Di tengah guyuran hujan deras, di lokasi Taman Wisata Lido Bogor, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Seorang bapak duduk termenung untuk sekadar berteduh, sambil berharap dagangannya ada yang membeli. Postur tubuhnya, memang tidak seperti orang normal (Bungkuk). Akan tetapi, semangatnya dalam mencari nafkah, tidak mengenal lelah. Manisan pala dan kinciran mainan yang dibuatnya sendiri, sejak pagi belum banyak yang terjual. Namun ia tetap tabah, untuk terus menyambung hidup, bersama buah hatinya tercinta, yang harus diurusnya sendiri, karena ia telah di tinggal oleh istri yang telah dinikahinya. Berikut kisah hidupnya.
Nama saya Uus, usia 36 tahun. Bapak saya pada jaman perjuangan dahulu, bekerja sebagai buruh tani, sedangkan Ibu seorang pedagang pakaian kecil-kecilan di rumah. Saya tinggal di rumah sendiri, di desa Citugu Jaya, Cigombong, Kabupaten Bogor. Saya juga dilahirkan di sana. Pada saat saya lahir, kondisi saya memang sudah cacat seperti ini, (bungkuk-red) Sejak lahir sampai usia 3 tahun, saya tidak pernah diberi ASI, karena ibu saya menderita sakit yang sangat parah. Sehingga pertumbuhan badan saya tidak normal dan seperti sekarang ini, sering sakit-sakitan. Kehidupan saya bersama orang tua di desa, dalam kondisi sangat sederhana. Namun, kami menghadapi kehidupan yang sulit ini dengan senang dan tawakal.
Saya sekolah di SD Citugu Jaya, hanya sampai kelas 5 saja, karena orang tua saya tidak sanggup lagi membiayai saya untuk bersekolah. Saya sebenarnya sangat sedih, karena harus keluar sekolah. Apalagi saat itu, adik saya jumlahnya 6 orang. Tanggung jawab saya sangat berat, karena saya harus mulai bisa membantu orang tua dalam membiayai adik-adik saya tersebut, padahal usia saya masih sangat muda. Pada saat sekolah, saya tidak pernah merasa minder, walaupun saya cacat. Teman-teman saya di sekolah sering mengejek saya, dengan mengatakan, saya anak bungkuk. Saya sebenarnya sangat tersinggung dan sedih, tapi kemudian saya hadapi saja dengan senang, karena semua ini sudah takdir Allah.
Setelah keluar dari sekolah, saya melanjutkan pendidikan di Pesantren Kalang Sirna, yang sekarang menjadi Al Amin di Cicurug, Bogor selama 2 tahun. Saya bisa melanjutkan di pesantren, karena budi baik dari para donatur, yang bersedia menanggung semua beban saya secara urunan. Selama di sana saya banyak belajar tentang ilmu agama Islam, seperti: Kitab Jurumiah, Safinah, al- Qur’an, dan lain-lain. Seperti biasa, di pesantern saya juga sering diejek oleh kawan-kawan. Namun karena saya sering mendengarkan ceramah dari Pak Kiyai, saya hadapi semua itu dengan tabah, karena menurut ajaran Islam, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling bertaqwa. Bukan dilihat dari wajah, harta kekayaan atau kondisi fisik.
Lama kelamaan, entah karena apa para donatur yang membiayai saya tersebut tidak lagi mengirim biaya untuk keperluan saya selama di pesantren. Sehingga saya tidak bisa beli kitab dan pakaian lagi. Akhirnya dengan rasa sedih, saya harus meninggalkan tempat yang telah banyak memberikan saya ilmu, yang sangat berguna bagi kehidupan saya sehari-hari sampai sekarang ini.
Allah menghendaki peristiwa lain untuk saya. Alhamdulillah, saya bisa lagi melanjutkan belajar di pesantren yang letaknya di kampung saya sendiri. Saya di suruh belajar di pesantren al Furqoniyyah oleh seorang Kiyai. Semua biaya selama di pesantren di tanggung oleh pesantren. Di sini, saya banyak belajar al Qur’an dan belajar bahasa Arab bersama teman-teman sebaya. Diejek memang sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Ketika di sini, saya kembali sering diejek oleh kawan-kawan, tetapi saya sudah biasa, sehingga tidak merasa sedih yang mendalam seperti pada awal- awal dulu.
Pengalaman mencari nafkah pun dimulai
Setelah belajar di pesantren selama 2 tahun. Usia saya sudah semakin beranjak dewasa. Usia 20 tahun, buat saya merupakan saat untuk mulai mencari nafkah dengan serius, untuk membantu orang tua membiayai sekolah dan makan adik-adik saya, apalagi saya adalah anak pertama. Pada saat itu, saya mulai belajar berdagang asongan kecil-kecilan, di dekat rumah. Pengalaman pertama berdagang, saya keliling di sekitar Cigombong ini, dengan menawarkan es lilin dan permen di dalam bis jurusan Jakarta- Sukabumi. Walaupun fisik saya tidak senormal para pedagang yang lain, saya berusaha tabah. Sering saya kalah cepat dalam memburu pembeli di bis-bis. Tapi kemudian saya bangkit dan terus berusaha. Apalagi kalau ingat adik-adik di rumah.
Kalau musim haji, saya mencoba mengadu nasib di daerah Pondok Gede. Dengan mengharap pembelinya, dari para pengantar yang keluarganya akan pergi haji. Kalau sudah begitu, saya tidak pulang ke kampung dalam waktu yang cukup lama. Memang menjadi pedagang asongan di Pondok Gede, banyak sekali dukanya. Selain sering diburu kamtib, saya juga harus berjalan berkilo-kilo memanfaatkan kemacetan. Banyak juga sih orang yang membeli dagangan saya, karena rasa kasihan mereka kepada saya.
Sekitar tahun 1990 saya bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis, ketika sedang berjalan-jalan di kota Bogor. Pada saat itu, kami tidak pake pacaran seperti anak sekarang. Mulanya saya takut, tidak diterima oleh orang tuanya, karena saat cacat. Tetapi saya (percaya diri) PD aja untuk melamar gadis pujaan hati saya tersebut. Alhamdulillah proses lamaran sampai ke jenjang pernikahan berjalan dengan lancar. Saya sangat gembira sekali, karena akhirnya bisa menikah. Terlebih lagi kedua orang tua saya, yang sampai sekarang masih hidup. Linangan air mata bahagia mereka, melepas saya untuk bisa hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab. Mereka bersyukur walaupun saya cacat, akhirnya saya mendapatkan pendamping hidup. Sungguh sebuah kebahagiaan yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata.
Hidup berkeluarga saya jalani dengan senang. Semangat saya untuk mendapatk penghasilan yang lebih, semakin menggebu-gebu. Dengan berjualan asongan seperti: tahu lepet, bacang, di sekitar Cigombong ini. Kebahagian saya bertambah, ketika buah hati kami lahir dalam keadaan sehat wal afiat. Anak tersebut kami pelihara dengan kasih sayang.
Ketika anak saya berusia 13 bulan, cobaan kembali datang menghampiri saya. Istri yang sangat saya sayangi, dengan berasalan bahwa saya kurang memenuhi kehidupan rumah tangga, ia meninggalkan begitu saja, saya dan anak saya di rumah. Saya sangat sedih sekali, terlebih lagi, kalau memikirkan perkembangan anak saya tersebut. Tapi Alhamdulillah, saya masih memiliki ibu yang mau merawat cucunya tersebut dengan ikhlas. Memang kebaikan seorang ibu tidak akan pernah habis sampai kapan pun. Makanya saya banyak berdoa untuknya.