Saya orang Pekanbaru asli. Sebagai orang kelahiran sana, saya menamatkan SD, SMP, SMA di Pekanbaru. Sedangkan kuliah, saya mengambil D3 Akademi Perawat di Padang. Setelah tamat saya ingin melanjutkan S1 di Ul Jakarta atau Unpad Bandung. Ujian masuk FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan) Unpad dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan UI. Selesai ujian, saya segera menuju Jakarta untuk mengikuti ujian masuk FIK di Ul Salemba Jakarta.
Di Jakarta saya menginap di rumah sepupu saya di kompleks Taman Mini, Jakarta Timur. Rumahnya tidak luas. Kamar yang saya tempati berukuran 3×2 M. Tempat tidurnya ukuran single. Di kamar itu ada satu lemari, satu meja belajar, jendela menghadap ke jalan dan tempat tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur bersama teman saya dari Padang yang juga akan ikut ujian di Ul pada fakultas yang sama. Karena tempat tidurnya sempit, maka kami tidur saling miring.
Sementara di ruang depan, empat saudara laki-laki saya asyik menunggu jadwal pertandingan final piala dunia 1998 antara Brazil dan Prancis yang bertepatan dengan malam Sabtu, di mana keesokan harinya saya harus mengikuti tes UMPTN/SPMB.
Sebelum tidur, saya sempat berdoa agar bisa bangun malam untuk shalat tahajjud dan berdoa.
Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dulu lah…” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya. Dia bicara, “Katanya mau shalat….?”
“lya, mau shalat.”
“Tapi mengapa dibangunkan tidak bangun-bangun?”
“lya, ini saya mau shalat.” “Ya udah, shalat yah!”
“lya”
Setelah dialog itu, dia berbalik dan menembus dinding. Melihat kejadian itu, saya baru merasakan ketakutan dan berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan saya ternyata mengejutkan saudara-saudara saya yang sedang menonton di ruang keluarga yang ada di samping kamar saya. Teman di samping saya juga langsung terbangun. Saya lari keluar kamar. Di pintu berpapasan dengan sepupu saya yang mendobrak pintu, “Ada apa?” Saya jawab. “Saya lihat haantuuu….Sssa… saya sempat ngobrol sama dia,” kata saya terengah-engah.
Jawaban saya dijawab dengan tawa saudara-saudara yang lain. “Kok, lihat hantu bisa bicara?”
Sepupu saya yang masih berdiri di pintu marah mendengar saya jadi bahan tertawaan. Katanya, “Di sini memang ada hantunya. Biasanya dia datang kepada tamu yang baru. Tapi biasanya yang datang yang baik-baik.”
Akhirnya kakak-kakak lain nampak lebih serius dan bertanya, “Memang dia suruh kamu apa?”
“Suruh shalat,” kata saya.
“Tuh kan, benar. Dia baik,” timpal sepupu saya lagi.
Teman saya yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan saya dengan sepupu saya justru jadi ketakutan.
Sabtu pagi itu, saya harus berjuang untuk tes masuk FIK di Ul. Pada hari Minggu saya berangkat lagi ke Bandung.
Pengumuman tes menyatakan bahwa saya lulus di dua universitas Unpad dan Ul. Hanya saja saya memilih Unpad karena orangtua melarang saya tinggal di Jakarta, mengingat tahun 1998 adalah tahun kerusuhan lengsernya presiden.
Di Bandung, saya tinggal di Cikutra dekat dengan taman makam pahlawan. Saya tinggal di rumah yang berada di dalam gang yang tidak bisa masuk mobil. Untuk mencapai rumah, jalannya naik. Tetapi rumah itu sangat luas. Halamannya lebar dan pohon-pohonnya besar ada pohon jambu air, bunga sedap malam bahkan kandang kelinci pun ada. Tetapi rumah tersebut terkesan pengap karena sinar matahari tidak bisa menembus daun dan ranting pohon yang besar. Di depannya ada masjid.
Rumah itu terdiri dari dua lantai. Rumah itu sengaja disediakan untuk dijadikan kos-kosan. Ibu kosnya juga tinggal di rumah itu. Saya tinggal di kamar utama yang sangat luas di lantai bawah. Sementara di lantai atas ada 8 mahasiswa laki yang tinggal, termasuk kakak ipar saya.
Bulan itu adalah bulan Agustus. Malam pertama saya tinggal di rumah itu saya lalu biasa saja. Pada malam kedua. makhluk botak yang pernah saya lihat di Jakarta datang lagi. Setelah itu, kemunculannya terhitung sangat sering. Setiap saya berdoa sebelum tidur untuk bisa bangun di malam hari, dia selalu muncul. Padahal dalam satu minggu saya bisa empat kali berdoa untuk bisa bangun malam. Maka setiap itu pula dia muncul dengan wajah dan penampilan persis seperti kemunculannya yang pertama.
Tetapi ada sedikit perbedaan pesan makhluk itu. Sejak saya tinggal di Bandung, pesan makhluk itu ditambah. “Dena, kamu pakai jilbab! Ingat kan kamu dilihatin orang waktu naik angkot di Padang. Ingat kan, waktu kamu ujian di Bandung, orang-orang ingin nyubitin kamu. Sudah saatnya kamu menutup aurat!”
Saya sangat takut. Akhirnya saya menulis surat untuk ibu di Pekanbaru. Saya sampaikan bahwa saya melihat makhluk aneh. Saking takutnya saya mengirim surat dengan isi yang sama dua kali seminggu dalam rentang sebulan. Akhirnya ibu menelepon langsung menanyakan keadaaan saya. Ibu sempat bertanya bagaimana bentuk makhluk itu. Beliau menasehati saya agar berpikir yang matang, agar tidak memakai jilbab hanya karena menuruti pesan makhluk itu. Ibu hanya berkata mungkin saya tidak pernah mengaji atau lupa berdoa sebelum tidur. Selain itu, ibu juga mengirim surat dalam amplop coklat yang berisi doa-doa untuk melindungi saya. Yang saya ingat, doa perlindungan itu berupa bacaan surat al-Insyirah sebanyak 40 kali dan kalau shalat tahajud baca surat al-Kafirun pada rakaat pertama serta al-Ikhlas pada rakaat kedua. Saya menurut nasehat itu, tetapi tetap saja makhluk itu datang.
Karena makhluk itu selalu berpesan sama dan mengingatkan saya pada dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa itu. Memang, saat saya di Padang ada KKN Di angkot, saya mermakai baju putih pendek dan rok putih pendek. Saya sempat mendengar omongan orang-orang di angkot melihat saya dalam bahasa Minang yang kalau di Indonesiakan, “Anak itu putih banget, kayak ubi.”
Adapun ketika masuk ruangan ujian di Unpad Bandung, waktu itu saya memakai celana panjang dengan baju lengan pendek warna hijau yang sampai sekarang masih saya simpan. Selesal ujian, teman-teman berkata, “Dena, besok-besok kamu pakai lengan panjanglah, orang-orang pada lihatin lengan kamu yang sangat putih dan pinginnya nyubit aja”
Kegelisahan dan ketakutan saya semakin bertambah. Tidak hanya menulis surat ke Pekanbaru, saya kali ini langsung menelepon ibu di rumah. Akhirnya karena saya sering mengirim surat dan menelepon ke rumah, orangtua di rumah menjadi gelisah juga.
Suasana rumah yang seperti itu membuat saya tidak betah. Hanya sekitar dua bulan saya tinggal di rumah itu, untuk kemudian pindah rumah ke Cileunyi. Saya tinggal di rumah itu, bersama kakak saya yang juga kuliah di Bandung. Setelah tiga bulan tinggal di rumah itu saya mulai memakai jilbab. Tentu saja saya memakai jilbab bukan karena perintah makhluk itu. Saya sudah berniat memakai jilbab sejak aktif di pengajian SMA. Tetapi untuk memakai jilbab, saya perlu perjuangan yang tidak ringan. Karena semua kakak-kakak saya yang laki-laki melarang untuk memakai Jilbab. Katanya saya masih kecil. Tetapi ibu mendukung jilbab saya, Ibu hanya bilang bahwa saya boleh pakai jilbab dengan syarat tidak dilepas lagi. Saya ingat, waktu itu bulan Maret 1999 ketika saya pertama masuk ke rumah sakit Hasan Sadikin untuk angkat sumpah sebagai perawat yang biasa dilakukan pertama kali bertugas di rumah sakit. Saya langsung memesan pakaian dinas rumah sakit lengan panjang lengkap dengan jilbabnya. Itulah awal saya memakai jilbab setelah mendapatkan dukungan surat dari ibu. Saya sengaja menyimpannya, agar ketika kelak kakak-kakak komplain saya punya kekuatan dengan surat ibu itu. Tapi justru setelah saya memutuskan memakai jilbab, kakak-kakak ipar saya dan empat saudara kandung saya yang perempuan semuanya pakai jilbab. Rentang mereka memakai jilbab pun hanya tiga bulan setelah saya memakainya. Dakwah saya waktu itu hanya dengan mengirim foto kepada kakak- kakak.
Tetapi, ketika saya bercerita tentang yang sering saya lihat kepada kakak yang tinggal serumah, dia malah menertawakan saya. “Sudah pakai jilbab kok masih ketemu yang begituan.”
Setelah itu, saya merasa semakin ketakutan, karena tidak ada yang mau percaya cerita saya. Hanya ibu yang mau merespon cerita saya. Ketakutan saya berpengaruh pada kuliah saya. Pada semester pertama, nilai saya anjlok banget bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus. Semenjak itu, kakak saya mulai percaya dan memperhatikan saya. Tetapi dia hanya bisa menasehati agar saya memberitahukan masalah ini ke keluarga di Pekanbaru.
Setelah saya memakai jilbab, makhluk itu tidak datang lagi. Saya tetap shalat malam tetapi tanpa dibangunkan oleh makhluk itu. Hal itu berjalan hingga satu setengah bulan. Pada suatu malam makhluk itu muncul lagi. Kali ini, dia mengucapkan kata perpisahan. “Beginilah kamu dan yang berhak melihat kamu nanti adalah suami kamu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia membalikkan badan dan pergi menembus dinding. Entah mengapa, saya menangis sampai terisak-isak. Sebenarnya tidak ada perasaan tertentu. Saya juga tidak paham mengapa saya menangis.
Kepergian Makhluk Tinggalkan Sakit Luar Biasa Pada Kaki
Kepergian makhluk itu. meninggalkan sakit yang luar biasa di kaki. Sebenarnya saya telah merasakan sakit kaki ini sejak pertama melihat makhluk itu. Hanya saja sakit yang luar biasa terasa ketika saya mulai tinggal di rumah baru di Cileunyi. Kalau sakit itu muncul, saya tidak bisa mengetahui persis di mana letak sakitnya. Yang jelas rasa sakit itu ada di sekitar lutut sampai pertengahan betis. Rasanya seperti lumpuh dan sakitnya tak tertahankan. Kaki ini seperti ditusuk-tusuk. Kedua kaki saya tidak bisa digerakkan. Saya selalu menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa. Biasanya sakit itu berlangsung sampai setengah jam. Bukan hanya itu, kalau digerakkan tulang kaki saya berbunyi seperti bunyi kerupuk dimakan.
Rasa sakit itu datang kapan saja. Saat saya di rumah, di kampus, di rumah teman atau sedang tugas di rumah sakit. Kalau di rumah saya bisa langsung masuk kamar. Yang susah, kalau kambuhnya di dalam kelas. Saya langsung izin untuk meninggalkan kelas dan lari ke kamar mandi. Di kamar mandi saya menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua kali saya mengalami sakit itu di kampus. Pernah juga rasa sakit itu datang saat saya berada di rumah teman di daerah sekitar Sumedang. Teman saya bingung, saya hanya menjawab mungkin kekurangan kalsium.
Semester kedua, saya sempat pingsan di kampus. Saat itu dalam penglihatan saya, ibu dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas dalam posisi terbalik, kakinya di atas dan kepalanya di bawah. Karena dosen saya dalam posisi terbalik seperti itu, saya pun beberapa kali memiringkan kepala untuk mengimbanginya. Teman saya dari Aceh bertanya, “Ada apa Den? Saya jawab, “Tahu tuh ibu, kebalik-balik.” Mendengar jawaban saya, dia melihat saya keheranan, “Ini anak sadar nggak sih?” Hanya itu yang bisa saya ingat dan setelah itu saya tidak sadarkan diri.
Saya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut analisa dokter saya mengidap penyakit Hipokalsemia (Kekurangan kadar kalsium dalam darah), waktu itu kadar kalsium saya memang rendah, hanya 3,8 mgr/dl padahal normalnya adalah 11 mgr/dl. Saya sempat memberitahukan dokter tentang nyeri yang luar biasa pada kaki saya. “Oh iya pantas, kamu ini kekurangan kalsium.” Kemudian dokter memberikan suntikan kalsium. Reaksianya cepat terlihat. Kalsium saya tinggi kembali. Tapi anehnya, kaki saya tetap sakit padahal kalsiumnya sudah normal kembali.
Yang sulit buat saya adalah tidak ada tempat bercerita. Hanya teman akrab saya yang dulu bersama-sama ujian masuk ke Ul dan dia diterima di Ul. Kita sering telepon. Hanya saja Allah cepat memanggilnya. Dia sakit penyumbatan pada pembuluh darah. Saya tidak mau bercerita tentang penyakit saya kepada orang lain. Takut dikatakan penyakitan.
Setelah pemeriksaan dokter itu, saya tidak puas. Dua bulan Setelah itu, saya memutuskan untuk general check up di sebuah klinik didaerah Cibiru. Ternyata hasilnya normal. Akhirnya saya hanya bisa pasrah dengan sakit di kaki saya ini. Saat saya KKN di daerah Majalengka rasa sakit di kaki sering kambuh. Kemudian saya minta pindah dan mendapatkan daerah di Sumedang. Sakit kaki saya terus berlanjut. Saya hanya bisa pasrah.
Sampai akhirnya saya lulus bulan November tahun 2000. Pada bulan Desember, saya kembali ke Pekanbaru. Kakak nomor dua yang tinggal di Batam mengajak saya jalan-jalan liburan ke Cina, Hongkong. Thailand dan Malaysia. Tetapi saya tidak menikmati sama sekali perjalanan itu, karena rasa sakit di kaki yang luar biasa. Saya tidak menceritakannya kepada kakak. Kalau sakit itu datang, saya hanya meringis untuk menahan agar jangan sampai menangis. Saya tidak ingin mengecewakan kakak yang telah mengajak saya. Dari foto-foto perjalanan bisa dilihat dari wajah saya, betapa saya menahan rasa sakit.
Pertengahan Januari saya sudah sampai Indonesia lagi. Seminggu setelahnya, kakak yang nomor enam menikah. Saat kakak melangsungkan akad nikah, rasa sakit pada kaki kembali kambuh. Tadinya saya pikir ini karena kecapekan. Saya memang baru sehari ini sampai. Ibu yang mengetahui sakit saya, tidak terlalu khawatir. Dan penyakit itu pergi dengan sendirinya.
Awal Februari, saya dipanggil interview untuk kerja di Akper Muhammadiyah. Sepulang dari interview, saya kembali kesakitan. Ibu berkata. “Paling kamu terlalu lama duduk dan menunggu, apalagi kamu nyetir mobil sendiri.” Saya pun tidak berobat dan tidak ke dokter lagi karena sudah hopeless.
Alhamdulillah saya diterima sebagai tenaga pengajar. Kambuh pertama setelah bekerja terjadi pada bulan Mei. Sakit yang sangat luar biasa sampai saya tidak bisa masuk kerja. Saya hanya bisa menangis dan menangis. Saat Itulah ibu baru ngeh bahwa ada sesuatu pada diri saya. Abang-abang menyarankan agar saya dibawa ke rumah sakit untuk rontgen. Tapi ternyata hasilnya bagus.
Sampai akhirnya, teman kerja saya di Akper bercerita bahwa dia punya kenalan yang pernah berobat ke orang pintar di daerah Bangkinang. Orang itu menyebutnya Pak Haji dan masih berumur sekitar 35 tahun. Dan saya pun diajak untuk sekedar melihat praktik Pak Haji.
Sesampainya di tempat praktiknya, saya melihat antrian orang. Metode pengobatannya dengan cara menggigit bagian yang sakit dari tubuh. Jika ada kanker rahim misalnya maka perut pasien itu digigit dan dari mulut si orang pintar itu keluar bongkahan-bongkahan daging.
Ketika dia melihat saya, dia langsung bilang. “Kamu harus digigit kakinya, tapi harus izin orangtua dulu.” “Nggaak…!” teriak saya. Saya ketakutan melihat pemandangan pengobatan yang langsung saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada orang yang katanya terkena pelet, digigit lehernya dan keluar paku. Terus digigit punggungnya keluar ulat. “Saya nggak sakit Pak Haji.” kata saya sambil menghindar keluar dari ruangan.
Sesampainya di rumah. saya ceritakan pengalaman seharian itu kepada ibu. Ibu langsung marah. Akhirnya saya pergi ke abang yang ke tiga. “Nantilah kita lihat kebenarannya,” kata abang Abang saya selanjutnya mencari berita tentang Pak Haji itu. Dia pun mendapatkan berita dari temannya. Katanya kepada saya, “Dena, Pak Haji itu punya jin, dan yang keluar dari mulutnya itu buatan jinnya.” “Berarti nggak benar ya, Bang?” “Nggak.”
Teman abang saya itu menyarankan agar saya pergi ke tempat lain saja yang katanya bebas dari jin dan sesuai dengan Islam. Orang yang akan didatangi itu kerjaan sehari-harinya sebagai tukang parkir di pasar. Malam itu, abang musyawarah dengan ibu dan bapak. “Ya udah, coba aja,” kata bapak memberi izin.
Akhirnya kami pergi bertiga, saya, ibu dan abang. Selepas Maghrib, kami berangkat. Perjalanan cukup jauh. Baru kira-kira pada pukul 20.00 kita sampai di rumah orang itu. Tampak sangat sederhana. Seorang bapak keluar dengan badan agak kurus memakai celana panjang dan hanya menggunakan kaos. Kami dipersilakan masuk. Begitu masuk rumahnya, bapak itu bertanya-tanya tentang maksud kedatangan kami. Abang yang menceritakan kasus saya. “Ya, kita coba yah. Saya tidak mengobati, tetapi semuanya tergantung yang di atas.”
Dia kemudian masuk ke dapur. Tidak lama kemudian keluar sambil membawa sebuah piring dan batu yang diletakkan di atas piring. Mulutnya komat-kamit. Saya hanya mendengar basmallah dan al-Fatihah. Selanjutnya dia berkomat-kamit tanpa bisa saya dengar. Matanya menatap tajam batu itu sambil berkata, “Dena, kamu dulu pernah tinggal di sebuah tempat yang di depannya adai sungai, kebun di belakang. Rumahnya berbentuk panggung dan bertingkat.” Saya memang pernah tinggal di tempat seperti itu pada saat KKN di Padang tahun 1997. Selanjutnya dia menjelaskan, “Kaki Dena ini sakit karena pernah melangkahi kuburan dan jinnya marah.” Saya kembali mengulang kembali saat-saat itu dan teringat bahwa saya pernah kesurupan waktu itu. Ketika itu saya disembuhkan oleh seorang nenek.
Ibu yang sedari tadi hanya mendengar mulai muncul kekhawatirannya, “Terus bagaimana ini Pak?” “Ya, kita obati.” Dia memberikan resep agar kita membuatnya sendiri dari tawas, jahe dan timun suri. Timun suri diparut dan dicampur dengan tawas serta jahe yang telah dihancurkan. Setelah diperas kemudian dibalurkan di kaki pada malam hari. Semua itu harus dilakukan selama empat puluh hari setiap malam. Seminggu pertama, sempat terasa enak. Yang saya rasakan selama dibaluri adalah dingin. Tetapi hari setelahnya rasa sakit itu datang lagi. Ibu pun menelpon tukang parkir itu, “Terusin aja sampai habis empat puluh hari,” nasehatnya.
Empat puluh hari berakhir, dia datang dan menanyakan keadaan saya. Saya jawab saja bahwa penyakitnya tidak berkurang. “Ya udah, kalau gitu saya harus pergi dulu mencari obatnya.” Beberapa hari kemudian dia datang lagi dengan membawa daun-daun kering untuk diseduh dan kemudian diminum. Saya pun melakukannya. Ternyata juga tidak banyak bermanfaat, padahal pengobatan kedua ini juga dilakukan sebanyak empat puluh hari.
Saya mulai bosan. Delapan puluh hari sudah saya tersiksa dengan cara pengobatan seperti itu. Saat itu dia datang menasehati agar saya tidak bosan dan meneruskan proses pengobatan, Dia berbisik kepada ibu, “Sebetulnya, entah bagiamana Dena ini dibuntuti terus oleh dua jin laki dan perempuan…” “Kalau mau sembuh, kita harus tanya apa maunya dua jin itu. Caranya Dena harus bangun malam hari kemudian mengaji sendiri dalam keadaan gelap dan hanya boleh ada lilin untuk baca. Nanti dia hadir dalam ruangan itu.” Saya langsung membayangkan betapa menakutkan dan saya pun menolak. “Ya udah lah Pak, jangan dipaksa kalau tidak mau,” pinta ibu saya. “Tapi kalau begini terus dia nggak akan sembuh. Dua jin itu baik kok,” katanya meyakinkan. Tapi saya tetap bersikukuh untuk tidak melakukannya. Setelah itu saya tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Dalam hati saya hanya berkata, kalau sembuh ya akan sembuh kalau tidak saya pasrah saja.
Jumpa Ruqyah di Australia Selatan
Bulan Juni 2004 saya berangkat ke Adelaide, Australia. Waktu itu musim dingin. Dan kaki saya lagi-lagi tidak bisa digerakkan. Saya periksa kepada seorang dokter asli Australia di Adelaide. Tetapi dia tidak menyarankan saya untuk rontgen dan hanya melakukan pemeriksaan lab saja. Hasil pemeriksaan dinyatakan normal.
Sampai akhirnya Allah pertemukan saya dengan Majalah Ghoib dalam acara seminar dan ruqyah massal. Setelah mengikuti seminar dan dijelaskan tentang perdukunan, saya merasa bersalah. Berarti selama ini saya pernah datang ke dukun. Selanjutnya saya putuskan untuk minta diruqyah karena sampai malam sebelum diruqyah pun kaki saya masih terasa sakit.
Ruqyah dilaksanakan di rumah salah satu mahasiswa Indonesia yang juga sedang mengambil S2. Ketika itu yang diruqyah ada dua orang. Saya dan seorang teman perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan diantar suami, saya menunggu giliran diruqyah. Karena yang pertama diruqyah adalah teman saya itu. Saya menunggu di dalam ruangan itu juga. Tetapi ketika ayat-ayat ruqyah dibacakan untuk teman saya, justru saya yang mulai bereaksi. Ustadz Junaidi akhirnya menangani dua orang sekaligus. Kedua kaki saya tiba-tiba terangkat dengan sendirinya. Saya merasakan panas di sepanjang kaki dan sakit seperti ditusuk-tusuk. Seterusnya, ada yang menjalar di tubuh saya dan rasa sakit tak tertahankan. Sampai saya berguling-guling dua kali dan mau menendang ustadz. Rasa sakit itu menjalar, terus berhenti di pangkal paha dan setiap berhenti terasa sakit. Kemudian berjalan lagi terus dan terus hingga sampai di leher dan saya pun muntah. Saya setengah tidak sadarkan diri. Menurut teman saya, ketika ustadz bertanya, “Ini siapa?” Saya hanya menjawab, “Eh…eeehhh…” Dengan suara yang bukan suara saya.
Setelah muntah itu, kaki saya langsung terasa ringan, alhamdulillah. Hanya saya merasakan badan saya lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan berat.