Ada seorang penguasa yang arogan dan otoriter, dia memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Kekejamannya membuat orang-orang yang berseberangan dengannya miris dan menciut nyalinya. Tidak seorangpun berani berkata tidak jika dekrit sudah disahkannya. Segala cara ia tempuh untuk menyingkirkan pesaingnya atau melanggengkan kekuasaannya. Bahkan ia pernah menginstruksikan antek-anteknya, untuk melenyapkan generasi laki-laki yang baru lahir pada masanya, karena dikhawatirkan mengkudeta tahtanya. Justru di puncak kecemasannya akan kehilangan mahkota, tampillah dalam kancah kekuasaan otoriternya seorang pemuda pemberani yang selama ini menjadi anak angkatnya.
Pemuda muslim yang shalih itu mulai mengajaknya untuk tunduk kepada Allah. Tapi penguasa yang dalam kamus kehidupannya tidak pernah tunduk kepada siapapun, marah besar saat mendengar seruan si pemuda. Sering sekali mereka berdua berdebat dan beradu argumentasi untuk mempertahankan keyakinan masing- masing. Bahkan saat penguasa itu kalah berdebat, dia menuding pemuda itu adalah orang gila.
Sampai pada suatu saat si penguasa kehabisan kata-kata, dengan emosi dia menantang si pemuda, “Tunjukkan suatu bukti kepadaku, jika keyakinanmu itu yang benar.” Si pemuda yang di dampingi saudara kandungnya, mempertunjukkan suatu tontonan yang spektakuler dan fantastis untuk membuktikan kebenaran dakwahnya. Tongkat yang dipegangnya ia lemparkan, lalu berubah menjadi seekor ular yang besar. Selanjutnya ia menarik tangannya dari balik bajunya, lalu sinar yang putih bersih terpancar. Si penguasa dan antek-anteknya tercengang melihat kejadian itu. Dan untuk menyelamatkan mukanya serta mengingkari kebenaran si pemuda, dia mengklaim bahwa apa yang dilihatnya itu adalah sihir. Agar pengikutnya tidak berpaling atau pindah haluan ke si pemuda, si penguasa berjanji akan menggelar tontonan yang serupa bahkan lebih spektakuler untuk menandingi “sihir” si pemuda. Dia meyakinkan rakyatnya bahwa pemuda ini sangat berbahaya, kalau tidak dibendung langkahnya, ia pasti akan mengusir rakyatnya dari tanah air mereka dengan ilmu sihirnya. Akhirnya disepakatilah adu kekuatan dan kehebatan untuk menentukan pihak siapa yang lebih hebat.
Pada waktu itu, tepatnya tanggal sepuluh bulan Muharram. Di waktu pagi mulai beranjak siang, semua lapisan masyarakat negeri berkumpul di alun-alun kerajaan, rakyat jelata duduk berkumpul mengelilingi alun-alun. Sedangkan si penguasa duduk di singgasana kebesarannya yang dikawal ketat serta dikelilingi antek-anteknya. Dan tepat dihadapan si penguasa berjajarlah para tukang sihir yang terhebat dan tertangguh dari seantero pelosok negeri. Pemuda dan saudaranya pun sudah siap untuk menunjukkan kebenaran misinya.
Kelihatannya si penguasa tidak main-main, dia kerahkan semua para tukang sihir jagoannya. Entah berapa tepatnya jumlah mereka, ada yang mengatakan sekitar 80.000 tukang sihir. Mereka terbagi menjadi empat kelompok besar, yang masing-masing kelompok dipimpin oleh Jawara sihir terhebat dan tersohor, yaitu: Sabur, Adzur, Hath Hath dan Mushaffa. Tibalah saat yang menegangkan, saat yang ditunggu-tunggu rakyat Mesir untuk menentukan kubu mana yang harus mereka ikuti. Bahkan saat menyaksikan betapa besarnya jumlah tukang sihir. rakyat negeri tersebut mengatakan, “Kita akan mengikuti para tukang sihir penguasa, saat mereka memenangkan pertandingan nanti.” Mereka tidak mengatakan, “Kita akan mengikuti yang haq (benar)” Karena definisi kebenaran ada di tangan penguasa.
Dengan congkaknya para tukang sihir menantang si pemuda, “Wahai pemuda! Siapa yang memulai duluan? Kamu atau kami?” Si pemuda menjawab, “Silahkan kalian lebih dahulu menunjukkan kehebatan kalian!” Kemudian mereka melemparkan tali-temali dan tongkat-tongkat mereka seraya berkata, “Demi kekuasaan penguasa, sesungguhnya kami benar-benar akan menang.” Lalu berubahlah tali-tali serta tongkat-tongkat mereka menjadi ular-ular yang menakutkan. Saat itu juga semua yang hadir tersihir, tak terkecuali si pemuda. Hatinya sempat gentar juga melihat tali-tali dan tongkat-tongkat yang sudah menjadi ular yang sangat banyak di depan matanya. Allah memberitahu kepada si pemuda, agar tidak gentar dan takut, karena apa yang dimilikinya lebih hebat dan lebih unggul. Adapun apa yang dilihatnya hanyalah sihir belaka. la pun diperintahkan untuk segera melemparkan tongkatnya ke arah kumpulan ular jadi-jadian itu. Ketika tongkat yang di tangannya dilemparkan, maka berubahlah menjadi ular raksasa beneran, lalu melahap kumpulan ular para tukang sihir, sampai tak tersisa satupun.
Pada saat para tukang sihir melihat tongkat si pemuda betul-betul menjadi ular sungguhan bukan jadi-jadian seperti tongkat-tongkat mereka. Mereka paham betul tentang seluk-beluk ilmu sihir. Dan yang sedang disaksikan mereka bukanlah termasuk jenis sihir. Mereka yakin itu bukanlah hasil karya si pemuda. Ya, para tukang sihir memang betul, apa yang mereka saksikan itu adalah salah satu bukti kebenaran si pemuda, dan tanda kebesaran Dzat yang mengutusnya ke penguasa yang lalim dan kaumnya. Maka tersungkurlah para tukang sihir semuanya bersujud (kepada Allah), seraya menyatakan keimanan mereka kepada Tuhannya si pemuda dan saudaranya.
Si Penguasa terhenyak melihat kejadian yang dramatis itu, kemarahanna langsung menyeruak memenuhi ubun-ubunnya, amarahnya terbakar lalu berteriak membentak para tukang sihir, “Apakah kalian beriman kepada si pemuda sebelum aku izinkan, sungguh ia adalah pembesar kalian yang mengajari kalian ilmu sihir, kalian memang sudah bersekongkol untuk menjatuhkanku.” Lalu ia mengancam, “Sesungguhnya aku akan menyalib kalian pada batang pohon kurma, dan kalian semua akan tahu siapa diantara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.”
Karena keimanan para tukang sihir sudah menghunjam kuat dalam lubuk hati setelah menyaksikan mukjizat, maka ancaman si penguasa arogan itu tak berarti apa-apa, tidak menciutkan nyali mereka sama sekali. Inilah kalimat-kalimat pertaubatan mereka yang diabadikan dalam Al- Qur’an, “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat). yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami, maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami untuk melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (adzab- Nya)………………” (QS. Thaha: 72-74).
Itulah untaian kata-kata mutiara mantan tukang-tukang sihir yang bertaubat kepada Allah. Ketika dalam kesesatan, mereka tidak berani menolak perintah si penguasa, yaitu Firaun yang terlaknat. Tapi setelah iman kepada Tuhan si pemuda dan saudaranya, yaitu Musa dan Harun menghunjam di hati mereka, maka dengan gagahnya mereka menasehati dan mendakwahi Firaun.
Sungguh luar biasa, pagi hari mereka masih menjadi dukun, tapi di sore hari pada hari yang sama mereka sudah menjadi juru dakwah di depan penguasa yang selama ini mereka takuti.
Kisah pejabat dan beking di balik layar, para dukun sudah ada sejak dulu. Negeri yang dikuasai kesyirikan seperti Indonesia tak ubahnya Mesir ketika itu. Aktifitas negara dikuasai oleh para dukun.
Jangan jadi Fir’aun Indonesia, tetapi milikilah keimanan tukang sihir Fir’aun.
Ghoib, Edisi No. 15 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M