Saatnya Mengambil Ibrah (Pelajaran)

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang memfungsikan akal mereka. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf: 111)

Kehidupan ini terus berselang silih berganti antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya. Rentetan peristiwa tersebut bukan suatu kebetulan atau tanpa pelajaran yang semestinya terus senantiasa digali dan diambil hikmahnya. Sungguh sangat merugi, jika kita tidak mampu mengambil pelajaran dari setiap kejadian atau peristiwa yang menyertai kehidupan ini. Karena itulah hakikat kehidupan bagi orang yang beriman.

Al-Qur’an -tak terkecuali- sebagai sebuah kitab kehidupan, sarat dengan kisah yang memuat berbagai ibrah yang sangat berguna bagi kelangsungan dan kebaikan hidup manusia selanjutnya. Bahkan  muatan al-Qur’an tentang kisah justru merupakan pembahasan yang dominan dari ayat-ayatnya. Tidak kurang dari tiga perempat al-Qur’an adalah berbicara tentang kisah. Dan tentunya, kisah-kisah al-Qur’an sangat istimewa karena mengandung banyak hikmah dan pelajaran. Seperti yang ditegaskan dalam surah Yusuf ayat 111 di atas.

Ayat tersebut merupakan ayat terakhir dari surah Yusuf. Surah yang dinamakan dengan nama salah seorang utusan Allah dan khusus untuk mengabadikan kisah perjalanan seorang nabiyullah Yusuf AS bersama saudara dan keluarganya memang surah yang istimewa, karena khusus memuat kisah seorang nabiyullah dengan sangat rinci, semenjak kecil hingga menjadi raja di Mesir. Hanya kisah nabi Yusuf yang terdapat dalam satu surah secara lengkap, tidak tersebar dalam beberapa surah seperti kebiasaan kisah nabi-nabi yang lain. Sehingga memang tepat surah ini ditutup dengan ungkapan “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang memfungsikan akal mereka”.

lmam al-Qurthubi memahami kata “ibrah” dalam ayat tersebut dalam arti yang luas, bukan terbatas pada pelajaran, tetapi lebih dari itu sebagai sebuah bahan pemikiran, bahan peringatan dan tentunya pelajaran yang sangat berharga. Bukan sekedar dongeng pengantar tidur atau pengantar penyampaian materi pelajaran. Dan itulah kisah surah Yusuf yang sarat dengan hikmah dan pelajaran bagi generasi mendatang.

Dalam konteks ay at-ayat yang berbicara tentang ibrah, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Qur’an mencatat sedikitnya tujuh ayat yang berbicara tentang ibrah dengan beragam titik tolak yang harus dijadikan ibrah; Surah Ali lmran: 13, an-Nahl: 66 dan al-Mu’minun: 21 dengan redaksi yang sama, Yusuf: 111, An-Nur: 44, al-Hasyr: 2, dan surah an-Nazi’at: 26.

Surah Ali lmran ayat l3 misalnya, Allah mengajak kita memahami ibrah yang bernilai yang terdapat pada pertolongan Allah bagi para pasukan Badar dan tentunya bagi hamba-hamba-Nya yang senantiasa berjuang di jalan-Nya, bahwa “Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS. Ali lmran: 13). Tentu, ibrah ini akan sangat terasa manakala kita mengalami kondisi seperti yang dialami oleh pasukan muslim dalam perang pertama dalam sejarah lslam, yaitu perang Badar. lnilah arti pentingnya “Wahuwa syahid” dan ia hadir menyaksikan secara langsung perostiwa tersebut.

Dengan redaksi yang sama yang terdapat dalam surah an-Nahl: 66 dan al-Mu’minun: 21. “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu”. Allah mengarahkan kita justru untuk mengamati perjalanan kehidupan binatang ternak yang ternyata memuat banyak ibrah tentang kemahabesaran Allah. Betapa pada kehidupan binatang ternak juga terdapat pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia, dan kita diajak untuk banyak mengambil ibrah dari mereka.

Pada alam semesta yang Allah ciptakan, juga terdapat pelajaran yang cukup berharga sehingga kita kembali diingatkan untuk mengambil pelajaran dari perjalanan alam semesta, seperti pergantian malam dan siang yang Allah tegaskan dalam firman-Nya, “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang orang-orang yang mempunyai penglihatan”. (QS. An-Nur: 44). Betapa masih banyak detik-detik perjalanan alam semesta yang berlalu tanpa kita sempat mengambil ibrah darinya.

Berbeda dengan lima ayat sebelumnya, dalam surah al-Hasyr ayat kedua ini Allah menggunakan bentuk perintah, “Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasyr: 2). Karena sikap selalu waspada terhadap musuh merupakan ciri mukmin yang memiliki kepedulian terhadap nasib umatnya dan Allah menghendaki kebaikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih sehingga ajakan mengambil ibrah dalam ayat ini tampil dalam bentuk perintah yang jelas.

Sedangkan pada ayat terakhir yang berbicara tentamg ilbrah berdasarkan susunan mushaf al-Qur’an yaitu surah an-Nazi’at: 26 “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut kepada Tuhannya)”, Allah menggambarkan cirri orang yang bisa mengambil ibrah dari semua peristiwa yang terjadi. Bahwa hanya mereka yang takut  akan Allah yang selalu siap mengambil dan menerima ibrah (pelajaran) dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun demi kebaikan kehidupan mereka di masa mendatang. Mereka menjadikan ibrah itu sebagai batu pijakan dan landasan untuk mengambil sikap, keputusan dan tindakan yang tepat.

Selain dari kata “ibrah”, dalam rangka mengajak manusia mengamat i ayat-ayatnya, seringkali al-Qur’an menggunakan istilah dan redaksi yang beraneka ragam yang merupakan sunnatul Qur’an dalam uraian dan pembahasannya, termasuk tentang ibrah. Kadang al-Qur’an menggunakan isti lah dzikra yang semakna dengan ibrah. Dan ini disetujui oleh lbnu Katsir dalam penafsiran beIiau terhadap ayat  yang menggunakan kata dzikra, seperti dalam ayat, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaaf: 37).

Bagi lbnu Katsir, ibrah dari segala yang terjadi di pentas dunia ini hanya bisa digali dan dicerna oleh mereka yang memiliki hati yang senantiasa terjaga dan pendengaran yang baik, serta menghadirkan diri bersama peristiwa tersebut, tidak bagi mereka yang tidak perduli dan masa bodoh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Selanjutnya Yahya bin Mu’adz membagikan keadaan hati manusia kepada dua keadaan; hati yang selalu disibukkan dengan urusan dunia, sehingga apabila datang kepadanya salah satu dari urusan akhirat, ia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dan hati yang selalu disibukkan dengan urusan akhirat, sehingga jika datang kepadanya sarah satu dari urusan dunia, ia pun tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya karena hatinya sudah terbang di kehidupan akhirat. Betapa hati kita memiliki kecenderungan dan perhatian tersendiri yang harus selalu ditita agar tetap mampu mengambil ibrah sebanyak-banyaknya.

Demikian banyak peristiwa dan kejadian di hadapan kita yang terkadang terlepas dari pengamatan dan kepedulian kita, sehingga akibatnya bisa jadi kita terperosok ke daram rubang kekalahan dan kesalahan untuk kesekian kalinya. Sungguh di luar dugaan bahwa kita masih terkungkung dalam keterpurukan, padahal banyak ibrah yang semestinya sudah kita temukan dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam dimensi lokal maupun global. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah

Oleh : DR. Atabik Luthfi, MA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN