PUSAKA Penolak Kematian

PUSAKA Penolak Kematian
PUSAKA
Penolak Kematian

Seorang pemuda bertato datang menemui Majalah AI-Iman di awal bulan November yang lalu. Wajahnya yang agak garang, membuat orang yang melihatnya merasa ngeri. Apalagi kalau baru melihatnya secara sekilas.

Ketika  ia meNgucapkan salam kepada Majalah AI-Iman, terasa sekali keramahan dari wajahnya yang agak garang itu. Tidak tampak kesan kasar atau brutal dari wajahnya yang penuh dengan bekas luka. Alhamdulillah……, akhirnya saya dapat menyempurnakan taubat saya, dengan menyerahkan jimat ini kepada Majalah Al-Iman, tegasnya membuka pembicaraan. Setelah saling berkenalan, ia mencurahkan semua isi hatinya kepada Majalah Al-Iman perihal masa lalunya.

Hidup di terminal membuat saya tumbuh menjadi seorang yang suka berkelahi. Terkadang hanya untuk memperebutkan uang sepeser, urainya membuka kisah. Sejak kecil ia tinggal di sebuah lingkungan dekat terminal di pinggiran ibukota. Hari-hari yang dilalaninya, hanya menyaksikan kekerasan dan persaingan otot untuk mendapatkan sesuap nasi. Beranjak dewasa, ia semakin ingin menujukkan eksistensinya dengan menjadi seorang preman yang disegani oleh kawan maupun lawan.

Ketika usia saya beranjak usia 20 tahun, saya mulai mencari berbagai ilmu kekebalan dari beberapa orang dukun di berbagai tempat. Oleh seorang dukun, saya dibekali sebuah jimat yang katanya adalah pusaka peninggalan leluhur dari sebuah kerajaan di Indonesia. Saya hanya ingin tidak mempan senjata. Kebal. Semua cita-cita itu bisa diraih, ketika usia saya genap 35 tahun, tegasnya. Ia pun dikenal sebagai penguasa terminal yang sangat ditakuti oleh semua orang.

Beberapa kali ia tidak dapat dicederai oleh senjata tajam lawan, ketika terjadi bentrok fisik antar kelompok preman. Suatu sore, ia sedang duduk asyik termenung memandangi angkutan umum yang lalu lalang. Seorang ustadz muda datang menghampirinya dengan wajah sumringah. Wajah ustadz muda yang teduh itu, mengajaknya untuk melaksanakan shalat di musholla terdekat. Awalnya saya menolak, bahkan hendak mencelakainya.

Tetapi, di malam harinya saya memikirkan apa yang dikatakan ustadz itu, bahwa semua orang pasti akan merasakan kematian meski gagah dan ditakuti orang. Tidak terkecuali orang yang ridak mempan senjata tajam, tambahnya lagi. Sejak saat itu, ia mulai mencuri-curi untuk mendengarkan ceramah dari ustadz muda itu di musholla terminal. Hari demi hari dilaluinya dengan penuh kegelisahan. Sampai pada akhirnya, diawal tahun 2007, ia ikut mengaji-bersama ustadz muda tersebut dan menyatakan taubat dan meninggalkan dunia preman yang sudah dilakoninya selama berpuluh-puluh tahun.

Atas saran ustadz itulah, saya datang kemari untuk menyerahkan jimat ini. Saya ingin total menebus dosa-dosa yang telah lalu dengan ibadah, ” pungkasnya semangat.

 

BENTUK JIMAT

Jimat yang diserahkannya berbentuk sebuah cangkir berukuran kecil yang terbuat dati keramik. Pada bagian muka cangkir ini, tetdapat gambar bercorak tanaman berwarna biru.

 

KESAKTIAN JIMAT

Jimat ini harus disimpan di dalam toilet, jika pemiliknya ingin kebal dari senjata tajam. Kesaktian jimat ini akan semakin terasah, jika pada setiap malam Jum’at diisi dengan air kembang tujuh rupa.

 

BONGKAR JIMAT

Kematian adalah sebuah kepastian. Ia tidak akan bisa ditolak dengan sebuah benda yang telah dijampi-jampi oleh sang dukun, dengan bantuan syetan. Apapun yang kita usahakan untuk menghindari kematian, pasti akan datang juga.

Suatu ketika muncul seorang sahabat Anshar, dan bertanya kepada Rasulullah “Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?” Beliau menjawab, Yang paling sering ingat kematian dan yang punya persiapan terbaik untuk menyambut apa yang terjadi sesudahnya. Mereka itulah orang yang paling cerdas.” (Hadits diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu Majah dari Umar ra).

Berapakah usia kita saat ini? Sebagian dari kita, barangkali, masih merasa belia. Usia 20-30-an Hidup pun, masih terasa panjang, lama dan bisa “dinikmati”. Sebagian lain, mulai merasakan telah masuk di usia senja. Mereka yang telah masuk di usia 50- 60an. Lama dan sebentar, panjang dan pendeknya usia, sangatlah relative dan tidak ada yang pasti. Jika rata-rata hidup manusia saat ini adalah 65, maka kita pun menghitung waktu yang tersisa. Sebagian berencana menyisakan waktu tersisa di penghujung usia untuk lebih menekankan pada kegiatan “beribadah”, sebagian yang lain merasa masih panjang “memanfaatkan” waktu mudanya untuk menikmati hidup. Masalahnya, panjang

usia seseorang tidak diketahui. Kapankah kita akan mengakhiri hidup ini. Adakalanya orang yang semalam nampak sehat dan bugar, meninggal di pagi hadnya. Kita pun tidak bisa memastikan, apakah tahun depan kita masih bisa menjalani bulan Ramadhan atau tidak. Bahkan saat mata ternrrup di malam hari, kita tidak bisa memastikan di pagi hari kita masih bisa bangun dan melanjutkan hidup. Itulah rahasia kematian.

Kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya. Firman Allah; “Katakanlah Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata.” (al-Jumu’ah, B).

Meskipun demikian, manusia pada umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada kematian. Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan.

Dalam buku Mizan al-Amal, Imam Ghazali menjelaskan beberapa alasan mengapa manusia takut terhadap kematian.

  1. Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi.
  2. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah.
  3. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa.
  4. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.

Walhasil, manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadiran nya.

Sesungguhnya kekuatan dan kecerdasan hidup itu, diperoleh dengan cara yang mudah, yakni mengingat kematian. Bukan dengan mendatangi dukun yang telah nyata-nyata bersekutu dengan syetan Hanya saja, sedikit manusia yang ingat pada kematian karena terpukau oleh kehidupan dunia yang sesaat.

 

Al-iman bil ghoib Edisi: 95Th.4/4 Dzulhiljah 14281-1114 Desember 2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN