“Saya Masih Punya Allah yang Selalu Menyertai”

Siang itu langit mendung menyelimuti kota Bogor. Seorang bapak dengan menggunakan tongkat sederhana yang terbuat dari kayu, berjalan tergopoh-gopoh, menyusuri trotoar di depan Masjid Raya Bogor menuju ke Terminal Baranang Siang. Ketika Majalah Ghoib menemuinya, bapak ini baru saja menunaikan sholat Jum’at untuk kemudian berangkat menuju Depok mencari adik iparnya yang sudah lama tidak pulang. Beribu kisah sedih yang dialaminya sejak kecil, diceritakannya dengan penuh keikhlasan. Berikut kisahnya.

Nama saya Aji Supriyanto. Saya dilahirkan di kota Medan, 5 Mei tahun 1945 tepatnya di daerah Sijungjung, Sumatera Utara. Sejak kecil saya tidak begitu kenal dengan kedua orang tua. Karena, ketika saya berusia 5 tahun Kedua orang tua saya tersebut meninggal dalam perang mempertahankan republik ini dari penjajah. Saya sudah tidak punya saudara siapa-siapa lagi.

Kemudian saya dijadikan anak angkat, oleh sebuah keluarga dari Sinjin, Padang, Sumatera Barat yang tidak punya anak semenjak mereka menikah. Bapak Saoman namanya, seorang guru SMEA dan Ibu seorang guru Sekolah Dasar. Kami tinggal di perkebunan yang dikelola sendiri setelah kedua orang tua angkat saya pulang dari mengajar. Saya sekolah di SD negeri, tempat ibu angkat saya mengajar. Sehingga boleh dikatakan pendidikan saya sangat memadai. Karena orang tua angkat saya keduanya adalah guru. Sepulang dari sekolah saya ikut ke kebun untuk membantu kedua orang tua mengelola perkebunan, setelah itu, sore harinya saya mengaji di pesantren yang berdampingan langsung dengan sekolah saya.

Di pesantren saya diajarkan hapalan huruf hijaiyyah oleh pak ustadz dan itu menjadi bekal saya dalam membaca al Qur’an sampai sekarang. Saya hidup dalam kondisi yang sangat bahagia karena diasuh oleh kedua orang tua angkat yang sangat menyanyangi saya dan telah menganggap saya sebagai anak kandung mereka. Ketika saya berusia 10 tahun. Saya mengalami sakit panas yang sangat tinggi selama 2 hari 2 malam, kemudian saya dibawa ke mantri. Oleh mantri tersebut saya sangat sering disuntik dan juga di beri obat untuk mengobati sakit panas saya. Pada jaman itu dokter masih sangat sulit, adanya hanya di kota besar saja. Sedangkan di desa kecil seperti tempat tinggal saya ini, yang ada hanya mantri saja. Setelah disuntik saya terus tidur untuk beristirahat. Ketika saya bangun dan minta makan kepada kedua orang tua, mereka bilang kepada saya. “Ayo bangun sendiri dan segera makan agar cepat sembuh.” Tetapi alangkah kaget dan sedihnya saya ketika saya tidak sanggup menggerakkan kedua kaki dan tubuh saya sejak itulah saya lumpuh seperti sekarang ini. Selain saya, yang lebih sedih adalah kedua orangtua saya, karena selain saya adalah anak angkat, sekaligus satu-satunya buah hati mereka yang akan menjadi penerus mereka kelak.

Saya sempat terpukul dengan peristiwa ini, sehingga saya sering termenung sendiri di kebun. Kadang-kadang tak terasa air mata menetes di pipi, terlebih kalau saya ingat kedua orangtua kandung yang telah lama meninggalkan saya. Tapi saya terus bersyukur kepada Allah karena sejak saya lumpuh, kalau saya mau pergi ke sekolah dan ke kebun, ibu saya selalu menggendong saya di pundaknya dan mengurus saya dengan telaten. Dalam keadaan seperti itu, keinginan saya untuk sekolah semakin membara. Sampai pernah suatu kali, ketika ibu sedang tidak bisa menggendong saya karena sakit, sambil bertopang pada tangan dan berjalan sambil mengesot saya tetap berusaha pergi ke sekolah. Sehingga walaupun teman-teman banyak yang mengejek dan merasa heran, saya tetap semangat sekolah sampai akhirnya saya lulus Sekolah Dasar. Sehingga seiring dengan perjalanan waktu, teman-teman sudah sangat terbiasa dengan keadaan saya yang cacat seperti ini.

 

Orangtua tiada, rumah disita

Setelah lulus Sekolah Dasar, saya tidak langsung melanjutkan sekolah. Karena ibu menasehati agar saya sembuh total terlebih dahulu. Ketika saya genap berusia 16 tahun, saat saya sedang butuh teman untuk berdiskusi dan perhatian yang lebih, ibunda saya tercinta akhirnya meninggal dunia karena tertabrak motor ketika sedang berjalan di jalan raya. Saya seperti kehilangan kendali, orang yang selama ini menyayangi saya dengan sepenuh hati, akhirnya harus meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Sejak itulah saya tinggal bersama bapak berdua di rumah, sambil mengurus kebun, sampai tak terasa usia saya sudah semakin dewasa, telah menginjak angka 25 tahun.

Pada saat usia saya telah mencapai seperempat abad, Allah kembali menguji keimanan saya dengan meninggalnya bapak karena sakit. Sejak itu saya hidup sebatang kara tanpa siapapun berada di dekat saya. Saat kematian bapak baru saja mencapai hari yang ke seratus, tiba-tiba datang surat dari bank yang menyatakan bahwa rumah saya akan disita. Saya bertambah bingung. Orang tua yang saya cintai yang selalu memberi perlindungan kepada saya yang cacat ini, telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Ditambah lagi rumah yang menjadi sandaran saya hidup seorang diri, kini harus disita. Pada saat itu saya katakan pada orang bank, kalau rumah saya disita, saya harus tinggal di mana. Lebih dari itu, uang pensiun orang tua saya, juga diambil semuanya oleh pihak bank. Lengkap sudah penderitaan yang saya alami.

Menurut pihak bank, bapak angkat saya terlibat hutang dan belum sempat terbayar semua. Saya mencoba meminta bukti surat menyurat dari pihak bank. Saya juga sempat melaporkan hal ini kapada pihak kepolisian setempat. Pihak kepolisian menyatakan bukti yang dibawa pihak bank tidak kuat, maka rumah tersebut masih hak milik saya. Akan tetapi karena saya berjuang sendirian serta tidak mampu membayar pengacara, akhirnya saya kalah. Belum tuntas masalah tersebut terselesaikan, rumah saya kebakaran. Saya menduga ini dilakukan oleh pihak bank. Pada saat itu yang bisa saya bawa hanya pakaian yang melekat di badan dan surat tanah yang masih bisa saya selamatkan. Karena sudah tidak punya apa-apa dan siapa- siapa lagi, Saya memutuskan untuk menjual surat tanah seharga Rp. 300.000 untuk bekal hidup saya seorang diri.

Sekitar tahun 70-an, saya memutuskan untuk merantau. ke Ibukota Jakarta, dengan kondisi tubuh saya yang cacat. Kalau berjalan saya harus di topang dengan memakai tongkat kayu sederhana karena saya belum mampu membeli yang terbuat dari besi. Tiba pertama kali di Jakarta, saya mencoba mangadu nasib di daerah Tanah Abang dengan berdagang kaos kaki. Alhamdulillah saya bertemu dengan seorang agen kaos kaki yang kemudian menyuruh saya dagang dan tinggal bersama di rumahnya. Hidup sebagai pedagang kaos kaki saya jalani selama 6 tahun, sebuah perjuangan hidup yang tak mudah saya lakukan tanpa ditemani orang-orang yang mencintai saya. Dalam aktivitas ibadah sholat, saya panjatkan doa untuk mereka semoga dapat hidup bahagia di akhirat kelak.

Perjuangan hidup untuk meraih cita-cita. Saya jalani ditengah-tengah trotoar jalan dan lalu lalang manusia dalam melaksanakan aktivitas mereka. Berjualan kaos kaki, sepatu serta baju murah terus saya lakukan hingga tahun 90-an dengan modal bantuan dari bos saya, seorang agen kaos kaki tersebut, di tengah kejaran dan intaian pertugas trantib. Pernah suatu kali, dagangan saya diangkut ke Kantor Walikota, setelah diberi pengarahan saya dilepas lagi. Tapi hari itu saya tidak dapat uang, karena seharian ditangkap. Untuk makan akhirnya saya pinjam sama teman-teman.

Bos saya, untuk mengembangkan usahanya mengajak saya merantau ke Palembang untuk berjualan baju. Di sana saya bertemu dengan seorang wanita langganan kami. Akhirnya saya kenalan, dan dia mengajak saya ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Pada saat itu saya gemetar, setengah tidak percaya kalau ada wanita yang akhirnya bersedia menjadi istri saya, sungguh anugerah terindah yang pernah Allah berikan kepada saya. Perasaan haru tersebut bercampur menjadi satu dengan kebingunan akan mendapatkan biaya pernikahan dari mana, serta siapa yang akan menemani saya di hari bahagia yang telah lama saya nantikan. Tanpa proses panjang dengan ditemani bos, kami langsung mengadakan akad nikah dalam suasana yang khidmat. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi saya, membayangkan kalau saja kedua orangtua angkat saya hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah tersebut. Namun saya tidak mau terlalu larut dalam kesedihan, sebab memang hidup saya ini, selalu bersama bayang-bayang kesedihan dan keprihatinan. Tidak, saya tidak boleh cengeng. Saya masih punya Allah yang selalu menyertai saya kemanapun saya pergi. Itu yang membuat saya tetap kuat menjalani hidup yang keras ini. Saya dikaruniai seorang anak laki-laki, setelah usia pernikahan menginjak 2 tahun berselang.

Bersama istri dan anak, saya tetap tinggal di rumah bos saya di Jakarta. Namun sejak tahun 1992, saya mencoba usaha sendiri dengan berdagang jam di Glodok sebagai pedagang kaki lima. Dari rupiah demi rupiah yang kami kumpulkan. Di tahun 1996 saya bisa menyewa toko dan berjualan alat-alat elektronik yang saya ambil dari agen yang lebih besar dengan dibayar setelah barang laku terjual. Tak terasa saya akhirnya dapat membeli kendaraan operasional walaupun bekas. Proses bisnis saya berjalan sangat lancar, sehingga kehidupan saya mulai semakin membaik.

Tetapi ujian itu datang lagi. Semua barang dan uang yang saya kumpulkan, kembali harus hilang secara cepat. Saat terjadi kerusuhan tahun 1998. Semua harta saya yang ada di toko terbakar, termasuk kendaraan yang saya miliki. Di tahun 1999, saya membawa pindah keluarga ke Bogor, tinggal di rumah sendiri. Karena biaya hidup di Jakarta sangat mahal. Di tahun itu juga, saya kembali merintis dari nol, untuk kembali berjualan jam eceran di Glodok. Dan sekarang usia saya sudah semakin tua, fisik saya sudah tidak seperti dulu, bagi saya walaupun saya cacat. Pantang meminta-minta kepada orang lain. Sekarang untuk berjualan jam, saya serahkan ke adik saya, yang nantinya setor keuntungan ke saya. Dari situlah saya membiayai kehidupan keluarga saya di Bogor ini. Sambil sesekali mengontrol dagangan di Glodok. Saya berharap semoga saya bisa mendidik istri dan anak saya dengan baik sesuai ajaran Islam.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN