Pagi itu, di suatu hari senin Ghoib berangkat ke Lembang, kecamatan dengan sembilan gereja. Tepatnya hendak menuju ke Gunung Putri desa Jayagiri. Setelah semalam mendapat informasi bahwa di desa itu dahulu menjadi basis kristenisasi. Sejauh manakah kristen berkembang di sana? Sebaris pertanyaan yang terus membayangi pikiran. Perjalanan Bandung – Lembang memang sangat mengasyikkan. Jalanan sedikit berkelok-kelok dan turun naik. Sementara pemandangan alam pegunungan nan menghijau dengan hamparan perkebunan sesekali berganti dengan deretan pertokoan dan rumah penduduk.
Setelah tiba di perempatan Jayagiri. Kami memutuskan untuk menyusuri desa Jayagiri dengan jalan kaki. Meski saat itu matahari sudah sedikit memanas. Dan terlihat beberapa tukang ojek sedang duduk bergerombol di ujung jalan. Jalanan itu sedikit menanjak. Kanan kiri jalan terlihat beberapa bangunan instansi pemerintah, puskesmas serta rumah-rumah penduduk yang nampak bagus.
Lima ratus meter dari perempatan jalan, terlihat sebuah bangunan yang pagarnya tertutup rapat. Pintu pagar itu terbuat dari kayu. Sementara di dalam tidak nampak adanya kegiatan yang mencolok. Hanya terlihat dua-tiga orang yang sedang berbincang santai. Ini adalah bangunan gereja yang sudah nampak kusam. Gereja itu bagian bawahnya bercat kuning, sedang bagian atasnya berwarna putih. Di samping gereja itu ada rumah yang sudah rusak dan tinggal separuhnya. Sangat kontras dengan mobil mewah yang diparkir di dalam.
Setelah melewati segerombolan tukang ojek yang berada di sebuah pos penjagaan, Majalah Ghoib melewati jalanan setapak yang menurun. Inilah desa Jayagiri. Rumah penduduk yang rata- rata berukuran tiga kali lima meter itu terlihat tidak beraturan. Berhimpitan satu sama lainnya. Banyak dari rumah-rumah itu yang masih terbuat dari anyaman bambu. Dan berlobang Walau tidak sedikit pula yang berdinding tembok. Bila demikian kondisi rumah mereka, tidaklah mengherankan bila salah satu bentuk kristenisasi adalah dengan cara merenovasi rumah mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Aprianto, seorang aktifis jaringan komunikasi anti pemurtadan.
Ketika menuruni jalan menuju perkampungan yang terletak di dataran rendah Majalah Ghoib sempat terkejut saat berbincang dengan seorang ibu penunggu sebuah Villa di Jayagiri, bahwa hampir sebulan sekali villa yang ditungguinya dijadikan sebagai tempat kebaktian sebuah sekolah swasta Kristen dari Jakarta.
Namun, itu bukan berarti bahwa semua kampung di desa Jayagiri telah tercemar kristenisasi. Kampung Babakan, misalnya. Menurut Mukhtar (60) ketua RT 6, tidak satupun warganya yang masuk kristen. Meski tingkat pendidikan mereka rendah. Hanya lulusan SD atau SMP dengan tingkat penghasilan berkisar antara empat ratus hingga satu juta rupiah. Tetapi tidak berarti mereka mau masuk kristen karena iming-iming mendapat kerja. Masih kata Mukhtar, Ketua RW sangat tidak senang bila ada warganya yang kelihatan akrab dengan orang kristen, karena di balik kebaikan mereka seringkali tersimpan maksud tidak baik.
Sebagian besar warganya adalah peternak sapi perah. Seperti saat itu terlihat seorang lelaki tua yang sedang merawat dua ekor sapi perah yang dikandangkan di samping rumahnya. Kandang seluas tiga kali empat meter itu tak berdinding, hanya dipagar dengan dua kayu melintang. Sementara tanahnya nampak sudah disemen. Agar kotoran sapi itu mudah dibersihkan. Sementara. jalan setapak selebar satu meter yang menjadi jalan utama kampung ini juga disemen.
Gerombolan pohon pisang sering dijumpai di antara rumah para warga. Yang halamannya masih berupa tanah yang sedikit berlumpur. Pertanda semalam diguyur hujan dengan derasnya. Sementara disana-sini masih dijumpai pekarangan kosong yang dimanfaatkan warga untuk menanam sayur mayur, Rumah warga tidak semuanya berdampin gan satu sama lain. Karena sesekali terlihat sebuah rumah yang terpencil dari lainnya.
Gunung Putri Dalam Cengkeraman Kristenisasi Sejak 60-an
Warga kampung Babakan, memang tidak ada yang masuk kristen. Tapi hal ini berbeda dengan Gunung Putri, salah satu kampung di daerah pegunungan yang masih masuk wilayah desa Jayagiri. Kristenisasi di kampung ini sudah terjadi sejak tahun 60-an. Seperti yang diungkapkan Adang (65). seorang tokoh masyarakat kampung Gunung Putri.
Berbeda dengan kampung Babakan, Gunung Putri terletak di dataran tinggi. Dibelah oleh jalan raya yang telah beraspal. Walau mata pencaharian mereka sama, sebagai peternak sapi perah dan berladang. Tapi bentuk dan bangunan rumah menunjukkan perbedaan tingkat ekonomi mereka. Rumah yang sebagian besar berdinding tembok itu berdiri lebih teratur. Tanahnya pun sedikit berkerikil, seandainya hujan deras mengguyur, niscaya tidak akan banyak merisaukan mereka.
Di sekitar perkampungan Gunung Putri, terhampar ladang yang ditumbuhi aneka palawija, sayur mayur dan jagung yang sudah layak untuk direbus. Semua itu mempermudah penduduk mencari rumput untuk pakan ternak mereka. Saat istirahat di pinggir jalan, Majalah Ghoib berpapasan dengan seorang ibu usia tiga puluhan sedang menggendong rumput. Rumput itu diletakkan di punggungnya, dengan sabit tergenggam erat di tangan kirinya. la berjalan sedikit membungkuk, dengan guratan wajah memancarkan keletihan.
Bila seseorang berdiri di ketinggian pada sisi jalan yang agak terjal, ia akan melihat deretan rumah-rumah penduduk yang kelihatan kecil. Terlebih bila yang terlihat itu adalah orang yang sedang lewat di jalan. Pemandangan alamnya pun tidak kalah menariknya. Sepanjang mata memandang terhampar warna hijau dedaunan yang menyejukkan mata. Sementara nun jauh disana terlihat puncak pegunungan tinggi menjulang menantang langit Berhias dengan awan putih.
Disini, di Gunung Putri RT 03/10 tersebar sepuluh keluarga yang pindah agama. Peristiwanya terjadi sejak tahun enam puluhan. Bila satu keluarga rata-rata beranak empat, tentu jumlah orang yang masuk kristen mencapai enam puluh jiwa. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Apalagi bila setiap keluarga itu terus berkembang. Maka seharusnya jumlah mereka sekarang lebih dari seratus jiwa.
Keberhasilan kristenisasi di gunung Putri tidak terlepas dari kejelian dan kepandaian mereka dalam mencari siapa yang lebih layak untuk dikristenkan. Saat itu, mereka memperhatikan bahwa keluarga seorang ajeungan (kyai), ternyata masuk dalam hitungan kurang mampu. Dan secara kebetulan anak dari ajeungan tadi tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Akhirnya orang-orang kristen itu mengangkatnya menjadi pekerja di tempat mereka. Bukan hanya itu, anaknya yang masih muda juga dipenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Awalnya, pemuda itu masih bisa melaksanakan shalat ketika tiba waktu Dzuhur atau Ashar. Tapi lama kelamaan dia harus menentukan pilihan masuk kristen dan dipenuhi kebutuhan keluarganya, atau tetap dalam keislamannya dan dikeluarkan dari tempat kerja.
Si pemuda akhirnya rela berganti agama. Masuk kristennya si pemuda anak ajeungan tadi, akhirnya menarik minat beberapa keluarga yang lain. Dalam benak mereka anak ajeungan saja mau masuk kristen, mengapa kita tidak? Toh kebutuhan hidup kita juga orang-orang kristen yang memenuhi. Bahkan ada di antara mereka yang sempat diberi tanah dan dibuatkan rumah. Begitulah, hingga secara bergelombang banyak yang masuk kristen.
Warga Gunung Putri khususnya patut merasa bersyukur kepada Allah, mereka kedatangan ustadz Tatang, seorang dai lulusan pesantren Cisalengka yang telah berjuang melawan kristenisasi di Gunung Putri sejak tiga belas tahun yang lalu, dimulai tahun 1990. Ustadz Tatang merasakan bahwa lima tahun pertama merupakan masa-masa sulit. Di mana beliau harus berjuang mempertahankan dan membenahi aqidah warga dari serangan kristenisasi.
Sedemikian gencarnya kristenisasi hingga sebelum tahun 1990, orang-orang Kristen telah berencana membangun gereja. Namun, rencana itu mendapat tantangan keras dari masyarakat. Yang diwakili oleh Ustadz Tatang dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Dalam berbagai kesempatan Ustadz Tatang menyadarkan masyarakat. Bahkan ketika khutbah Jumah dia membongkar semua kedok kristenisasi dan apa kerugian yang dialami oleh masyarakat yang mayoritas muslim. Akhirnya masyarakat sadar akan bahaya kristenisasi dan pembangunan gereja itu pun dibatalkan.
Tahun 1990 itu, kesadaran masyarakat untuk berjamaah di masjid juga relatif kecil. Jamaah bapak-bapak hanya lima orang, sementara ibu- ibu hanya tujuh orang. Melihat itu Ustadz Tatang berinisiatif untuk mendatangi warga muslim yang rumahnya berdekatan dengan masjid. Awalnya, hanya sekedar mengobrol kesana kemari. Tapi lama kelamaan warga itu menjadi tertarik dan akhirnya mereka rajin berjamaah di masjid. Alhamdulillah sekarang sudah sekitar 75 % warga Gunung Putri yang rajin shalat berjamaah di masjid.
Perkembangan ini menarik minat seorang dermawan yang bersedia menyumbang pembangunan masjid. Berapapun biayanya. Namun, masyarakat tidak setuju bila masjid itu dibongkar total. Karena dengan demikian mereka merasa tidak punya jasa terhadap pembangunan masjid itu. Akhirnya disepakati bahwa masjid itu hanya direnovasi dengan menelan biaya seratus juta rupiah.
Tantangan yang dihadapi warga Gunung Putri pun tidak sedikit. Sudah bertahun-tahun lamanya, saat kaum muslimin merayakan hari raya Idul Adha dan menyembelih korban, orang-orang Kristen itu tidak mau kalah. Mereka juga menyembelih korban. Hanya saja hewan itu adalah babi dan anjing. Terang saja itu adalah suatu penghinaan bagi kaum muslimin. Namun, ketika salah seorang warga mencoba mempertanyakannya kepada orang kristen, dengan tenang mereka berkilah bahwa semua binatang berkaki empat dalam agama mereka itu halal. Komentar itu pun ditang gapi dengan humor oleh seorang warga, “Pantasan di rumah aki semua tikus habis dimakan,” muka orang Kristen itu langsung merah padam Dan alhamdulillah sejak peristiwa itu, yang terjadi pada tahun 1994, orang kristen tidak lagi menyembelih babi dan anjing pada hari raya Idul Adha.
Perjuangan melawan kristenisasi bukanlah hal yang mudah. Apalagi bila ingin mengislamkan mereka kembali. Tapi berbekal keyakinan yang kuat dan usaha tak kenal lelah jalan solusi itu pun terbuka Itulah kenyataannya. Sebagaimana dituturkan ustadz Tatang, “Untuk menghadapi orang itu Kristen, saya tetap berprinsip bahwa Islam mengedepankan akhlak. Karena itulah setiap kali bertemu dengan mereka saya selalu menegur terlebih dahulu. Bahkan ketika saya menerima undangan tetangga dan kebetulan dia ada di rumah, saya ajak mereka. Kesempatan seperti ini biasanya saya manfaatkan untuk dialog dengan mereka. Alhamdulillah perkembangannya cukup baik. Mereka mau mengakui kesalahan.”
Meski untuk masuk Islam kembali, mereka merasa malu dengan orang Kristen yang dulu membantunya secara materi bertahun-tahun. Kata mereka, “Kalau sekiranya saya tidak malu dengan yang dulu memberi bantuan uang dan kebutuhan lainnya, saya akan masuk Islam kembali.” Walau ada juga yang telah bertekad masuk Islam, namun keburu meninggal dunia sebelum sempat di-Islamkan.
Kristenisasi tidak lagi berkembang. Bahkan anak kandung mereka yang seharusnya menjadi penerus keyakinan Kristen pun akhirnya berubah haluan. Satu persatu mereka masuk Islam. seperti yang diutarakan Aci, ibu muda beranak satu. Saat ditemui Majalah Ghoib di toko kelontongnya. la masuk Islam ketika menikah dengan seorang pemuda pilihannya. Bukan hanya itu, dari kelima saudaranya, tinggal adiknya yang bungsu yang belum masuk Islam. Orangtuanya tidak melarang dia menikah dengan orang Islam dan mengikuti agama suaminya. Walau hingga kini kedua orang tuanya masih tetap Kristen. Ketika ditanya lebih jauh apakah ia tidak merasa berat melaksanakan syariat Islam, seperti puasa. Dengan wajah tenang ia menjawab, “Saya sudah terbiasa berpuasa sejak sebelum masuk Islam. Jadi tidak ada alasan untuk tidak berpuasa.”
Apa yang menjadi pilihan Aci ini, rupanya menjadi pilihan warga kristen lainnya. “Paling hanya dua atau tiga orang saja anak orang Kristen yang masih beragama Kristen.” Ujar ustadz Tatang. Dengan demikian, tidak mustahil suatu hari nanti Gunung Putri tidak lagi dihuni orang Kristen. Karena mereka sudah meninggal semua dan tidak lagi ada penerusnya.
Semoga pengalaman ustadz Tatang dan tokoh masyarakat lainnya dapat menjadi pelajaran bagi aktifis dakwah lainnya. Atau dengan mewujudkan impian masjid sebagai sentral sentral penggemblengan keagamaan. Masjid yang membentuk jamaahnya pro aktif menjemput dan membina jamaah lainnya. Kemudian juga dijadikan sentral kegiatan sosial dengan dana zakat, infak dan shadaqah. Sebagaimana digagas oleh MUI kec Lembang. Seperti diungkapkan Ust. Aam Abdus Salam.
Ghoib, Edisi No. 12 Th. 2/ 1424 H/ 2004 M