Saat Main ke Bali, Saya Kenal Putaw

Masa kecil saya sebetulnya penuh dengan kebahagian dan hampir tanpa penderitaan. Boleh dikata setiap apa yang saya inginkankan bisa terpenuhi. Sejak saya dilahirkan di kota metropolitan Jakarta 32 tahun yang lalu, saya sudah mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orangtua. Orang tua berasal dari Sumatera Barat. Saya yang merupakan anak kedua dari 4 bersaudara dibesarkan di tengah hiruk pikuknya kota Jakarta, diasuh dalam keluarga yang harmonis. Ayah saya adalah seorang pekerja pada perusaahaan swasta di wilayah Jakarta Utara dengan penghasilan lumayan di atas rata-rata. Sedangkan ibu saya seorang guru SMP. Suatu paduan yang serasi sebab kebutuhan materi kami bisa dipenuhi ayah sedangkan kebutuhan kasih sayang dan pendidikan bisa kami dapatkan dari ibu. Tidak heran ketika SD, saya sering menggondol juara kelas. Dalam segi keagamaan pun tidak kurang, secara berkala ada ustadz yang kami panggil ke rumah untuk pengajian.

Namun sejak memasuki SMP mulai ada perubahan dalam kelakuan saya. Mungkin seiring dengan fase umur saya yang meningkat remaja maka rasa keingintahuan saya pun meningkat termasuk dalam hal-hal negatif.

 

Awalnya Hanya Rokok

Mulanya hanya pingin coba-coba bagaimana sih rasanya rokok itu, ada kesempatan saya coba sekali. Lama kelamaan saya ulang lagi dan akhirnya terbiasa walaupun itu tanpa sepengetahuan orang tua saya.

Suatu ketika saya ketahuan orang tua kalau saya mulai merokok. Bukan main marahnya orangtua. Oleh ibu saya diomeli habis-habisan sedangkan oleh ayah bahkan dipukul dan diancam akan dihukum lebih berat lagi kalau sampai mengulanginya lagi. Awalnya saya betul-betul merasa kapok namun lama-kelamaan terulang lagi dan terulang lagi malah saya semakin pandai mencuri kesempatan yang tidak bakal diketahui orang tua.

Setelah terbiasa dengan rokok saya pun semakin meningkat dengan mulai mencicipi yang namanya minuman keras. Bermula dari sedikit kemudian nambah lagi baik dari jumlah maupun kadarnya sampai akhirnya hampir semua jenis minuman beralkohol pernah saya rasakan. Itu semua saya jalani tanpa sepengetahuan keluarga terutama ayah dan ibu saya.

Di tahun terakhir di bangku SMP ayah saya mulai sakit yang agak serius. Setelah diperiksa ternyata ayah menderita gangguan lever. Sakit ini malah sudah diidapnya beberapa tahun sebelumnya tapi selama ini belum tampak gangguan berarti. Ini merupakan cobaan bagi kami semua. Mulai saat itu pula awal penurunan kejayaan orang tua dan keluarga kami. Pasalnya, dengan sakit yang diderita ayah saya membuat dia harus rawat inap. Ini mengakibatkan beberapa usahanya terbengkalai. Belum lagi pengobatannya membutuhkan banyak biaya. Satu per satu harta benda kami dijual untuk menutupi biaya pengobatan ayah. Namun apa yang dialami ayah saya tidak membuat saya sadar untuk meninggalkan minuman-minuman haram tersebut malah semakin menjadi-jadi.

Sementara itu, sejak ayah sakit, sepuluh unit taksi yang dimiliki dan dikelola ayah, pengelolannya dialihkan ke ibu. Tetapi karena pengobatan ayah membutuhkan banyak biaya satu per satu unit taksi dijual. Namun hasilnya, walaupun telah banyak biaya yang dikeluarkan ternyata tetap tidak mampu menahan takdir Allah. Ayah kami tercinta harus meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya.

Kepergian ayah merupakan pukulan yang sangat berat bagi kami sekeluarga. Tugas beliau sebagai tulang punggung keluarga terpaksa diambil alih oleh ibu. Alhamdulillah perekonomian keluarga masih bisa tertopang. Kami anak-anaknya pun masih bisa tetap melanjutkan sekolah bahkan kuliah.

Di SMA, kebiasaan buruk saya tetap tidak bisa saya tinggalkan, Kepergian ayah ternyata tidak mampu menyadarkan saya dari kenakalan remaja. Namun dari empat orang bersaudara hanya saya saja yang beda. Kakak perempuan dan dua adik saya termasuk anak yang berbakti dan tidak macam-macam seperti saya.

Dua tahun setelah kepergian ayah giliran kakak perempuan saya yang dipanggil Yang Maha Kuasa. Dia menghadap-Nya setelah menderita gangguan lambung yang cukup parah. Sekali lagi Allah memberikan “cubitan” kepada saya. Tapi kali ini pun tidak membuat saya insyaf. Bukannya saya tidak bersedih atas meninggalnya kakak saya tapi kesedihan saya tidak mampu menahan keinginan saya untuk tetap bergaul dengan barang- barang haram.

Perlu diketahui sejak di SMU ini bukan hanya minuman beralkohol yang saya konsumsi, namun sudah mulai menikmati barang yang katanya bisa membuat orang fly. Lagi-lagi saya terbual rayuan syetan. Inilah langkah-langkah syetan menjerumuskan, mulai dari yang namanya rokok lalu ke minuman beralkohol dan meningkat ke narkoba. Sebagai seorang yang juga banyak mengenal dunia narkoba saya tahu mana yang efeknya kecil dan mana yang mempunyai efek ketagihan yang luar biasa.

Pada tahap awal saya hanya berani mengkonsumsi jenis ganja yang di kalangan remaja dikenal juga dengan istilah cimeng yang sepengetahuan saya mempunyai efek ketergantungan paling kecil. Itupun dalam dosis rendah dan frekuensinya masih jarang. Namun lama-kelamaan dosisnya semakin meningkat dan frekuensinya pun semakin sering.

Sebetulnya hati kecil saya tetap mengatakan bahwa apa yang saya lakukan ini adalah sesuatu yang salah. Dan karena masih ada dasar keagamaan yang diberikan orang tua sewaktu kecil maka iman yang mungkin masih tersisa sedikit masih membisikkan bahwa saya harus meninggalkan semua ini. Tapi tetap saja saya tidak mampu menahan godaan untuk terus mengkonsumsinya.

Tamat dari SMA saya mulai kuliah di salah satu Institut di Jakarta untuk program sarjana, namun cuma berjalan setahun saya tidak betah, akhirnya minta pindah ke Bandung. Di Bandung ini saya kuliah di Institut seni rupa. Ibu saya setuju. Di Bandung saya merasa lebih bebas. Kuliah saya pun saya jalani dengan santai saja. Saya lebih banyak ngumpul-ngumpul dengan teman dan traveling.

 

Kuliah dan Badan Hancur Karena Putaw

Suatu saat teman-teman saya dari Jakarta main ke tempat saya di Bandung. Setelah melepaskan kerinduan kami sepakat untuk jalan- jalan ke Bali. Saya pun bolos kuliah untuk ikut ke Bali dan tanpa sepengetahuan orang tua. Di Pulau Dewata inilah saya semakin gila-gilaan. Kalau selama ini saya hanya berani pakar ganja, maka di Bali ini saya mulai berani nyobain putaw. Serbuk putih ini mempunyai efek ketagihan yang lebih tinggi. Kerusakan yang ditimbulkannya juga lebih besar. Atas pengaruh teman-teman dan rasa penasaran untuk merasakan akhirnya saya mencobanya.

Awalnya saya cuma pakai sedikit, tapi walau sedikit tetapi ternyata sudah sangat terasa khasiatnya. Badan pun sebetulnya menolak masuknya barang haram ini ke dalam tubuh dengan berbagai reaksi. Namun lama-kelamaan tubuh sudah mulai menyesuaikan diri dan mulai bisa menerimanya.

Cara konsumsi putaw yang saya pakai terbilang boros. Kalau orang lain dengan cara melarutkan ke dalam air lalu disuntikkan maka saya dengan cara memanaskannya di atas api yang dilapisi dengan kertas timah. Setelah bubuk putawnya terbakar dan menghitam maka asap yang dihasilkan itulah yang saya hirup dengan menggunakan pipa kecil yang biasanya saya buat dari uang kertas yang digulung. Dengan cara inilah saya menggunakan putaw.

Apa yang saya coba di Bali saya ulangi lagi di Bandung. Lama kelamaan saya ketagihan. Badan. saya terasa sakit kalau tidak mengkonsumsinya. Akhirnya uang kuliah yang jadi korban untuk membeli barang haram itu. Setelah uang kuliah juga tidak cukup maka darah Padang yang mengalir di tubuh saya memberikan ide untuk berbisnis, Akhirnya saya mulai berbisnis putaw dengan tujuan minimal kebutuhan putaw saya terpenuhi. Jadilah saya pengedar narkoba. Kuliah saya pun. terbengkalai. Akhirnya saya kembali ke Jakarta.

Hari-hari berlalu, saya sering merenungi diri dan menyesali apa yang saya lakukan selama ini. Saya sadar bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah tidak benar. Saya bertekad bahwa saya harus mengakhiri semua ini.

Saya akhirnya mencoba untuk tidak mengkonsumsi serbuk-serbuk setan itu lagi. Namun ternyata tidak semudah apa yang saya perkirakan. Tubuh saya nagih untuk diisi lagi. Tulang saya terasa rontok semua. Tubuh ini berat sekali untuk diangkat apalagi berjalan. Melangkah sepanjang 2 meter saja sangat sulit. Badan gemetar bahkan kejang-kejang Akhirnya dengan bantuan kawan-kawan saya berobat ke dokter spesialis ketergantungan obat. Di sana saya diberi obat beraneka macam. Sekali minum ada 10 macam obat. Ini saya paksakan demi niat saya untuk meninggalkan narkoba.

Selama masa pengobatan ini saya kembali ke orangtua saya di Bukit Tinggi. Di sana saya berusaha untuk berobat tanpa diketahui orangtua. Di dalam kamar saya merasa sangat tersiksa. Kalau lagi sakaw (nagih), pikiran selalu mengarah ke putaw sementara yang ada hanya obat dokter. Akibatnya saya seperti orang gila. Saya mencari barang terlarang itu di bawah bantal, di bawah kasur, di sela-sela meja di tumpukan buku, dengan nafas memburu. Sebab di situlah biasanya saya menyelipkan barang itu sebagaimana yang biasa saya lakukan di Jakarta. Namun barang itu tak kunjung ketemu karena memang tidak ada. Syukurlah beberapa hari kemudian saya mulai bisa menghilangkan ketergantungan. Saya pun merasa lebih tenang, mungkin ini karena saya bisa lebih dekat dengan keluarga.

Beberapa minggu kemudian, saya merasa sudah lebih baik meski belum fit benar. Pikiran ke putaw juga mulai hilang. Sayapun berencana kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta saya diajak teman berenang. Saya pun oke. Nah, mungkin karena kecapekan sementara badan belum fit, maka pada malam harinya badan saya meriang. Tanpa sadar saya mencari-cari lagi barang haram tadi dan ternyata ketemu lagi sisa barang yang lalu. Akal sehat saya hilang dan kembali menikmatinya. Mulailah konsumsi obat babak ke dua. Dan kisahnya penderitaan saya hampir sama dengan yang pertama. Hari-hari penuh dengan penderitaan.

Setelah beberapa lama, kesadaran untuk kembali ke jalan benar itu muncul lagi. Kali ini saya bertekad lebih keras lagi untuk tidak terjerumus lagi. Namun ternyata itu hanya berlangsung tiga bulan, lalu make lagi., trus berhenti lagi. Ini berulang beberapa kali. Sampai akhirnya apa yang saya tutup-tutupi selama ini diketahui oleh ibu dari cerita ibu teman saya. Ibu saya marah bercampur sedih dan kasihan. Dia merasa mungkin karena saya kurang perhatian dan kurang kegiatan. Akhirnya saya dibelikan mobil untuk usaha rental biar ada kegiatan namun ini juga tidak berhasil malah mobilnya ikut saya gadaikan.

 

Saya Bertekad Membuka Pusat Rehabilitasi

Oleh keluarga kami dikabari kalau ada seorang Ustadz di daerah Cikarang yang mampu merehabilitasi orang-orang korban narkoba. Saya pun berangkat mencari alamatnya dan alhasil diterima sebagai pasiennya.

Metode yang dipakai Pak Kyai, yang belakangan saya ketahui bernama Haji Adang Miarsa, berbeda dengan dokter. Tidak ada obat-obatan tertentu yang harus dikonsumsi. Saya hanya mandi uap dengan peralatan sederhana juga sewaktu- waktu diurut. Selebihnya saya hanya disuruh banyak di masjid, shalat, dzikir dan sebagainya.. Kalau lagi sakaw dibiarkan saja guling-guling tidak ditolong bahkan diajak bicarapun tidak. Setelah enam bulan, saya disuruh ke Karawang dengan jalan kaki. Bukan main jauhnya tapi bisa juga akhirnya.

Selain itu terkadang saya disuruh untuk pergi ke salah satu masjid yang cukup jauh untuk beberapa minggu dengan hanya dibekali uang sekedarnya. Di masjid itu kita diminta untuk mengabdikan diri secara ikhlas untuk mengurus kebersihannya seperti menyapu, mengepel, dan sebagainya.

Karena ini perintah ya saya jalani saja padahal secara logika agak sulit. Bagaimana makannya, tidak ada sanak keluarga, tempatnyapun baru. Kalau dipikir-pikir rasanya mau kabur saja. Tapi alhamdulillah ternyata bisa makan juga bahkan kadang lebih. Ada saja orang yang ngasih. Ternyata ini merupakan latihan kemandirian dan ketawakkalan serta keyakinan penuh akan kuasa Allah. Selain itu kami dilatih pula untuk banyak bersosialisasi dengan masyarakat. Dan ternyata metode ini berhasil. Pernah juga saya disuruh ke Aceh tepat di masjid Samudera Pasai. Di sana sempat ditangkap anggota GAM dikira mata-mata.

Tahun 1999, alhamdulillah saya dinyatakan bersih dari pengaruh narkoba dan kebersihan ini akan senantiasa saya jaga agar tetap bersih. Pengalaman hitam membuat saya ngeri untuk kembali ke dunia itu. Akhirnya di tahun 2001 saya bertemu teman adik saya yang akhirnya kami menikah. Dan di tahun 2003 punya momongan. Dan alhamdulilah kini kami sekeluarga hidup tenang di salah satu pondok pesantren di Jawa Barat.

Saya berkesimpulan bahwa obat untuk mengatasi ketergantungan obat adalah keimanan kepada Allah. Ditambah lagi dukungan dari semua pihak terutama keluarga. Kalau hanya obat medis maka besar kemungkinan jatuh lagi.

Saya bercita-cita suatu saat saya pun bisa buka pusat rehabilitasi orang-orang yang senasib dengan saya. Dan kepada Allah saya sangat bersyukur atas jalan yang ditunjukkan kepada saya. Dan sebagai wujud kesyukuran, saya siap mengabdi kepada- Nya apa dan kapan saja.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 18 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN