Ramal-Meramal Dalam Sorotan Islam

Pergantian tahun baru masehi yang dimulai dari tanggal satu bulan Januari, adalah momentum yang tidak akan dilewatkan begitu saja bagi mayoritas umat di bumi ini. Saat-saat yang sarat dengan kegembiraan, keceriaan, hingar bingar dan hura-hura. Bahkan tak jarang dalam perayaan itu diwarnai dengan penyimpangan-penyimpangan hukum dan syariat, serta norma-norma masyarakat. Sehingga berkembanglah budaya serba permisif, hedonis dan cuekis.

Di balik hingar bingar tahun baru tersebut ada suatu aktifitas yang mulai membudaya dan mentradisi di mayoritas bangsa Indonesia. Yaitu meramal kejadian nasib bangsa ini serta penghuninya selama setahun mendatang.

Lihatlah media kita, baik cetak maupun elektronik, mereka berlomba-lomba menampilkan pihak-pihak yang berkompeten dalam dunia ramal-meramal. Menghadirkan peramal-peramal lokal, atau yang berkelas nasional, bahkan mereka tak ragu-ragu untuk mendatangkan peramal yang berkaliber dunia. Obyek ramalannya pun variatif, dari rakyat jelata sempai pejabat negara, dari pebisnis sampai selebritis. Bidang ramalannya juga beragam, mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kebahagiaan seseorang serta kesialannya.

Khusus untuk tahun 2004, yang paling marak dan hangat untuk dijadikan obyek ramalan adalah kondisi pemilu yang akan dimulai pada bulan April. Partai apa yang akan mendulang suara paling banyak dan siapa presiden yang akan terpilih nanti.

Masyarakat kita memang masih longgar dalam mensikapi masalah ini. Bahkan tak jarang mereka masih memposisikan para peramal sebagai sosok manusia yang layak diacungi jempol, karena memiliki kelebihan dan keistimewaan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Sehingga tak heran kalau ada paranormal atau peramal yang punya posisi khusus di hati mereka. Yang sangat disanjung, dihormati dan menjadi referensi serta solutor dalam berbagai permasalahan dan problematika kehidupan.

Di samping itu pengambil kebijakan negeri Islam terbesar ini hanya diam saja. Sebagai pemegang kendali bangsa, mereka memilih diam dan tidak bersikap proaktif terhadap keberadaan peramal dan ramalannya yang terus tumbuh menjamur di atas bangkai-bangkai akidah ummat yang sudah membusuk. Naifnya, justru banyak pejabat yang menggunakan jasa mereka untuk memprediksi alur perjalanan karir politik mereka di parlemen, dan memohon jampi-jampi yang bisa melanggengkan tahta mereka dan mengatrol posisi yang didudukinya. Yang lebih parah lagi adalah adanya pejabat yang merangkap profesi sebagai paranormal atau peramal. Lihatlah komentar mereka yang sangat populer, sebagai bukti ketidak pedulian mereka terhadap kebersihan akidah, mereka melegalisir keabsahan perbuatan mereka dengan mengatakan: “Toh itu hanya ramalan kalau percaya silakan kalau nggak percaya up tu you.” Kalau sudah begini, bagaimana kita bisa berharap kebaikan untuk negeri yang dipimpin oleh dukun dan pejabat yang menggantungkan nasibnya kepada para dukun.

Masalah ramal-meramal dalam prespektif Islam tidak sesepele seperti yang dipahami oleh masyarakat awam. Tidak sekedar percaya atau tidak percaya. Karena ini berhubungan dengan sesuatu yang paling esensi dan prinsipil dalam kehidupan seorang muslim, yaitu Aqidah Islamiyah.

 

Peramal Dari Masa Jahiliyah Hingga Kini

Sebelum kita menyingkap bahaya peramal dan kebohongan mereka, kita harus paham terlebih dahulu definisi peramal itu sendiri. Ibnu Atsir berkata, “Peramal adalah orang yang mengaku mengetahui hal yang ghoib yang sebetulnya pengetahuan tersebut hanya dimiliki Allah swt.” Sedangkan Ar- Raghib Al-Ashfahani mengatakan, “Peramal itu seperti dukun, hanya saja peramal biasanya spesialis dalam pemberitahuan hal-hal yang akan terjadi, sedangkan dukun biasanya memberitahu sesuatu yang sudah terjadi.” Jadi, siapa saja yang mengaku bisa mengetahui hal ghoib yang telah dan akan terjadi maka dia adalah peramal. Baik dia beratribut layaknya dukun konvensional ataupun bersorban dan kopiah putih. Baik mereka masih rela disebut dukun atau pun sudah memodifikasi nama sehingga tampil lebih elegan dan elit.

Keberadaan peramal bukan hanya marak di era sekarang. Mereka sudah ada sejak zaman jahiliyah. Mereka justru lebih menjamur dan berjibun di masa itu. Karena panjangnya rentang waktu antara nabi Isa dengan nabi Muhammad. Sebutlah nama-nama Aus bin Rabiah, Sawad bin Qorib Ad-Dausi, Ibnu Shoyyad, Urwah bin Zaid Al-Azdi, Syaq dan Suthoih (Al-Alfashl fi tarikhil arab qoblal Islam 6/766).

Sementara, setelah diutusnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, keberadaan mereka semakin sedikit dan berkurang. Salah satu penyebab berkurangnya mereka adalah berkurangnya bocoran langit yang dicuri oleh jin (perewangan peramal dan dukun). Karena Allah menjaga langit dengan bintang- bintang setelah diutusnya Nabi Muhammad. Bintang-bintang itu digunakan untuk melempari syetan ketika mereka berusaha mencuri berita-berita langit. (Fathul Bari 10/221).

Penyebab lainnya adalah banyaknya dukun dan peramal yang bertaubat setelah mengetahui berita diutusnya Rasulullah. Diantaranya adalah Khothor bin Malik, peramal tersohor dari Bani Lahab yang sudah ratusan tahun berprofesi sebagai peramal. Dia memiliki usia sampai 280 tahun. Amr bin Al-Hamq, peramal yang masuk Islam di hadapan Rasulullah yang akhirnya senantiasa ikut berperang bersama beliau. Khonafiz bin At-Tauam, seorang peramal yang kaya raya berbodi atletis, akhirnya masuk Islam di hadapan Muadz bin Jabal di Yaman (Al-Mufasshol 6/768). Yang menarik lagi adalah taubatnya peramal yang bernama Sawad bin qorib Ad-Dausi, karena ia diberitahu oleh jinnya bahwa telah diutus Muhammad sebagai nabi dan rasul lalu ia datang ke Madinah menemui Rasul dan para shahabatnya. Setelah berjumpa Nabi dia masuk Islam. Rasulullah dan para shahabatnya sangat gembira. Lalu Umar mendekatinya dan bertanya, “Apakah jin perewanganmu datang hari ini?” ia menjawab, “Sejak saya membaca Al-Quran dia tidak datang lagi. Sebaik-baik pengganti (ramalannya) adalah Al- Quran. Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” (Alamun Nubuwwah: 127).

 

Peramal, Dari Jin Hingga Hanya Tebakan

Ibnu Hajar menguraikan panjang lebar tentang kinerja para peramal dan bagaimana mereka mendapatkan bahan dan materi ramalan:

1. Mereka mendapatkan informasi dari jin.

Jin dan teman-temannya bahu-membahu dan panggul memanggul hingga mencapai posisi terdekat dengan langit yang sekiranya bisa mendengar suatu berita. Lalu berita itu disampaikan sambung menyambung antar mereka dengan menambah-nambahnya serta mencampurnya dengan ratusan kebohongan yang akan berakhir di telinga para peramal. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit untuk mendengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang (pasca diutusnya Muhammad), barangsiapa yang (mencoba) mendengarkan tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 9).

2. Jin memberitahu para peramal sesuatu yang biasanya tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.

Ketidaktahuan itu bisa disebabkan oleh karena hal tersebut termasuk urusan ghoib, atau karena sesuatu tersebut berada di tempat yang jauh sehingga manusia terhalang untuk mengetahui hal tersebut. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang ghoib.

3. Para peramal menggunakan prasangka

Atas dasar prasangka itulah para peramal mencoba menebak-nebak dan mereka-reka. Terkadang tebakan mereka tepat. Ini dikarenakan Allah memberikan insting dan firasat yang kuat kepada sebagian orang. Walupun pada kenyataannya yang banyak terbukti adalah kedustaan dan ketidak tepatan tebakan mereka.

4. Para peramal bersandar pada pengalaman dan kebiasaan

Seiring pengalaman panjang seorang peramal, dia mengantongi banyak kasus yang terjadi dan sebagiannya terulang. Kasus-kasus yang sudah berlalu itu dia amati dan pelajari. Sehingga ketika datang sebuah peristiwa yang sama atau mirip, dengan mudah dia mengeluar ramalannya.

Kadang-kadang mereka menggunakan ilmu perbintangan berdasarkan letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit atau mengamati garis telapak tangan dan sejenisnya. Peredaran dan letak bintang adalah sesuatu yang mempunyai hitungan matematisnya. Mempunyai gerak yang tetap.

Termasuk dalam poin ini ketika meraka membaca garis tangan atau guratan wajah.

 

Hukum Meramal

Keempat point di atas semuanya tercela menurut syariat Islam. Karena kalau peramal itu menggunakan jasa jin untuk menggulirkan hasil ramalan-ramalannya, maka itu adalah pernyataan yang lemah dan tidak valid. Karena jin itu berkarakter pembohong besar. Kalau sumber mereka pembohong, maka berita yang disampaikan pasti sarat dengan kebohongan.

Adapun jika peramal itu menggunakan prasangka untuk menebak-nebak, maka setiap kita bisa melakukan hal itu dan tidak ada keistimewaan mereka sama sekali. Namanya juga tebakan, peluang salah dan benar selalu ada.

Sama halnya jika para peramal itu menggunakan ilmu perbintangan atau astrologi.

Demikian juga dengan garis telapak tangan atau guratan wajah. Ada beberapa garis tangan dan guratan wajah yang sama atau bermiripan. Dengan berdasarkan pengalaman terhadap garis tangan tertentu dan letak tertentu dari bintang, maka ramalan yang sama pun dikeluarkan.

Begitulah, bagaimana para peramal mengelabuhi para korbannya. Islam telah mengingatkan kita, maka jauhilah semua kegiatan ramal meramal dan jangan mau ditipu lagi oleh para peramal.

 

Ghoib, Edisi No. 12 Th. 2/ 1424 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN