemudikan mobil. Lantai rumah panggung itu pun berbeda-beda. Perbedaan yang melambangkan tingkat perekonomian pemiliknya. Ada yang terbuat dari semen maupun keramik, bahkan tidak sedikit pula yang berlantaikan konblok.

“KAWASAN WISATA PASAR TERAPUNG” terpampang jelas di gapura menyambut kedatangan setiap orang yang masuk ke kawasan wisata pasar terapung. Di belakang Gapura terdapat tempat parkir mobil dan motor yang cukup luas. Setelah tim kami berjalan kaki sepanjang 50 M dari Gapura, seorang bapak bergegas bangkit dari duduknya dan dengan ramah menawarkan jasa mengantarkan ke pasar terapung. “Berapa ke pasar Terapung?” tanya Didi. “Tiga puluh ribu pak. Tapi kalau mau langsung ke pulau Kembang maka ongkosnya empat puluh ribu rupiah,” jawabnya tetap dengan ramah.

Karena keterbatasan waktu kami harus melewatkan kesempatan mengunjungi kawanan monyet atau kera di pulau Kembang. Sayang memang. Asap tebal membumbung dari mesin diesel mengantarkan kami menyusuri kawasan wisata pasar terapung.

Sungai Barito mengalir tenang setenang penghuninya. Tenang dalam kehidupan sungai yang terkesan masih tradisional. Sementara di belahan bumi lainnya, masyarakat sudah mulai meninggalkan pasar pantainya dan berganti dengan gedung bertingkat dan ber AC. Masyarakat Banjar dan khususnya para pelaku pasar terapung tetap mempertahankan kawasan ini sebagai daya tarik tersendiri. Dengan berbagai alasan tentunya. Karena transportasi sungai lebih mudah menjangkau daerah-daerah di sekitar sungai daripada transportasi darat adalah satu alasannya. Berikutnya karena ini adalah budaya lokal yang layak dipertahankan dan dijadikan sebagai daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun manca negara.

 

Membelah Ketenangan Sungai, Meraup Rizki

Di atas sungai yang tenang, nampak titik hitam yang semakin lama semakin besar. Titik itu berubah menjadi sampan berukuran 4 x 1 meter dengan seorang lelaki bertopi menggerakkan dayung perlahan. Menyibak dan membelah air sungai. Sesekali ia menyeka peluh yang membasahi wajahnya. Di atas sampan tergeletak sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Sementara onggokan eceng gondok, jenis tumbuh- tumbuhan air, nampak terombang-ambing di tengah sungai. Eceng gondok itu terus menari-nari mengikuti deburan ombak sungai yang tenang.

Ternyata pedagang di pasar terapung tidak hanya didominasi kaum laki-laki. Seperti yang nampak menguntit di belakang kapal kami, seorang ibu berkerudung hijau, dengan balutan kain putih melekat di badannya. la nampak mengayuh sampan perlahan. Sepertinya pemandangan seperti ini sangatlah biasa. la seakan mengajarkan kepada kita akan kegigihan, kesungguhan dan keberanian serta tawakkal atau kepasrahan.

Seorang pembeli dengan perahunya mendekat dan merapat kepada perahu lain yang membawa barang dagangan. Dengan segera perahu sarat muatan yang baru datang menjadi rebutan pembeli yang merapat dari arah kiri dan kanannya. Cas-cis-cus bahasa Banjar yang tidak kami pahami terdengar aneh. Tak lama kemudian sayur-sayuran tersebut telah berpindah tangan.

Selain sampan kecil, kawasan pasar terapung juga diramaikan oleh kapal bermesin dengan ukuran agak besar. Asyik memang berbelanja di pasar ini. Kami pun berkesempatan untuk membeli buah-buahan yang dibawa oleh kapal perahu yang lebih besar dari yang kami tumpangi, abang pengemudi merapatkan kapalnya ke kapal yang membawa buah itu kemudian setelah merapat, melihat dan memegang buahnya akhirnya tawar menawar harga kemudian terjadilah akad jual beli.

Untuk menghindari benturan langsung antar kapal dipasanglah bantalan ban bekas yang digantung kiri kanan kapal sehingga ketika dua kapal atau lebh saling merapat, maka yang pertama kali beradu adalah ban- ban kedua kapal tersebut.

Pasar, dimanapun tempatnya. Baik di darat maupun sungai, tetap kurang menyenangkan bila tidak diiringi dengan warung makan. Tempat melepas lelah sambil menikmati kopi hangat ataupun makanan lainnya. Seperti pemandangan yang terpampang di depan mata. Sebuah kapal ukuran besar berdiri kokoh di tengah-tengah sampan yang mengerubunginya. Kapal besar yang menjadi gula dengan kerumunan semut- semut di kelilingnya. Kapal yang menarik datangnya sampan. Tentu saja dengan pemiliknya.

Kami berkesempatan menikmati lezatnya soto Banjar di tengah sungai, di atas kapal yang disulap menjadi warung makan.

Sebuah pengalaman yang tidak lekang dimakan usia. Pengalaman yang menjadi cerita untuk anak cucu kelak bahwa hidup adalah perjuangan. Berjuang dalam berbagai keadaan. Agar tidak cepat putus asa lalu menyerah. Ya, sejak dahulu nenek moyang kita telah berhasil menyulap sungai sebagai pasar terapung yang menarik perhatian dunia.
Ghoib, Edisi No 20 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN