Satu Muharram yang Terlupakan di Banten Lama

Sejarah Banten Lama mungkin sudah mulai banyak yang terlupakan. Menyisakan cerita-cerita rakyat yang masih rentan perdebatan akan kebenarannya. Sementara bukti-bukti sejarah yang ada pun banyak yang didiamkan saja. Perlu kepedulian dari semua pihak, agar cagar budaya yang menjadi saksi bisu kebesaran Banten dahulu tetap tegak. Ke sanalah Majalah Ghoib berkunjung di awal tahun baru Hijriah.

Pukul 18.22 tepat, seorang kakek tinggi  kurus berpeci hitam menabuh beduk di Masjid Agung Banten. Suaranya menggema. Menggerakkan kaki orang- orang yang lalu lalang di sekitar Masjid Agung Banten perlahan menuju tempat wudhu.

Tidak ada yang istimewa. Semuanya berlalu seperti hari-hari yang lalu. Tidak ada dentum suara mercon atau letusan kembang api. Langit mulai menghitam, menampakkan satu dua bintang yang enggan bersinar.

Padahal malam itu adalah malam yang istemewa. Bagi dunia muslim secara umum detik- detik itu adalah detik pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekah menuju Madinah. Peristiwa indah yang terekam dalam sejarah 1425 tahun yang lalu.

Bagi warga masyarakat Banten secara khusus, malam itu adalah malam yang tidak kalah istimewanya. Hari bersejarah yang seharusnya dikenang dalam benak setiap warga Banten.

Hari itulah tonggak sejarah peralihan Banten dari Hindu ke Islam dimulai dengan tergusurnya kekuasaan Adipati Pucuk Ungun dari Kesultanan Hindu Padjadjaran ke pangkuan Islam di bawah kepemimpinan Hasanudin. Ya, tanggal 8 Oktober 1526 yang bertepatan dengan tanggal satu Muharam Kadipaten Banten dirintis oleh Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati dan menantu Raja Demak.

Hari itulah cikal bakal Kesultanan Banten mulai digelar. Detik-detik islamisasi warga Banten telah ditabuh. Proses islamisasi yang berjalan secara danai. Tidak ada darah. Tidak ada luka setelah runtuhnya Kadipaten Hindu Padjadjaran yang berpusat di Banten Girang Islam terus menyebar hingga ke seberang pulau Lampung, Solebar di Bengkulu serta sebagian Kalimantan Barat pun masuk dalam genggaman Islam setelah pada tahun 1552 Banten resmi mendeklarasikan diri sebagai Kesultanan Banten yang bercorak Islam.

Untuk mengislamkan Banten dan seluruh wilayah kekuasaannya hingga seperti sekarang tidak ditempuh dengan cara perang Islam diterima oleh masyarakat tanpa melalui paksaan, karena Islam disebarkan dengan cara-cara yang halus. Tradisi pra Islam tidak dibasmi secara radikal. Yang bisa dijadikan sebagai contoh adalah gaya dakwah Wali Sholih, salah seorang punakawan Kesultanan Banten yang menetap di Gunung Santri.

Wali Shalih mengislamkan masyarakat petani dan nelayan dengan cara mengamati pola kehidupan mereka. Setelah diperhatikan bahwa sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan, maka Wali Shalih mencoba memberikan solusi yang positif kepada mereka. Saat itu Wali Shalih menawarkan jampi-jampi kepada petani dan nelayan.

Jampi-jampinya adalah dua kalimat syahadat Wall Shalih tidak menjelaskan apa makna dua kalimat syahadat itu, setelah petani dan nelayan mengucapkan dua kalimat syahadat mereka pun dibiarkan pergi. Wali Shalih lalu mengangkat tangan dan menengadah ke atas, ia berdoa kepada Allah agar petani dan nelayan yang telah mengucapkan syahadat dimudahkan rizkinya.

Masih menurut cerita rakyat, nelayan yang melaut itu pun pulang dengan hasil yang melimpah. Membuat nelayannya terbengong keheranan. Usut punya usut, nelayan itu mengaku bahwa ia diberi jampi-jampi oleh Wali Sholih dari Gunung Santri. Dengan cara inilah akhirnya sedikit demi sedikit nelayan atau petani masuk Islam. Dan dengan cara inilah Islam disebarkan.

Namun, sangat disayangkan sejarah panjang Kesultanan Banten dengan pernak-perniknya malam itu seakan terlupakan. Semuanya biasa saja. Tidak ada acara apapun untuk mengenang dua peristiwa bersejarah itu. Malam pun semakan larut dan masyarakat Banten terlelap dalam mimpi panjangnya. Seakan mereka telah melupakan apa yang terjadi pada tahun 1526 M.

Lain halnya dengan bukti sejarah. Mereka tidak lupa dengan apa yang telah terjadi. Bukti-bukti sejarah itu pun masih dapat ditemukan. Ada yang masih utuh dan terawat dengan baik, namun tidak sedikit pula yang tinggal puing-puingnya.

Di antara bukti sejarah yang masih utuh adalah Masjid Agung Banten yang memiliki kubah tumpang lima. Sekilas bentuk kubah Masjid Agung Banten memang mirip dengan Masjud Agung Demak yang berkubah tumpang tiga dan Masjid Agung Cirebon. Hal itu memang ada benarnya, karena arsitek yang turut serta membangun Banten pada saat itu didatangkan dari Cirebon dan Demak.

Pembangunan Masjid Agung Banten memang sarat makna dan kental nuansa filosofisnya. Seperti yang dikatakan Muhammad Hatta, 56 tahun, seorang mantan pegawai di Museum Cagar Budaya Banten, “Gaya arsitektur Masjid Agung Banten yang berkubah tumpang lima merupakan simbol rukun Islam. Sedangkan pintu Masjid Agung yang berjumlah enam merupakan simbol rukun Iman,” tutur Muhammad Hatta kepada Majalah Ghoib.

“Sedangkan bentuk keenam pintunya yang kecil dan pendek menjadi simbol paksaan bahwa kalau sudah masuk masjid harus tunduk, patuh, ta’zim. Tidak ada istilah ‘aku raja’. Sebagai makhluk, manusia di hadapan Allah tidak ada apa-apanya. Yang membedakannya adalah ketakwaannya. Yang masuk rumah Allah harus tunduk dan ta’zim. Kalau keras kepala akan kejedot nantinya, maka dibuat pendek dan kecil,” ujarnya lagi.

Tidak jauh dari Masjid Agung Banten, terlihat puing-puing bangunan yang tinggal menyisakan tembok yang kokoh. Tembok yang terbuat dari batu cadas dan batu-bata. Di tengahnya terdapat kolam yang sering dijadikan kolam pemandian anak-anak. Itulah istana Surosowan.

Itu tempat tinggal Sultan Hasanudin dan pewaris tahtanya. Kolam yang menurut cerita Yadi, seorang warga Banten, airnya tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Padahal ketinggian airnya hanya sebatas pinggang anak seusia dua belasan tahun.

Namun sangat disayangkan keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tidak dapat dinikmati oleh warga Banten sekarang. Keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tinggal dalam cerita rakyat. Sementara maket asli yang bisa mengungkapkan dengan terang rupa dan bentuk istana pun tersimpan jauh di negeri seberang, di negara yang pernah menjajah Banten dan Indonesia, negara Belanda. Begitulah yang diungkapkan Djaja, ketua kordinator Museum Cagar Budaya Banten saat dihubungi Majalah Ghoib.

Nasib istana Surosowan tidak jauh berbeda dengan Benteng Speelwijk yang berjarak satu kilo meter dari Masjid Agung ke arah barat. Sebuah benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1683-1685. Benteng yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Haji, putra mahkota yang berani menentang orangtuanya, Sultan Agung Tirtayasa.

Benteng yang berdiri di atas keculasan Belanda yang dengan cerdiknya mempedaya Sultan Haji dengan dalih meminta tanah seluas kulit kerbau, sebagai imbalan atas bantuannya selama ini. Serta sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan bangsa-bangsa asing.

Belanda tidak langsung meletakkan sehelai kulit kerbau dan menganggap itu adalah tanahnya, tapi Belanda dengan liciknya menyeset-nyeset kulit kerbau menjadi benang, kemudian dibentangkan. Dan jadilah sehelai kulit kerbau itu seluas dua hektar yang sekarang di atasnya masih berdiri reruntuhan Benteng Speelwijk.

Mengamati dari dekat Benteng Speelwijk, maka kita akan menemukan kembali sisa-sisa tembok kota yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Tembok kota yang bila dikelilingi dengan jalan kaki maka akan ditempuh selama dua jam.

Tembok kota setebal satu meter dengan ketinggian empat meter itu masih terlihat kokoh berdiri menjadi bagian dari dinding tembok Benteng Speelwijk sebelah utara. Sebuah benteng yang menggambarkan dengan jelas kekokohan dan ketinggian peradaban Banten tahun 1660 an.

Satu lagi bukti sejarah yang layak dikunjungi oleh setiap orang yang ingin menelusuri sejarah Banten Lama adalah Kraton Kaibon, Kraton tempat tinggal ibunda Sultan yang terletak sekitar satu kilo meter dan Masjid Agung Banten ke arah Serang, bersebelahan dengan sungai Cibanten dan tidak jauh dari jernbatan Desa Kroya. Nama Kraton Kaibon sendiri menurut Muhammad Hatta diambil dari kata ‘kaibuan’. Sebuah bangunan yang mirip dengan Candi Bentar di Bali dengan pintu gerbangnya yang terbuka bagian atasnya.

Bentuk bangunan Kraton Kaibon ini menunjukkan bahwa budaya Hindu masih kental dan begitu kuat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Banten Lama. Istilah Banten Lama sendiri baru tersebar luas saat para arkeolog melakukan penelitian terhadap bukti-bukti sejarah Kesultanan Banten yang memang banyak ditemukan di dalam benteng kota yang dibangun oleh Sultan Agung Tirtayasa. Dulu, Banten Lama lebih dikenal dengan Banten Lor atau Banten Pesisir.

Sungguh mengasyikkan berjalan-jalan menyusuri cagar budaya Banten Lama, tapi sangat disayangkan bila sejarah keemasan Kesultanan Banten akhirnya dilupakan oleh warganya sendiri.
GHoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN