Saya Dirayu & Dipaksa Dukun Jadi Istrinya

Berita seputar dukun cabul sudah sering kita dengar. Berita dukun yang menipu pasien dengan berkedok pengobatan juga hal biasa. Cerita seorang dukun yang ingin menikahi pasiennya juga sering tersiar. Seperti yang dialami Anggraeni, seorang mantan dirut perusahaan swasta. la menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.

Jabatan sebagai direktur utama di sebuah perusahaan swasta rupanya tidaklah senyaman yang saya bayangkan. Secara materi boleh dibilang tidak ada masalah, tapi semuanya itu masih belum memberikan ketenangan batin bagi saya. Karena sebagai seorang manusia, tentu saya ingin menikmati dunia kerja dengan tenang. Saya ingin menjalin hubungan yang baik dengan berbagai pihak. Namun apa yang terhampar di pelupuk mata, jauh dari harapan.

Saya merasakan sesuatu yang lain. Suasana kerja tidak lagi seperti dulu. Rupanya keberhasilan saya mengeluarkan perusahaan dari kerugian menjadi awal bencana. Karena sejak itulah intrik dari pemegang saham semakin kuat, hal yang membuat saya semakin tertekan. Tidak tenang dan terkesan emosional.

Akibatnya saya mulai malas pergi pagi ke kantor. Padahal sebagai pimpinan seharusnya saya datang lebih awal dari karyawan. Kadang jam sembilan, lain waktu jam sepuluh baru berangkat ke kantor. Di kantor pun saya tidak betah berlama-lama. Kepala saya pusing dan dada berdebar tanpa alasan yang jelas. Saya sendiri heran dengan apa yang terjadi. Satu kenyataan yang jauh berbeda dengan dulu, saat saya merintis bisnis ini dengan beberapa teman.

Dari sini beberapa orang mengajak saya berobat ke orang pintar. Saya menuruti saja kemauan mereka, karena saya sendiri merasakan memang ada keanehan dalam diri saya sejak tahun 2000. Pada sisi lain, orang pintar tersebut sering memberi nasehat agama. Dan apa yang mereka berikan pun tidak terlepas dari tulisan-tulisan yang berbahasa Arab. Tulisan yang tidak boleh saya bawa ke kamar mandi atau melayat orang meninggal.

Tahun telah berganti, tapi suasana perkantoran tetap tidak berubah. Selesai satu masalah muncul lagi masalah baru. Hingga saya pun semakin terombang-ambing dalam ketidaktenangan. Dalam keadaan demikian Suroso, tetangga sebelah rumah yang telah saya anggap sebagai orangtua sendiri, kedatangan tamu dari Jakarta Selatan yang katanya orang pintar. la biasa dipanggil dengan Ki Brojol.

Kedatangan Ki Brojol yang telah dianggap Suroso sebagai anak angkatnya terkait dengan keadaan rumah Suroso yang katanya dihuni oleh bangsa lelembut. Tak ayal Ki Brojol yang berkulit gelap dan buncit itu pun menarik perhatian warga. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik, ia menunjukkan kehebatannya dalam menaklukkan makhluk halus.

Entah angin apa yang membawanya. Ki Brojol menyempatkan diri mampir ke rumah saya. “Mbak Eni, di kamar 21 dan ruang belakang Mbak Eni ada jin berambut gondrong yang menghuninya,” tutur Ki Brojol setelah beberapa saat memperhatikan bangunan rumah saya.

“Kalau Mbak Eni mau, saya bisa membantu mengusirnya,” ujarnya lagi. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik, tapi saya tidak mau mengecewakan Suroso yang sudah saya anggap seperti keluarga. “Kalau menurut Bapak itu baik, silahkan saja. Sepanjang tidak bertentangan dengan agama.” Izin saya itu pun disambutnya dengan antusias.

Ki Brojol duduk bersila di ruang tamu dengan segelas air putih berisi sebutir kerikil kecil di depannya. Mulutnya komat- kamit membaca mantra. Dan sejurus kemudian, tangannya bergerak perlahan. Makin lama tangannya kian bergetar. Wajahnya menegang. Dan Ki Brojol pun segera bangkit. Dalam beberapa gerakan ia seakan menarik sebuah kekuatan kasat mata lalu memasukkannya ke dalam gelas.

 

Bakal Janin Berwujud Belut

Saya memang awam dalam masalah seperti ini, sehingga ketika dikatakan bahwa ia telah berhasil memindahkan jin berambut gondrong ke dalam batu kecil itu pun saya percaya begitu saja, meski secara logika intelektual hal itu sepertinya mustahil. Tapi itulah kenyataannya. Nama Ki Brojol mulai tersebar luas di kalangan masyarakat sebagai seorang sakti ahli pengobatan alternatif.

Hasilnya, beberapa hari kemudian rumah Suroso secara terbuka dijadikan sebagai tempat praktik Ki Brojol. Satuhal yang membuat pertemuan saya dengan Ki Brojol semakin sering. Dalam beberapa pertemuan berikutnya ia mengatakan bahwa di dalam diri saya ada jin cewek yang melindungi saya.

Penuturan Ki Brojol mengingatkan saya kepada beberapa peristiwa yang telah lalu. Ketika itu saya melintas di jalan tol dengan kecepatan tinggi, tiba- tiba saja ban sebelah kanan meletus. Saya panik, tapi syukurlah sopir saya bisa mengendalikan kemudi, sehingga kecelakaan pun bisa dihindari. Padahal secara matematis kemungkinan mobil saya tergelincir berjumpalitan itu sangat besar. Saya sendiri sebenarnya tidak pernah mengaitkannya dengan keberadaan makhluk halus yang melindungi saya. Antara percaya dan tidak, saya menyikapi penuturannya. Tapi ketika ia menawarkan jasa untuk membuangnya, saya langsung menyetujuinya.

Sebagai ganti dari jin perempuan itu, saya disuruh untuk membeli cincin emas putih. Entahlah, mengapa saya menurut begitu saja kepada Ki Brojol, sehingga dengan senang hati saya membeli cincin putih meski tidak terlalu berat. Cincin yang tidak boleh dipindah ke jari yang lain bila telah disematkan pada salah satu jari, Selain itu cincin yang pada hakekatnya masih melekat di jari saya itu sebenarnya telah ditanam di punggung saya. Perlindungan cincin pada diri saya akan terus berlanjut selama saya tidak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain. Sementara untuk mempertahankan jabatan di kantor agar tidak diotak-atik oleh orang yang tidak berkompeten, saya dibekali dengan cincin emas kuning.

Setelah memakai cincin itu, tidak ada perubahan yang berarti. Kenikmatan dunia kerja yang saya harapkan tetap saja masih jauh dari jangkauan. Berbagai kebijakan yang saya terapkan masih belum bisa memuaskan semua pihak. Kesempatan ini dimanfaatkan Ki Brojol untuk menyeret saya semakin jauh ke dalam pengaruhnya. “Ni, ada jin yang ngumpet di kaki kamu. Jin itu sudah mengikutimu sejak kamu lahir,” katanya suatu hari.

“Mau dihilangi semua apa tidak? Soalnya yang di kaki ini, bawaan dari lahir. Istilahnya dia yang paling berbahaya karena sudah menahun. Tebusannya juga agak mahal. Bayarannya seumur hidup kamu. Dulu mungkin kakek kamu yang merawatnya,” ujarnya meyakinkan saya. Saya percaya saja dengan apa yang dikatakannya, sehingga ketika dia menyuruh saya mandi kembang pun saya turuti saja.

Ritual mandi kembang dilakukan di rumah saya. Bak kamar mandi yang telah ditaburi kembang tujuh rupa itu pun ditutup dengan kain. Degup jantung saya semakin kencang setelah tahu bahwa Ki Brojol sendiri yang akan mengguyur badan saya. Saya khawatir bila terjadi sesuatu yang tidak saya inginkan. Akhirnya saya meminta Suroso untuk menemani kami di dalam kamar mandi dan saya biarkan pintunya terbuka. Sebenarnya saya malu melakukannya, tapi entahlah kekuatan apa yang telah mempengaruhi saya sehingga saran Ki Brojol saya turuti begitu saja.

Setelah ritual mandi kembang selesai, muncul keanehan yang tidak saya bayangkan. Dari dalam bak mandi keluar delapan ekor belut dan seekor ular kecil dengan kepala tegak siap menerkam saya. Menurut penuturan Ki Brojol delapan ekor belut itu adalah kebaikan yang ada di dalam diri saya, sementara seekor ular kecil itu adalah wujud kejahatan saya. Terkejut, ngeri, takut dan was- was bercampur menjadi satu.

Menurut penuturan Ki Brojol pula, belut penjelmaan kebaikan saya itu berasal dari bakal janin yang ada dalam diri saya, sehingga bila dimakan oleh suami istri yang belum punya anak, mereka akan memperoleh keturunan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Suatu penjelasan yang tidak masuk akal.

Tapi Ki Brojol adalah seorang dukun yang kata-katanya didengar oleh sebagian warga sehingga tidak lama kemudia muncullah seorang laki-laki yan berniat mengambil seekor belut. Oleh Ki Brojol, laki-laki itu disuruh meminta persetjuan saya dan diharuskan mengganti belut yang diambilnya dengan pakaian dalam yang diserahkan kepada saya.

Mandi kembang yang saya lakukan katanya masih belum mampu menghilangkan jin yang berada di kaki, sebelum terpenuhi satu syarat lainnya. Untuk itu, saya masih diminta menyediakan uang lima juta rupiah yang dijadikan sebagai syarat. Uang itu nantinya akan diberikan kepada fakir miskin.

Saya kembali tidak berdaya. Tanpa pikir panjang, keinginan Ki Brojol itu pun saya turuti begitu saja. Uang lima juta itu kemudian ditaruh dalam kaleng lalu dimasukkan ke dalam kardus. Sebelum membungkusnya, Ki Brojol juga meminta saya menyerahkan pakaian yang paling saya sayangi. Waktu itu saya menyerahkan kain sarung pemberian paman yang telah meninggal. Kain sarung yang sering saya pakai untuk shalat dan menjadi kenangan tersendiri atas kebaikan paman. Pakaian itu kemudian dijadikan satu dengan uang lima juta.

Semuanya itu saya relakan demi menghilangkan gangguan demi gangguan yang terus mendera saya. Setelah semua persiapan selesai. Kardus yang katanya berisi uang lima juta dibawa masuk Ki Brojol ke dalam kamar untuk dibacakan mantra. Selanjutnya dengan diantar Suroso, Ki Brojol mengajak saya melarung kardus itu di aliran sungai Ciliwung.

Di keremangan senja, kami berangkat dengan mobil pribadi saya menuju aliran sungai Ciliwung di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Begitu tiba di pinggir sungai saya melemparkan kardus itu. Saat itu saya masih berpikir positif saja, kalau memang uang lima juta itu untuk menghapus penyakit, saya pikir tidak apa-apa. Karena kemungkinan besar uangnya ditemukan orang miskin yang tinggal di pinggir kali. Mudah mudahan dapat digunakan di jalan yang benar. Seperti pesan yang tertulis di sana, “Barang siapa menemukan uang ini, semoga dapat memanfaatkannya di jalan yang benar dan diridhai Allah.”

Setelah melakukan pembuangan uang ke kali, saya masih tetap tidak merasakan perubahan apa-apa. Bahkan saya merasakan kehancuran. Masalah di kantor semakin bertubi-tubi dan meruncing. Hanya karena masalah sepele, dengan mudahnya saya memberhentikan karyawan atau sopir saya.

Pada sisi lain, Ki Brojol mulai sering memanfaatkan diri saya. la sering meminjam mobil dinas saya hingga berhari-hari. Terkadang saya mengalah dan naik taxi untuk urusan kantor. Pada mulanya, saya masih menganggapnya biasa. Tapi semakin lama, ia semakin aneh. Kesana kemari ia sering mengatakan bahwa saya adalah istrinya. Hal ini saya ketahui setelah ada seorang relasinya yang menelpon ke kantor menanyakan dirinya.

Beberapa hari kemudian orang tersebut menghubungi kembali ke rumah dan dengan kesal mengatakan, “Mbak ini gimana sih, istrinya kok tidak tahu ke mana perginya.” Saya terkejut, rupanya desas-desus yang saya dengar selama ini benar adanya. Ki Brojol sering mengaku saya istrinya kepada orang-orang di luar. Hal ini mungkin tidak terlepas dari kedudukan saya sebagai seorang direktur utama di sebuah perusahaan swasta.

 

Dipaksa menjadi istri dukun

Selama ini ia memang belum pernah mengutarakannya langsung kepada saya. Mungkin waktunya masih belum tepat. Hingga suatu hari ia berhasil membujuk saya untuk menjalin bisnis spare part motor. Untuk itu ia mengajak saya membeli ban motor langsung ke pabrik- nya di Jawa Tengah.

Awalnya saya tidak tertarik dengan bisnis ini, tapi setelah sekian lama didesak, saya pun mengalah. Saya menuruti kemauannya. Waktu itu rombongan terdiri dari lima orang, namun yang tiga orang turun di Cirebon. Perjalanan selanjutnya hanya kami lalui berdua saja. Sepanjang jalan saya terus berdoa semoga Allah melindungi saya dari niat jahat Ki Brojol.

Selama ini saya tidak pernah bepergian jauh berduaan dengan Ki Brojol, apalagi sejak semula saya sudah tahu bahwa ia punya niat tertentu kepada saya. Setiba di pabrik ban mobil, Ki Brojol segera turun dan melakukan negosiasi harga. Saya dibiarkan menunggu di dalam mobil, dan hanya turun untuk membayar transaksi yang terjadi. Tentu semuanya menggunakan uang pribadi saya.

Sepulang dari Jawa Tengah itulah Ki Brojol mengutarakan isi hatinya. la menginginkan saya menjadi istrinya. Apa yang saya khawatirkan selama ini akhirnya terucap juga. Namun, untuk menolak dengan bahasa yang keras, jelas saya tidak berani, Terlebih keadaan saya yang tidak menguntungkan.

“Saya kan sudah menganggap bapak sebagai orangtua saya. Kita mendingan seperti anak sama bapak saja,” kilah saya dengan halus. Ki Brojol belum mau menyerah. Sampai la berkata, “Apa karena saya hitam? Apa karena saya gendut? Apa karena saya sudah tua? Apa karena saya sudah punya istri? Dia menyebutkan empat alasan yang membuat saya tidak tertarik.

Kalau saya boleh jujur, Ki Brojol memang bukan tipe orang yang saya harapkan menjadi pendamping saya. Tapi untuk membenarkan apa yang dikatakannya saya tidak berani. Saya takut ia naik pitam dan melakukan hal-hal yang tidak baik.

la mengatakan seandainya ia ingin mendapatkan saya dengan ilmunya, itu bukanlah hal yang sulit. Tapi ia tidak mau. la ingin menikahi saya dengan cara yang normal. Atas dasar cinta, bukan karena terpaksa. “Apa saya perlu berhenti jadi dukun?” katanya lagi. Saya hanya diam membisu dengan hati bergemuruh. “Kalau seandainya alasan Mbak Eni karena saya sudah berkeluarga, nanti kalau misalnya Mbak Eni dapat orang yang sudah berkeluarga bagaimana?”

Saya diam saja. Saya tidak ingin sepatah kata yang keluar dari mulut saya nanti tidak berkenan di hatinya dan dijadikan sebagai alasan untuk menyakiti saya. Suasana yang kaku itu baru mencair saat dia mengajak mampir makan di Cirebon. Itu pun saya juga yang membayar semuanya.

Setiba di Cikampek hari sudah larut malam. Ki Brojol menawari saya untuk istirahat sejenak untuk melepas lelah. “Di situ ada tempat saya biasa mampir. Di situ biasa kok mobil-mobil mampir, tidur.” Astaghfirullah, hati saya rasanya hancur setelah tahu bagaimana Ki Brojol memandang saya. la menganggap saya seperti wanita murahan yang bisa diajak apa saja, karena tempat yang ditawarkannya adalah warung remang-remang di pinggir jalan. Saya tidak mau disepelekannya lagi. Saya harus menolaknya apapun resikonya.

Saya baru mau diajak berhenti ketika tiba di tol Cikampek, di area parkir truk- truk yang istirahat. Letih, lemah, lesu setelah menempuh perjalanan dua hari masih tidak sebanding dengan remuknya hati saya. Saat saya menyandarkan diri di kursi, tiba-tiba tangan Ki Brojol mencoba meraih saya. Dengan reflek saya menolak dengan keras, “Saya tidak bisa.” Ki Brojol terkejut. Matanya merah menyeramkan tersembul dari kulitnya yang hitam.

“Ya sudah kalau tidak mau, celupkan tangan ke dalam air.” Dada saya bergetar, bintik- bintik keringat dingin keluar di dahi saya, melihat Ki Brojol langsung membeli air aqua gelas. Saya khawatir bila ia bermaksud yang tidak-tidak terlebih waktu itu jam tiga dinihari. Bintang-bintang yang mengintip dari kegelapan dan hembusan semilir angin dingin menjadi saksi tangisan saya. Cukup lama saya baru bisa menguasai diri dan memaksanya melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Beberapa hari kemudian, Ki Brojol datang ke rumah, ia masih menginginkan saya menjadi istrinya. Saya tetap tidak mau. la memaksa saya mencelupkan tangan ke dalam air. “Ya sudah tolong bantu saya, kalau tidak saya masih ingat terus. Tolong celupkan ke air.” Saya berpikir, daripada selalu berkeliaran di sekitar saya, lebih baik saya turuti kemauannya. Dengan terus membaca ayat Kursi saya mencelupkan jari ke dalam gelas. Saya sudah pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Dengan celupan tangan itu, maka apa yang dilakukannya selama ini dianggap tidak ada. Jin yang katanya sudah dikeluarkan dengan berbagai cara itu pun katanya masuk kembali ke dalam diri saya. Tapi saya tidak peduli.

“Tiga tahun hidup kamu akan meruncing terus. Karir kamu berantakan dan jodohmu menjauh,” sumpah Ki Brojol.

Sebagai seorang wanita yang hidup sendirian di Jakarta, saya merasa sedih, mengapa orang yang selama ini saya bantu, tega berbuat kejam. Pengorbanan saya dianggap angin lalu. Meski saya tidak mengharapkan imbalan, tapi setidaknya tidak harus disakiti.

Sementara itu intrik-intrik di kantor juga semakin tajam. Tekanan kiri kanan semakin sulit saya kendalikan, akhirnya dengan berat hati saya putuskan untuk mengundurkan diri dari kantor pada bulan Mei 2002, setelah menimbang dan meminta pertimbangan beberapa teman.

Saya akui bahwa minggu- minggu awal keluar dari kantor saya sempat tidak bisa menerima atas apa yang terjadi. Perasaan didzolimi menghimpit di dada. Bisnis yang saya rintis dengan air mata darah, tiba tiba saya harus terdepak setelah semuanya berjalan dengan baik. Di kegelapan malam saya sering berdoa, “Ya Allah perlihatkanlah kekuasaan Mu kepada orang-orang yang telah menyakiti hatiku.”

Ketika naik taxi atau pun kendaraan umum terkadang air mata saya mengalir begitu saja. Saya menjadi sangat sensitif. Sejak bulan Oktober saya diterima kerja di tempat baru, tapi kenangan kantor lama begitu dalam. Sangat sulit dilupakan.

Pekerjaan di tempat baru pun hanya bertahan setahun. Ada saja masalah yang saya hadapi. Selain itu usaha untuk mendapatkan pendamping hidup sering kali kandas di tengah jalan. Selalu ada aral yang melintang di jalan. Kenyataan ini semakin meyakinkan saya bahwa ada seseorang yang mencoba terus menghalangi langkah saya.

Saya beruntung di pertengahan 2004 akhirnya dipertemukan dengan Majalah Ghoib yang memang berbeda. Saya langsung tertarik mengikuti ruqyah, karena dan dulu saya memang mencari pengobatan yang benar. Karena selama ini semuanya mengaku benar.

Juli 2004 menjadi lembaran sejarah baru dalam kehidupan saya, karena semenjak itu apapun isim atau jimat pemberian orang pintar saya bakar semuanya sambil membaca ayat Kursi, isim-isim yang ditempel di rumah saya buang semuanya. Apapun yang membuat malaikat rahmat menjauhi rumah saya, saya buang.

Sudah belasan kali saya mengikuti terapi ruqyah, dan alhamdulillah saya merasa kejiwaan saya semakin stabil, intensitas ibadah saya juga semakin baik. Meski jin yang merasuk ke dalam diri saya tidak mau bicara. Saya hanya merasakan kesakitan yang luar biasa ketika diterapi.

Saya sadar bahwa masalah kesembuhan itu dari Allah, karena itu saya tidak boleh berputus asa. Bahkan saya bersyukur karena ruqyah di Majalah Ghoib sudah merubah pandangan hidup saya. Saya selalu berdoa semoga apa yang diberikan Allah ini melebur dosa saya pada masa lalu dan mengangkat derajat saya di sisi- Nya.

Dengan itu saya bisa menghadapi hidup ini dengan tenang. Sekarang saya sedang merintis bisnis dengan teman- teman. Semoga perjalanan ke depan tidak sesulit kemarin. Dan semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN