Rabi’ah lahir pada tahun 96 H (714 M). Tempat kelahirannya, yaitu di Bashrah (Irak) Rabi’ah dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin. Ayahnya bernama Ismail. Dalam menjalani kehidupan, keluarga Ismail hidup dengan penuh takwa dan iman kepada Allah, tak henti-hentinya melakukan zikir dan beribadah melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan isterinya selalu berdo’a mohon dikaruniai anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya semakin terasa karena sampai lahir tiga anak, semuanya perempuan. Karenanya Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan memohon agar janin yang dikandung isterinya, yang keempat, adalah laki-laki.
Allah menghendaki lain. Manusia boleh berusaha, tetapi Dia yang menentukan segalanya. Anak keempat pun lahir perempuan. Pupuslah harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar menyelimutinya. Menyambut kelahiran Rabi’ah dengan derita, Istri Ismail berkata kepada suaminya: “Kakanda tercinta, pergilah ke rumah sebelah. Mungkin mereka memiliki kain bekas yang pantas dihadiahkan kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita selimuti dengan sepotong kain.”
Keinginan isterinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang mau membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong kain. Maka Ismail menghibur istrinya “Istriku, tetangga kita sedang tidur nyenyak. Bersyukurlah kepada Allah karena selama hayat kita belum pernah meminta- minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang masih basah itu. Percaya dan tawakallah kepada Allah. Tentu, Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita. Dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan pada kita. Percayalah wahai istriku tercinta”
Ismail menamakan anaknya Rabi’ah, karena ia adalah anak yang keempat. Istri dan ketiga anaknya yang lain, tidak setuju dengan nama tersebut yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah.
Rasulullah berkata, “Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya”. Kemudian Rasulullah menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi menemui Isa Zadan, Amir Bashrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah, seperti yang disampaikan dalam mimpinya. “Hai Amir, engkau biasanya shalat 100 rakaat setiap malam, dan setiap malam Jum’at 400 rakaat. Tetapi pada hari Jum’at yang terakhir, engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membawa surat ini, sebagai kifarat atas kelalaian itu”.
Pada pagi hari, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan oleh Rasulullah dan pergi ke istana Amir. Karena tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu diserahkan kepada pengawal istana yang langsung pergi menghadap Amir. Ketika Amir membaca surat dari ayah Rabi’ah, ia segera memerintahkan untuk segera menyerahkan 400 dinar. Namun ia segera membatalkan perintahnya seraya berkata, “Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini, sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan ini. Dan saya akan mengawasi anaknya yang mulia ini.”
Peristiwa tersebut merubah persepsi Ismail dan isterinya terhadap anak perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran Rabi’ah dengan bahagia.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabiah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orangtuanya. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabiah terhadap Allah. Dalam kehidupan sehari- hari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah, dengan membaca al-Qur’an dan berzikir. la pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengar dari ayahnya. Pernah Rabi’ah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah dan semenjak itu lafal- lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya, selalu diulang-ulang dalam doanya.
Saat masih kecil, Rabi’ah adalah gadis yang shaleh. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal. la menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari orangtuanya. Kakaknya pun belum dewasa. Dalam usia yang masih belia, Rabi’ah dan kakak-kakaknya harus mencari pekerjaan untuk hidup. Derita Rabi’ah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah, ketika kota Bashrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk yang mati kelaparan, termasuk ketiga kakak Rabi’ah yang lemah, yang membuat Rabi’ah menjadi gadis sebatang kara. Musibah ini mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk kejahatan dan perbudakan. la dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ke tanah, “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah menemui kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.” Kemudian Rabi’ah pulang ke rumah tuannya dan merawat cedera tangannya hingga sembuh.
Pada suaru malam, Rabi’ah bersujud dan memanjatkan doa. Tuannya yang kebetulan terjaga dari tidurnya, melihat dan mendengarkan doa tersebut.” Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah dapat mematuhi perintah- Mu dan mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Karena Tuannya melihat sendiri peristiwa itu, maka saat hari mulai terang, ia menanggil Rabi’ah dan bersikap lemah lembut kepadanya. Rabi’ah dibebaskan dan diizinkan pergi meninggalkannya. Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Setelah merdeka Rabi’ah pergi ke padang pasir untuk berguru kepada para ulama dan menempuh hidup zuhud sebagai pertapa. Seluruh hidupnya ia baktikan untuk beribadah kepada Allah, hingga sampai akhir hayatnya Rabi’ah tidak pernah menikah.
Rabi’ah wafat pada tahun 185 H. (80) M), pada usia yang sudah sangat tua di Bashrah, daerah Syam (Syiria). Sungguh, sepenggal kisah yang mengajarkan kepada kita, tentang ketaatan, sehingga dengan kekuatan doa, ia jalani hidup dengan penuh keyakinan.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M