Saatnya Beri’tikaf bukan Bertapa

I’tikaf disunnahkan tidak hanya di bulan Ramadhan saja, ia juga bisa dilakukan pada bulan-bulan lain. Hanya saja ketika dalam bulan Ramadhan anjuran I’tikaf lebih ditenkankan lagi, terutama di sepuluh hari terakhir pada bulan suci tersebut. Dalam sebuah hadits dijelaskan. Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malamnya, membanngunkan keluarganya, mengencangkan ikat pinggangnya (meningkatkan ibadahnya dan menjauhi isterinya).” (HR. Muslim, no. 2008, Bab I’tikaf).

Kita memerlukan waktu untuk melepas kepenatan yang selama ini cenderung menumpulkan ketajaman spiritual kita. Kita butuh waktu untuk menjauhi rutinitas kerja yang selama ini berpotensi mengotori kebersihan hati. Kita perlu waktu untuk beristirahat beberapa saat dari beban-beban yang terpanggul dalam pundak kita. Kita harus punya waktu untuk mengistirahatkan mata, telinga, mulut dan anggota badan lainnya dari gesekan dan percikan kemaksiatan yang bertaburan di sekitar kita. Dan waktu yang kita maksud di sini adalah waktu I’tikaf, bukan bertapa.

Bulan Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan I’tikaf. Berbulan-bulan lamanya, tenaga dan pikiran kia diporsir untuk kegiatan dakwah dan rutinitas lerja sehari-hari. Sekarang tibalah saatnya untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan dakwah yang sudah kita lakukan. Merenungkan kegiatan sehari-hari yang terus melaju seakan tak mau berhenti, apakah semuanya itu dalam rangka ibadah kepada Allah atau malah menjauhkan kita dari Allah.

Berbulan-bulan lamanya, tenaga dan pikiran kita terkuras untuk berbagai macam aktifitas. Bukankah sekarang tiba saatnya untuk rehat sejenak, mengisi ulang perbendaharaan keilmuan kita, memulihkan stamina dan mengatur strategi kembali, demi kesuksesan dan keberhasilan aktifitas di masa yang akan datang. Pada bulan suci ini, kita bersihkan hati dari berbagai macam kotoran yang bisa merusak atau melumpuhkan motor tujuan hidup yang sejati, kita bekali diri dan kita menyusun strategi kembali, dengan melaksanakan I’tikaf beberapa hari.

Dalil Disyari’atkan I’tikaf

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isteri), sedang kamu beri’tikaf.” (QS. Al-Baqarah: 187). Dan beberapa riwayat berikut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. telah menjadikan I’tikaf sebagai ibadah tahunan, yaitu pada waktu memasuki sepuluh hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Begitu juga keluarga dan para shahabatnya. Dan seharusnya kita juga.

Abu Hurairah berkata, “Di setiap bulan Ramadhan, Rasulullah senantiasa beri’tikaf selama sepuluh hari. Dan pada tahun beliau meninggal, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari, no. 1903).

Aisyah berkata: “Bahwasanya Rasulullah senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para isterinya juga beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, no. 1886).

Hukum I’tikaf

lbnul Mundzir berkata: “Para ulama’ sepakat bahwa I’tikaf hukumnya sunnah, tidak diwajibkan bagi manusia kecuali yang mewajibkan diri, dengan bernadzar misalnya”. Lmam Ahmad berkata: “Yang saya ketahui, bahwa tidak seorang pun dari ulama yang tidak mengatakan bahwa I’tikaf hukumnya sunnah”.

lmam Malik berkata: “Kenapa kaum muslimin banyak yang meninggalkan ibadah ini, padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkannya (di bulan Ramadhan)”. lbnu Syihab berkata: “Sikap orang-orang muslim sungguh mengherankan, mereka meninggalkan I’tikaf, padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak hijrah ke Madinah sampai wafatnya”. (Fathul Bari: 4/285).

Syarat-Syarat I’tikaf

  1. Niat, berdasarkan hadits, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Puasa, menurut lmam Malik dan Abu Hanifah. Berdasarkan hadia dari Aisyah, “Barangsiapa beri’tikaf, maka hendaklah ia puasa.” (HR. Abdur Razaq dengan sanad shahih). lbnu Qayryim berkata, “Belum pernah ada keterangan dari Rasulullah, bahwasanya beliau I’tikaf dalam kondisi tidak puasa.” Sedangkan lmam Syafi’i berpendapat: “Puasa bukanlah syarat sahnya I’tikaf”. Berdasarkan hadits, “Sesungguhnya Umar bernadzar untuk I’tikaf semalam, lalu Rasulullah menyuruhnya untuk menepati nadzarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu malam bukanlah waktu puasa, kalau puasa itu menjadi syarat sahnya I’tikaf, tentu Rasulullah menyeru Umar untuk berpuasa dalam I’tikaf malamnya.
  3. Berada di masjid, dengan niat taqarrub kepada Allah dan berdiam diri disitu. lbnu Hajar berkata: “Masjid merupakan syarat sahnya I’tikaf.” (Fathul Bari: 4/277).
  4. Tidak mengumpuli istrinya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isteri), sedang kamu beri’tikaf.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Kriteria Orang Mau Beri’tikaf

Orang yang memenuhi syarat untuk I’tikaf adalah muslim, mukallaf mumayyiz dan berakal (akil baligh), suci dari hadats (jinabat, haidh, nifas).

Tempat Dibolehkannya I’tikaf

Para ulama’ berbeda pendapat seputar Masjid yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tempat I’tikaf:

  1. Tidak boleh I’tikaf kecuali di 3 masjid; Masjidil Haram, Masjidin Nabawi, Masjidil Aqsha. Pendapat ini disampaikan oleh Hudzaifah dan Sa’id bin Musayyib.
  2. Boleh di setiap Masjid. lnilah pendapat lmam Syafi’i, lmam Ahmad, lmam Abu Hanifah, dan lmam Tsauri. Hanya saja lmam Abu Hanifah membolehkan wanita yang beri’tikaf di masjid (mushalla) rumahnya.
  3. Hanya di masjid yang dipakai shalat jum’at. Inilah pendapat lmam Malik. Karena kalau dalam hari-hari I’tikaf itu ada hari Jum’at, maka ia tidak perlu meninggalkan tempat I’tikafnya untuk keluar melaksanakan shalat Jum’at.

Waktu Masuk I’tikaf (Memulainya)

  1. Apabila niat I’tikaf berhari-hari, maka masuk masjidnya sebelum terbenamnya matahari (menurut lmam Malik, lmam Syaf i, lmam Abu Hanifah). Tapi bila hanya sehari, lmam Syafi’i berpendapat: “Masuknya sebelum terbit Fajar dan keluarnya setelah terbenam matahari.”
  2. Masuknya sebelum terbitnya fajar, untuk sehari atau sebulan sama saja (menurut lmam Laits dan lmam Zufar).
  3. Apabila I’tikafnya malam hari, masuknya sebelum terbenamnya matahari. Apabila I’tikafnya siang hari, masuknya sebelum terbitnya Fajar (menurut lmam Abu Tsaur).
  4. Masuknya setelah shalat Shubuh, baik I’tikaf malam atau siang (menurut lmam Auza’i).

Waktu Keluar I’tikaf (Mengakhirinya)

  1. Bagi yang I’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan keluarnya setelah shalat ‘Ied, tapi jika keluar setelah terbenamnya matahari tidak apa-apa (menurut lmam malik). Sedangkan lmam Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat “Waktu keluarnya setelah terbenamnya matahari”.
  2. Bila kembali ke rumah sebelum shalat ‘Ied, maka rusaklah I’tikafnya (menurut lmam Syahnun dan lbnu Majisun).

Ibadah Yang Dianjurkan Dalam I’tikaf

Tidak semua jenis ibadah boleh dilakukan oleh seseorang saat beri’tikaf. Apalagi kalau ibadah tersebut pelaksanaannya harus keluar dari tempat I’tikaf. Lbadah yang dianjurkan adalah, shalat, membaca al-Qur’an, dzikrullah, belajar ilmu (membaca buku-buku islami).

Kegiatan Yang Dibolehkan Dalam I’tikaf

Selain ibadah di atas, ada kegiatan lainnya yang manusiawi dan merupakan kebutuhan manusia, dan itu tetap dibolehkan dan tidak membatalkan I’tikaf. Keluar untuk buang hajat, seperti buang air besar atau kecil. Menyisir rambut atau merapikannya. Memakai wewangian, mandi, mencuci baju atau memotong rambut atau kuku. Membawa kasur atau bantal.

Kegiatan Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada udzur yang dibolehkan. Murtad. Gila, karena akalnya tidak berfungsi, begitu juga mabuk. Haidh dan Nifas. Bersetubuh dengan isterinya.

I’tikafnya Seorang Wanita

Wanita diperbolehkan I’tikaf, berdasarkan riwayat, “Bahwasanya Rasulullah senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga wafat, kemudian para isterinya juga beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari). Pada dasarnya I’tikaf wanita sama dengan I’tikaf laki-laki, hanya saja perlu diperhatikan rambu-rambu berikut ini:

  1. lzin ke suaminya, bila wanita tersebut sudah bersuami.
  2. Wanita lebih utama kalau I’tikaf di masjid rumahnya (menurut Abu Hanifah). Kalau di masjid umum, diutamakan yang tempatnya paling dekat dengan rumahnya, dan ada tempat khusus perempuan.
  3. Jika dia haidh atau nifas, maka otomatis I’tikafnya batal. Dan boleh baginya untuk melanjutkan lagi jika sudah suci.
  4. Hendaklah tidak sendirian, tapi ada wanita lain yang menemaninya.

Keutamaan I’tikaf

Tidak ada satu riwayat pun yang shahih dan menjelaskan secara langsung tentang keutamaan khusus bagi orang yang I’tikaf. Tapi ada hadits qudsi yang menjelaskan, “Apabila hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu ba’. Apabila ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagi saudara-saudari kita yang tidak bisa melaksanakan I’tikaf Ramadhan 10 hari penuh, karena masih kerja atau tugas lainnya, maka bisa iuga melakukan I’tikaf di malam hari saja. Atau beberapa hari di penghujung Ramadhan. hal itu akan lebih baik, daripada tidak sama sekali. Walaupun yang 10 hari lebih utama. Ya Allah terimalah ibadah kami di bulan suci ini, termasuk I’tikaf kami. Wallahu A’lam.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah

Sumber : Majalah Ghoib Edisi 72/4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN