Suami dan istri adalah dua makhluk dengan karakter berbeda. Masing- masing memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Seorang suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya. “Kaum laki- laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (QS. An- Nisa’: 34)
Namun, ini bukanlah harga mati. Bila memang seorang suami kurang bisa memenuhi kewajibannya, maka seorang wanita diperbolehkan membantu suaminya dalam mencari nafkah. Selama hal ini tidak mengurangi tanggungjawabnya sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya serta tidak melanggar rambu-rambu yang telah digariskan syariat Islam.
Keinginan untuk membantu suami seperti yang terbersit dalam diri Syamsiar adalah niatan yang mulia. Namun perlu digaris bawahi bahwa niat yang mulia saja masih belum cukup. Masih perlu dilihat kembali apakah dalam mewujudkannya terjadi penyimpangan ataukah tidak.
Sebutlah shadaqah sebagai contoh. Bukankah shadaqah itu dianjurkan dan perbuatan terpuji? Tapi bila orang kemudian mencuri agar bisa bershadaqah misalnya, maka hal itu bukan lagi terpuji, tapi justru haram. Demikian pula halnya dengan niatan untuk membantu suami agar asap di dapur tetap ngebul.
Jual beli atau mencari nafkah termasuk bagian dari muamalah yang dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa pada hakekatnya semua muamalah itu boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang melarangnya.
Di sinilah biasanya orang tidak lagi melihat apakah muamalah yang dijalankannya itu terlarang ataukah tidak. Seperti halnya Syamsiar yang tidak lagi peduli apakah melakukan transaksi simpan pinjam yang disertai dengan bunga itu halal ataukah tidak.
Padahal secara jelas disebutkan di dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa segala hal yang terkait dengan riba itu adalah haram. Bahkan riba termasuk tujuh perbuatan yang membahayakan dan harus ditinggalkan. “‘Jauhilah tujuh perbuatan yang menghancurkan.’ Mereka bertanya, ‘Ya Rasulullah apa sajakah itu? Rasulullah menjawab, ‘Mensekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari medan perang dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga dirinya (dari zina).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kehancuran yang ditimbulkan riba adalah satu hal yang pasti, Kerugian di dunia maupun di akhirat. Syamsiar hanyalah satu dari sekian banyak orang yang berjatuhan karena riba. Ketidaktenangan, ketakutan, penyesalan, atau segudang penderitaan lainnya.
Hidup dalam kejaran hutang, hingga harus berpindah dari hotel ke hotel atau mengasingkan diri dengan tetap menyimpan kekalutan yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan diri sendiri.
Meski pada akhirnya, penderitaan yang dialami di dunia ini masih belum seberapa bila dibandingkan apa yang didapatkan orang yang terlibat dengan riba dan tidak bertaubat hingga meninggal nanti di akhirat. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah 275)
Gangguan kesadaran seperti yang tersebut dalam ayat di atas, sudah terbukti. Syamsiar sering hilang kesadaran nyaris seperti orang gila, sehingga ia menanggalkan pakaian dan lari begitu saja. Meski gambaran yang dimaksud ayat di atas baru terjadi nanti ketika mereka dibangkitkan dari kubur. “Orang yang bermuamalah dengan riba akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan. Mereka berdiri kemudian terjatuh lagi. Sebagian lain menafsirkan bahwa mereka dibangkitkan dalam keadaan perut membesar seperti orang hamil. Mereka selalu terjatuh setiap kali terbangun.” (Tafsir al-Qurtubi 3/354)
Riba bagaikan virus ganas yang terus menyebar tanpa dapat dibendung. Hingga tiap orang akan terkena imbasnya. Rasulullah bersabda, “Akan tiba suatu masa, di mana orang-orang akan makan riba.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ditanya. Apakah semua orang akan memakan riba?” Rasulullah menjawab, “Orang-orang yang tidak langsung makan riba, masih terkena debu-debu riba.”
Dalam perkembangannya riba telah berganti dengan bahasa yang lebih halus dan terkesan bersahabat yang disebut dengan bunga. Padahal hakekatnya tetaplah sama.
Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menambah penghasilan tanpa harus bersentuhan dengan riba. Pintu jual beli terbuka luas dengan segala jenisnya. Dalam ayat yang sama Allah menjamin kehalalan jual beli. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)