Saatnya Hijrah dari Syirik Menuju Iman

Kalender kita  sebenarnya adalah kalender hijriyyah. Hanya sayangnya, kalender tersebut sudah ditinggalkan negeri muslim ini. Bahkan banyak di antara kita yang sudah tidak hafal lagi urutan nama-nama bulannya.

Dari penamaannya, kita tahu bahwa sejarah penentuan penanggalan dalam Islam dimulai di zaman Umar. Ketika banyak surat dari para raja dan penguasa. Dan diberitahukan bahwa para raja dan penguasa tersebut terbiasa menggunakan tanggal untuk surat menyurat mereka. Maka Umar pun bermusyawarah untuk menentukan penanggalan dalam Islam. Dan diambillah hitungan. tahunnya dimulai dari hijrah Rasulullah ke Madinah. Sehingga dinamakan tahun hijriyyah.

Pilihan Umar sangat tepat. Peristiwa hijrah adalah peristiwa fenomenal dalam sejarah Rasulullah dan para shahabat. Di mana nilai-nilai kepahlawanan dan tingkat keimanan diuji. Di mana hijrah adalah titik tolak kebangkitan Islam.

Sejarah hebat berikut kisah-kisah keteladaan agung dalam peristiwa hijrah masih tercatat dalam buku sejarah kita. Dan hijrah ini memang mendapatkan perhatian khusus dalam Islam hingga disebutkan berulang-ulang dalam al-Qur’an.

Kalau dahulu shahabat pernah hijrah dua kali ke Habasyah meninggalkan Mekkah. Kemudian Rasul dan para shahabat yang lain hijrah ke Madinah meninggalkan Mekkah. Dan setelah itu tidak ada lagi hijrah, bukan berarti hijrah telah selesai.

Definisi yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar menunjukkan hal itu, “Makna hijrah secara bahasa adalah attark (meninggalkan). Hijrah kepada sesuatu adalah bepindah kepadanya dari selainnya. Dalam pengertian syariat, hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang Allah.”

Maka, hijrah masih terus berlangsung hingga hari kiamat. Memang sekarang sudah tidak ada lagi hijrah dari Mekkah ke Madinah. Karena keduanya kini dikuasai oleh muslimin.

Hijrah terbagi dua. Pertama, hijrah makaniyyah (hijrah tempat) yaitu meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam. Dan syariat hijrah ini juga masih berlaku bagi negeri yang benar- benar menghalangi muslim untuk melakukan ibadah wajib. Ketika tidak ada pilihan lain, maka hijrah adalah pilihan yang harus dia lakukan. Sebagaimana yang disebutkan dalam al- Qur’an, “Sesungguhnya orang orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang- orang yang tertindas di negeri (Mekkah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-  orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa: 97).

Kisah orang-orang yang tidak mau meninggalkan negeri syirik, disebutkan bahwa mereka yang tidak mau hijrah padahal sanggup untuk melakukannya. Kemudian mereka ditindas di Mekkah dan dipaksa orang-orang kafir Mekkah untuk ikut perang Badar dan akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh di peperangan itu.

Hijrah makaniyyah ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar sebagai berikut, “Dalam Islam hijrah pernah terjadi dalam dua bentuk. Pertama, berpindah dari negeri menakutkan kepada negeri yang aman sebagaimana dalam dua hijrah para shahabat ke negeri Habasyah. dan permulaan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Kedua, berpindah dari negeri kufur kepada negeri iman. Hal itu terjadi setelah Nabi menetap di Madinah, maka muslimin yang belum hijrah berpindah ke Madinah.

Dahulu, hijrah khusus berpindah ke Madinah sampai ketika Mekkah sudah terbuka, kekhususan itu telah berakhir dan tersisa. Makna umum dari hijrah yaitu berpindah dari negeri kafir bagi yang mampu.” (Fathul Bari 1/16)

Kedua, hijrah qalbiyyah/ maknawiyyah (hijrah hati/ maknawi). Dia tidak berpindah secara fisik. Tidak pergi meninggalkan tempat tinggalnya hari ini. Tetapi berpindah secara hati. Beningkan hati. Hingga kebeningannya memancarkan cahaya menembus diri, terbukti dalam kegigihannya mengikis syirik dan kemaksiatan serta terpancar dalam bentuk amal yang benar dan ikhlas.

Kesyirikan sudah sangat mengkhawatirkan dan mungkin kita pernah terjerumus ke dalamnya. Kemaksiatan lainnya juga sudah mengenaskan dan mungkin kita pernah melakukannya. Jimat, perdukunan, ramal-meramal nasib, tahayyul, khurafat, zina, pergaulan bebas, meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, riba, menipu, dusta, korupsi, mencuri, merampas hak orang lain, menyakiti hati keluarga dan tetangga serta kemaksiatan lainnya, satu di antaranya mungkin pernah kita lakukan atau bahkan masih ada dalam diri kita. Dan kini saatnya kita berhijrah.

Hijrah maknawiyyah dijelaskan dalam tafsir fi dzilalil qur’an, “Perintah hijrah tetap ada hingga Mekkah ditaklukkan.. Dan hijrah ditiadakan setelah Mekkah ditaklukkan, yang tersisa adalah jihad dan amal sebagaimana sabda Rasulullah. Hanya saja, hal tersebut terjadi pada generasi Islam pertama yang memerintah bumi selama seribu dua ratu tahun kira-kira, di marsyariat Islam tidak terputus, kepemimpinan Islam berdiri atas syariat Islam.

Adapun hari ini bumi kembali menjadi jahiliyyah dan hukum Allah hilang dari kehidupan manusia di atas bumi, kekuasaan kembali ke tangan para taghut di seluruh bumi dan manusia kembali masuk dalam ibadah kepada makhluk setelah. Dia mengeluarkan mereka darinya kepada Islam. Sekarang dimulai lagi perjalanan baru yang lain bagi Islam, seperti perjalanan Islam pertama dengan mengambil aturan dalam fase-fase hukumnya hingga berakhir nantinya kepada berdirinya negeri Islam dan hijrah, kemudian teduhan Islam kembali lagi dengan izin Allah.”

Hijrah mempunyal sisi-sisi perjuangan yang pastinya sulit. Tetapi buat kita tidak ada pilihan lain kecuali segera mendengarkan perintah Allah, “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. adz- Dzariyat: 50)

Dan kemudian mati dalam keadaan muslim yang telah hijrah dan istiqamah.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN