Pelaku Ilmu Supranatural, Matinya Susah?

Ustadz, nenek saya sudah tua dan sudah mati rasa. Tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Tapi makan dan minum masih mau, dengan disuapin. Kata Ibu, dahulunya nenek pernah belajar ilmu supranatural’. Sekarang nenek saya seakan susah matinya, apakah itu karena ilmunya?

Rahma, Malang Jawa Timur

Bismillah wal Hamdulillah, memang banyak orang meyakini bahwa orang yang mempunyai ilmu supranatural (baca; kesaktian dan kadigdayaan), matinya akan susah. Ada yang sampai usia ratusan tahun, belum mati juga. Katanya ia punya ilmu kesaktian untuk memperpanjang umur. Ada juga orang sakit parah dan tak kunjung mati, lalu disangka orang tersebut punya ‘pegangan’. Benarkah keyakinan tersebut?

Sampai-sampai ada orang yang enggan untuk mempelajari ilmu kesaktian atau memiliki ilmu kadigdayaan, karena ia takut kalau nanti matinya susah. Oleh karenanya, sering kita jumpai iklan-iklan di media yang isinya menawarkan ilmu kesaktian, pasang susuk atau ‘ilmu karamah’, lalu memberikan garansi, “Dijamin matinya tidak susah” agar yang berminat tidak ragu dan ngeri.

Padahal ilmu yang menyimpang dan berbau syirik haruslah kita jauhi, bukan karena kita takut proses kematian yang susah. Tapi karena itu adalah suatu dosa yang tidak akan hilang dengan kematian yang gampang, bila pelakunya tidak segera bertaubat. Dosa itu harus kita pertanggung jawabkan di depan Allah setelah kematian itu sendiri. Adzab Allah telah menanti bila Allah tidak mengampuni, na’udzubillah.

Kalau kita mengamati realitas di lapangan. Maka kita akan menjumpai kenyataan, bahwa tidak semua orang yang memiliki ilmu kesaktian dan kadigdayaan matinya susah, sebagaimana tidak semua orang yang tidak memiliki ilmu tersebut matinya gampang atau mudah.

Maka dari itu, kita tidak bisa menjadikan hal itu sebagai parameter kebaikan dan keburukan seseorang. “Bila ada orang yang matinya susah berarti ia punya ‘amalan yang menyimpang.” Atau sebaliknya, “Bila ada orang yang matinya mudah berarti dia bersih dari amalan yang menyimpang”. Parameter kebaikan seseorang bukanlah pada proses kematiannya, tapi kondisi hati dan ketakwaannya saat ajal menjemputnya, itulah yang menentukannya.

Ada orang yang semasa hidupnya kita kenal sebagai seorang ahli ibadah. Dan di akhir hidupnya ia diuji oleh Allah dengan sakit yang berat. Berbulan-bulan ia merasakan sakit itu, bahkan bertahun-tahun. Dan ia tetap sabar menghadapinya. Sungguh yang ia rasakan itu adalah proses peleburan dosa, bila ia masih punya dosa. Dan proses penaikan derajatnya di surga, bila dosanya sudah bersih. Dan itu bukan adzab Allah di akhir hayatnya, tapi rahmat dan bukti cinta-Nya.

Rasulullah bersabda, “Sakit kepalanya seorang mukmin atau tertusuk duri atau terkena sesuatu yang membuatnya sakit, maka dengannya Allah akan mengangkat derajatnya di hari kiamat, dan melebur dosa-dosanya”. (HR. Ibnu Abid Dunya).

Dan sebaliknya, ada orang yang semasa hidupnya dipenuhi dengan dosa dan kemaksiatan, la tercatat sebagai pelaku kriminal kelas kakap di alibi kepolisian. Lalu di suatu hari ia tertangkap basah sedang melakukan tindakan kriminal, polisi pun membidiknya dengan timah panas saat ia mau kabur. Dor… dor…. ia pun jatuh tersungkur dan mati. Bukan berarti proses kematian yang mudah itu menunjukkan bahwa dia orang baik, tapi itulah gerbang penderitaan baginya untuk menghadapi siksa yang lebih pedih, karena ia belum sempat bertaubat.

Syari’at Islam mengajarkan kepada kita bahwa penentu ajal seseorang adalah Allah. Yang mencabut nyawa seseorang adalah para malaikat yang telah diberi tugas oleh Allah. Jadi eksekutor kematian seseorang bukanlah jin atau syetan, yang telah diajak kerjasama atau yang menjadi perewangan orang tersebut di masa hidupnya. Allah berfirman, “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati, melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (QS. Ali ‘Imran: 145).

Memang syetan akan selalu hadir kepada orang yang menghadapi sakaratul maut. Semua orang, bukan orang yang punya “ilmu supranatural saja. Syetan berusaha untuk menjadikan orang itu su’ul khatimah. Bukan untuk menunda ajalnya, atau menjadikannya sebagai budak setelah kematiannya.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syetan akan mendatangi kalian saat menjelang kematiannya, la menyeru: ‘Matilah sebagai seorang Yahudi, matilah sebagai seorang Nashrani.” (HR. Nasai). Orang yang sedang sakaratul maut sangat membutuhkan bimbingan kita.

Bimbinglah dia untuk terus berdzikir dan menyebut nama Allah. Menjalankan perintah Allah senampunya. Bila kondisinya itu adalah proses datanganya ajal, semoga kematiannya merupakan husnul khatimah baginya. Berdo’alah, memohon kepada Allah. Apabila kehidupan itu lebih baik baginya, semoga ia lekas diberi kesembuhan. Dan bila kematian itu lebih baik baginya, semoga Allah memberinya kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut.

Apabila Anda mau membacakan bacaan-bacaan ruqyah syar’iyyah di sisinya, insya Allah itu akan lebih baik lagi, sebagai sarana untuk memohon keputusan Allah yang terbaik untuknya. Semoga kita semua dilindungi Allah dari tipudaya syetan.

 

 

Oleh : Ustadz Hasan Bishri, Lc

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN