Saya Mampu Mengobati dan Menebak dengan Foto

Keahlian supranatural? Tidak diragukan bahwa ia adalah hasil kolaborasi manusia dengan jin. Sadar ataupun tidak. Penarikan penyakit dengan tenaga dalam atau menebak pencuri dengan menggunakan media foto, memang banyak dijumpai di masyarakat. Tapi jangan sampai tertipu, karena ternyata keahlian itu berasal dari bisikan jin. Orang boleh saja mengingkarinya, tapi penuturan Sulis berikut menjadi bukti tersendiri atas keterlibatan jin Gadis berusia 33 tahun yang tinggal di Jakarta Selatan ini menceritakan pengalamannya kepada Majalah Ghoib setelah ruqyah yang keempat kalinya. Berikut petikan kisahnya.

Entah, apakah kemampuanĀ  tidak wajar yang saya miliki itu terkait dengan tradisi nenek moyang kedua orangtua saya, saya tidak tahu. Tapi sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut Hindu Bali, sangatlah wajar bila kehidupan bapak dahulu, sebelum masuk Islam, tidak terlepas dari berbagai macam bentuk pemujaan kepada dewa-dewa.

Sementara nenek moyang dari pihak ibu juga tidak kalah hebohnya. Ibu terlahir dari keluarga penganut Kejawen. Karena Islam hanya menjadi label atau lebih tepatnya status keagamaan semata. Bagaimana tidak, bila dalam setahun. mereka hanya sholat 2 hari raya saja. Lucunya, meski mereka tidak shalat tapi mereka tetap berpuasa Ramadhan. Saat ditanya mengapa mereka tidak shalat? maka dengan enteng mereka mengatakan, “Biasa, memang dari dulu juga begitu.” Di lingkungan seperti inilah dahulu ibu dilahirkan. Tepatnya di kampung Jugleg, dekat waduk Gajah Mungkur, Pacitan.

Sebuah perkampungan yang masih kental nuansa kejawennya. Misalnya, saat nenek meninggal dunia, di atas gundukan tanah makam yang belum kering itu terlihat dua buah kelapa muda, kendi, piring, sendok dan cangkir berisi air yang digeletakkan sedemikian rupa di samping kanan kiri nisan.

Latar belakang kedua orang tua yang jauh dari agama itu berpengaruh besar terhadap kehidupan keluarga. Bapak dengan karakternya yang keras dan terkenal sangat hemat berbenturan dengan sifat ibu yang terbilang lemah. Akibatnya tiap hari saya melihat bapak dan ibu bertengkar Hingga akhirnya ibu tidak sanggup lagi menahan tekanan batin. Dan beliau pun terkena gangguan kejiwaan.

Waktu itu saya baru kelas lima SD. Untuk menangani penyakit ibu, bapak memanggil dukun setelah bermusyawarah dengan saudaranya yang masih beragama Hindu. Masih terekam kuat dalam ingatan saya bahwa di antara dukun itu ada yang menanam bungkusan berisi telur ayam kampung dan saputangan warna merah di pojok rumah.

Sedemikian besarnya kepercayaan bapak kepada dukun itu sehingga la pasrah saja ketika seorang dukun menyuruh ibu untuk menanggalkan seluruh pakaiannya. Ibu sendiri hanya bisa menuruti perintah itu. Sementara sang dukun menaburkan garam ke sekeliling rumah. Saya malu dan merasa terhina bila teringat peristiwa yang menghilangkan nalar sehat itu.

Namun, sekian banyak dukun yang datang, tidak satu pun bisa menyembuhkan ibu. Empat tahun sudah ibu didera gangguan kejiwaan. Tragisnya, sudah dua puluhan dukun yang diundang ke rumah. Saya yang saat itu sudah mulai beranjak dewasa merasa sebel melihat tingkah laku bapak yang tidak bisa lepas dari dunia klenik maka saya utarakan niat untuk sekolah di pondok pesantren Dengan harapan suatu saat nanti saya bisa merubah kebiasaan bapak.

Niat yang mulia ini, entah kenapa dijawab dengan keanehan-keanehan. Karena sejak saat itu saya bisa melihat makhluk misterius yang berkelebatan di rumah. Seperti yang terjadi pada suatu malam, saat sedang shalat di kamar bapak yang seluas 2 x 3 meter. Dalam temaram cahaya lampu, tiba- tiba mata saya langsung terpaku kepada sosok bayangan hitam di samping almari. Bayangan itu terlihat jelas, ketika saya menengok ke kanan sambil mengucapkan salam. Ohh.., jantung saya seakan mau copot. Saya melihat wanita berambut panjang menjuntai ke tanah yang diam terpaku beberapa menit, sebelum akhirnya hilang. entah kemana. Saya terkesima dan hanya bisa diam dengan mulut menganga. Dan… semuanya kembali sunyi.

Itu adalah awal episode datangnya bayangan-bayangan yang berkelebatan tanpa diketahui orang lain. Dan dalam bentuk yang berbeda-beda. Saudara saya sendiri sampai tidak percaya ketika saya ceritakan apa yang saya lihat.

Selepas dari SMP saya putuskan untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren, tepatnya di Jombang, Jawa Timur. Selama mondok di pesantren tidak terlalu banyak peristiwa aneh yang saya alami, paling hanya suara wanita yang cekikikan ketika saya berwudhu di tempat yang agak terbuka.

 

Bisikan-bisikan yang menuntun saya mengobati orang sakit

Entahlah. Setelah saya kembali ke Jakarta dan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, saya kembali mengalami peristiwa yang aneh. Saat itu saya bersama Ana, sedang duduk beristirahat di kafe Carefour, Rawamangun. Dalam cuaca yang panas, cukup pas rasanya menikmati segarnya minuman dingin, tapi baru beberapa menit merasakan sejuknya udara sambil menunggu pesanan, mata saya segera tertuju pada sosok orangtua yang duduk di meja kasir.

Awalnya, saya tidak terlalu perduli. Tapi beberapa saat kemudian, saya teringat dengan foto kakek Yasin. Wajah dan perawakan orangtua itu mirip kakek dari pihak bapak. Hanya rambutnya yang sebahu dengan ikat kepala melingkar di kepalanya, yang membedakan orangtua itu dengan kakek. Saya penasaran, orangtua itu terus memperhatikan saya, hingga saya berkata kepada Ana.

“Ada kakek-kakek ngeliatin saya terus di meja kasir”

“Mana sih, saya tidak melihat,” jawaban Ana itu membuat saya semakin penasaran. Saya terus menatap wajah orangtua itu hingga lima menit. Namun, tatapan saya dijawab dengan sorotan mata yang tajam, diiringi dengan senyum mengembang dari bibirnya. Tak lama kemudian, dia membalik kan badan dan…menghilang.

Selain itu ada peristiw peristiwa aneh lainnya. Semasa tahun pertama kuliah, saya selalu merasa kedinginan saat berada di ruang kuliah. Aneh memang Udara Jakarta yang panas dan ruang kuliah yang tidak ber AC seharusnya membuat badan berkeringat, tapi semua itu tetap tidak bisa mengusir hawa dingin yang menyerang saya. Untuk mengurangi hawa dingin itu, sebenarnya saya sudah memakai pakaian berlapis-lapis, tapi saya tetap menggigil kedinginan. Sementara teman yang duduk di samping saya merasa gerah. la terlihat mengibas-ngibaskan buku ke wajahnya.

Bila hawa dingin itu tidak bisa lagi saya tahan, terpaksa saya minta izin ke kamar kecil. Itu hanyalah alasan untuk bisa keluar. Saat selanjutnya saya berjemur di bawah terik sinar matahari selama lima menit, sebelum akhirnya masuk ke ruang kuliah kembali.

Sebenarnya saya sudah mulai mendapatkan bisikan-bisikan dalam hati sejak melihat di SMU. Tetapi baru pada saat kuliah semester empat, bisikan dalam hati itu mulai mengarahkan saya untuk mengobati orang sakit Entahlah, bagaimana awalnya, saya sendiri tidak tahu Hanya saja bisikan itu muncul begitu saja. Seperti yang terjadi ketika saya bermain ke rumah Imma di Depok. Setelah menonton TV dan makan malam, Irma mengeluhkan sakit kepala yang sudah bertahun-tahun menderanya.

“Coba deh sini,” iseng-iseng saya pegang kepalanya. Saya lakukan itu setelah adanya bisikan dalam hati, “Coba itu pegang kepalanya”. Beberapa saat setelah memegang kepalanya, tangan saya bergetar Aneh, pikir saya. Sementara mulut saya terus komat-kamit membaca, “La haula walaa quwwata illa billah..”. Tangan saya masih bergetar tanpa dapat saya tahan. Selanjutnya saya berkonsentrasi sejenak untuk menarik sesuatu dari kepala Irma. Saya merasa ada aliran lain yang tersedot tangan saya. Entahlah, aliran apa itu.

Tiba-tiba ada bisikan lagi dalam hati yang menyuruh saya membuang apa yang saya tarik dari kepala Irma ke atas. Lima belas menit kemudian, Irma merasakan kepalanya menjadi ringan. Sakit yang menghentak- hentak kepalanya itu hilang dengan cara yang tidak terduga.

Peristiwa ini melahirkan tanda tanya besar dalam diri saya. Apa sebenarnya yang terjadi pada diri saya ini? Apakah ada jin yang menyatu dalam diri saya? Sekian banyak pertanyaan yang menggantung hanya bertahan beberapa saat dan hilang kembali tertutup oleh kesibukan kuliah dan aktifitas di berbagai organisasi mahasiswa yang saya ikuti. Saat itu saya memang lagi asyik-asyiknya mengikuti kegiatan kuliah dan organisasi. Bayangkan saja, saya sudah meninggalkan rumah sejak jam 8 pagi. Padahal jadwal kuliah sendiri baru mulai jam satu sampai jam empat sore. Orangtua saya sampai terheran- heran melihat kesibukan saya.

Memang, dalam kehidupan. ini kita tidak bisa menutupi setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita. Termasuk peristiwa Irma di atas, tanpa saya sadari cerita itu terus beredar dari mulut ke mulut, hingga tidak sedikit teman yang datang untuk minta tolong. Meski hati terbalut kebimbangan, namun bila ada seorang teman yang datang minta tolong, saya tidak bisa menolak keinginannya.

Seperti yang terjadi saat teman karib saya menelpon, namanya Yanti. la menceritakan musibah yang menimpa keluarganya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. la yang sudah terserempet motor hingga patah kaki, saat menye berang jalan harus menerima. kenyataan pahit. Suami yang dalam pandangannya orang yang jujur difitnah teman kerjanya. la dituduh mencuri, setelah ada yang kehilangan sesuatu di kantor. Akhirnya saya putuskan untuk berkunjung ke rumah Yanti. Selepas maghrib, dengan ditemani Yanti saya ngobrol dengan suaminya. “Ada apa pak?”

“Ini, saya mendapat masalah di kantor. Kamu bisa nggak ngerjain?”

Mendengar tantangan itu, tiba-tiba saja dalam hati saya ada bisikan, “Coba tanya, punya foto teman-teman kantor nggak?” Bisikan dalam hati itu saya tindak lanjuti dengan meminta suami Yanti untuk mengumpulkan foto teman- teman kantornya.

“Saya akan melacak siapa pencurinya di antara foto-foto ini, tapi dengan syarat bapak tidak menuduh,” pesan saya kepada suami Yanti untuk tidak menuduh dan mencelaka siapapun orang yang tertunjuk nantinya.

Setelah fotonya di jejer di atas meja, saya pandangi dan saya dekatkan ujung jan saya ke foto-foto. Tiba-tiba ada bisikan dalam hati, “Orang ini pencurinya. Selanjutnya tangan saya bergerak menunjuk foto itu. Bisikan dalam hati itu masih terus menguasai diri saya dan kembali mengarahkan apa yang harus saya lakukan. “Pegang kepalanya. Waktu itu saya tidak memegangnya karena dia laki-laki. Saya hanya mendekatkan tangan ke depan wajahnya dengan jarak 2 senti, tanpa menyentuh wajahnya. Tiba-tiba tangan saya bergetar, seakan ada dua kekuatan yang saling menarik satu sama lainnya. Kekuatan dari tangan saya dan kekuatan yang berasal dari suami Yanti. Tiga menit kemudian saya tarik tangan saya dan saya buang ke atas. Sebenarnya adu kekuatan semacam ini sering kali terjadi pada saat saya mengobati orang sakit.

Sepulang dari rumah Yanti, malam harinya saya berdoa dengan bahasa Indonesia, “Kalau memang suami Yanti itu ada yang ngganggu di kantor, Ya Allah. Berilah petunjuk kepada orang itu supaya dia mengakui kesalahannya.” Selang seminggu kemudian Yanti menelpon dan bercerita bahwa pencurinya sudah mengakui kesalahannya dan suaminya sudah terbebas dari tuduhan. Telpon dari Yanti itu tidak membuat saya besar kepala, lalu menobatkan diri sebagai seorang paranormal.

Sampai detik ini, saya tidak menceritakan pengalaman itu kepada pihak keluarga saya. Karena ketika itu saya sendiri masih ragu, apakah keahlian ini dari Allah ataukah tipu daya jin yang menyatu dalam diri saya. Kekhawatiran yang sangat beralasan. “Kalau dari jin akan saya buang. Tapi kalau dari Allah akan saya pertahankan untuk menolong orang lain.”

Kebimbangan itu yang mela tarbelakangi mengapa sampai sekarang pihak keluarga tidak ada yang tahu. Kalau saya bilang dari Allah, saya khawatir keluarga saya akan membisniskan sebagaimana tawaran yang pernah saya terima dari seseorang yang dianggap sebagai tokoh agama. Dia pernah menawari saya untuk bergabung di tempat prakteknya yang cukup terkenal di bilangan Depok. Tapi saya tidak mau menerima tawaran itu, meski saya dibilang sebagai kaum muda yang cukup potensial menjadi paranormal.

Saya memang berkali-kali membantu orang lain, tapi entahlah ketika cara yang sama itu saya terapkan untuk mengobati ibu, saya tidak bisa menyembuhkannya. Saya mencoba berkali-kali, hingga akhirnya muncul bisikan dalam hati, “Dia memang sakit medis.”

 

Kebohongan jin yang mengaku sebagai ruh Rasulullah

Kebimbangan saya hilang seminggu sebelum bulan Ramadhan tahun 2003 lalu. Bisikan dalam hati saya mulai bertingkah aneh. Bisikan itu mulai mengaku yang tidak-tidak, “Saya ruh Rasulullah. Saya ini ruh Rasulullah yang punya anak bernama Fatimah.” Bisikan itu selalu hadir dalam hati. Saya tidak tinggal diam, karena sejak saat itu saya yakin bahwa kemampuan aneh yang saya miliki memang berasal dari jin. “Kamu pasti jin kafir,” demikian saya selalu berdialog dengan jin itu dalam hati. Tapi jin itu masih mengaku sebagai ruh Rasulullah hingga berhari-hari.

Untuk mengurangi bisikan jin, saya memanfaatkan bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena saya sadar bahwa sudah banyak kesalahan yang terjadi karena ulah jin. Akhirnya pilihan saya jatuh pada masjid Alhikmah, di Jakarta Selatan yang menyelenggarakan tarawih satu juz semalam. Pedih rasanya, shalat tarawih yang seharusnya dapat saya nikmati dengan baik, ternyata tidak berjalan seperti yang saya harapkan. Bacaan imam tarawih itu ditirukan oleh jin dalam hati saya dengan suara lirih. Lebih gawat lagi, suara linh itu ditimpali dengan suara perempuan yang bernyanyi, “Jinggobel jinggobel. “selanjutnya diikuti dengan suara ketiga yang tidak kalah kerasnya, “Hong wilaheng”

Saya berusaha tenang agar tidak terpengaruh ocehan- ocehan jin, yang menghiasi malam tarawih selama bulan Ramadhan. Dan siangnya diganti dengan bisikan yang lain.

 

Perkenalan dengan Majalah Ghoib

Menjelang takbiran idhul fitri 2003, saya bertemu dengan Lisa, seorang teman kuliah yang sudah lama tidak bertemu. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk menyampaikan kepedihan hati, “Saya dirasuki jin yang mengaku ruh Rasulullah”. Lisa tidak langsung menanggapinya. Di luar dugaan saya, dia bahkan meminta kejelasan berita yang didengarnya, “Dengar-dengar mbak bisa mengobati juga ya?” tanyanya “Iya sih. Sekarang jin itu mengaku ruh Rasulullah,” kata saya dengan lirih. Saat itu Lisa menyarankan saya untuk berobat ke Majalah Ghoib “Kalau itu adalah bisikan, pasti jin akan bereaksi ketika mendengar bacaan ruqyah,” ujar Lisa berusaha menghilangkan keraguan saya.

Sehabis lebaran saya putuskan untuk mengikuti terapi ruqyah di Majalah Ghoib yang saat itu masih bertempat di Kebon Manggis. Saat mendengar ayat-ayat ruqyah atau ketika urat syaraf tertentu dipijat oleh ustadz Junaidi, saya berontak sehingga harus dipegangi oleh lima orang. Anehnya jin yang telah menyatu dengan diri saya itu tidak mau berbicara. Dia hanya mau berdialog dengan saya melalui batin saja. Ya, jin itu terus memaki-maki, “Bangsat lu, anjing lu,” ocehan jin yang tidak didengar ustadz Junaidi, karena ocehan itu hanya terbetik dalam hati saya saja.

Selanjutnya jin itu mengaku sebagai nenek saya, “Saya ini mbah Wiji, nenek kamu yang di Bali,” jin itu mulai mengiba agar saya menghentikan ruqyah. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak mau lagi menjadi budak jin dengan menuruti bisikannya. Beberapa saat kemudian bisikan itu berubah menjadi erangan, “Panas. Panaaas. Bangsat lu, anjing!” Setelah erangan kepanasan, beberapa saat kemudian saya merasakan ada sesuatu yang keluar dari kepala saya.

Setelah ruqyah yang pertama bisikan dan gangguan jin semakin meningkat. Bila dulu bisikan itu hanya terdetik dalam hati, sekarang bisikan-bisikan itu beralih ke telinga. Jin itu mengoceh selama dua puluh empat jam, menceritakan sejarah masa lalu saya.

“Waktu masih kecil kamu sakit cacar, sehingga baru bisa berjalan setelah berusia empat tahun. Kamu juga pernah diajak jalan-jalan oleh mbah Wiji,” bisikan jin di telinga itu mengingatkan saya pada masa kecil dulu.

“Saat sekolah SMP, kamu pacaran sama si A dan si B.” Saya sedih, mengapa bisikan- bisikan itu benar adanya. Dia mengingatkan kembali kepada cinta monyet yang saya alami dulu. Ya, saya seakan memutar kembali perjalanan masa lalu saya. Bila sudah tamat ceritanya, maka jin itu akan mengulang dari awal lagi. Sebuah perjalanan yang berat memang. Sehingga saya harus meninggalkan semua aktifitas di luar rumah.

Yang lebih menyedihkan, sekarang jin itu mencoba merusak hafalan saya. Dulu, sebelum diruqyah, saya sudah hafal Juz Amma dan surat Yasin. Tapi sekarang, saya tidak lagi bisa menghafal surat Yasin.

Waktu saya paksa untuk menghafal ayat-ayat ruqyah, sulitnya bukan main. Sangat berbeda dengan dulu waktu masih kuliah. Ironisnya, untuk urusan-urusan kecil pun harus saya catat. Janji dengan teman, pinjam uang kepada adik atau bahkan jadwal mengajak orang tua untuk jalan-jalan. Pendek kata, semua aktifitas sehari-hari harus tercatat rapi, bila tidak ingin terlewatkan.

Selang tiga minggu dari ruqyah pertama saya mengikuti lagi ruqyah yang kedua. Tapi hasilnya tetap sama, jin dalam diri saya tidak mau membuka mulut. Beraninya hanya mencaci dari belakang. Cuma volume suaranya saja yang semakin mengecil.

Selain itu, jin mulai membisikkan cerita penuh kebohongan. Misalnya pernah ada bisikan di telinga bahwa seorang teman kuliah saya ada yang murtad. Saya terkejut, lalu saya menghubungi beberapa teman lain, tapi hasilnya ternyata salah. Ada juga bisikan yang mengatakan bahwa seorang teman saya di Ciputat yang bernama Yaya meninggal, setelah saya cek ke beberapa teman ternyata Yaya sehat-sehat saja..

Aneh, kalau dulu saya melihat makhluk misterius saat mata saya terbuka, tapi setelah ruqyah kedua, saya sering melihat kelebatan manusia cebol, serigala atau kucing di pelupuk mata saya. Makhluk- makhluk itu hanya berlarian saling mengejar.

Meski gangguan itu terasa makin berat, saya tidak akan menyerah. Saya yakin jin yang merasuk dalam tubuh saya bertahun-tahun lamanya tidak akan begitu mudah tunduk. Saya yakinkan diri saya bahwa seiring dengan perjuangan saya jin itu akan lumpuh. Setelah mengikuti ruqyah yang keempat kalinya. Jin yang merasuk dalam diri saya mulai marah. Dia mulai mengganggu tidur saya. Seperti yang terjadi pada suatu malam, saya bermimpi menyeramkan. Ada sosok wanita berpakaian putih-putih yang mengaku bernama Sulis, seperti nama saya sendiri, mencekik leher saya Saya meronta-ronta, tapi badan saya sulit digerakkan. Seakan ada yang menekan lengan saya, hingga susah payah saya berteriak, “Tolong Tolooong” sebelum akhimya adik menggoyang-goyang badan saya.

Jin dalam tubuh saya sekarang semakin mengganggu, setelah ruqyah yang ke empat. Jin itu semakin merasa terusik dengan ruqyah. Tetapi saya telah bertekad untuk mengeluarkan jin dari tubuh saya dengan cara ruqyah Islami.

Di balik peristiwa ini saya mencoba mengambil hikmahnya. Seperti yang terjadi sekarang. Saya aku ini adalah bentuk teguran Allah, karena selama ini saya kurang memperhatikan kehidupan orangtua. Bapak terserang stroke. Dan tidak bisa banyak bergerak. Untuk urusan mandi saja, beliau harus dibantu anak-anaknya. Jalan jauh sedikit saja juga harus dituntun. Sedangkan ibu sendiri masih belum sembuh. Inilah kesempatan saya untuk terjun langsung dan tidak hanya berpangku tangan, menyerahkan semua urusan kepada adik-adik.

Selain itu, saya juga tidak akan pernah tertipu oleh paranormal yang berkolaborasi dengan jin dalam keseharian mereka. Ini bukanlah sekedar teori, karena saya sendiri telah mengalami bagaimana jin itu mempengaruhi diri dan kejiwaan saya.

 

 

Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN