Saya Merasa Dimuliakan Allah diatas Orang Normal

Ratusan pasang mata nyaris tak berkedip menyimak uraian dari ustadz muda itu. Kelugasan suaranya dengan gaya arasi yang memikat membuat orang selalu antusias mengikuti ceramahnya sampai selesai. Kemahirannya dalam menghubungkan satu ayat dengan ayat lain yang memang telah dihapalkan diluar kepala merupakan pesona tersendiri dalam setiap ceramahnya. Sementara, keindahan suaranya ketika memimpin shalat membuat suasana khusyu dan tidak jarang membuat orang menangis. Di tengah keterbatasannya sebagai tunanetra ternyata tidak mengurangi kharisma dan wibawanya di tengah ummat la adalah Ustadz Muhammad Iqbal. Kini di usianya yang menginjak 31 tahun, ia dipercaya sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Darul Istiqamah cabang Bulukumba Sulawesi Selatan. Kepada Majalah Ghoib Ustadz muda itu menuturkan kisah hidupnya.

Dusun Hadong Desa Latellang adalah desa dimana saya dilahirkan. Desa yang terletak di Kecamatan Patimpeng ini termasuk wilayah Kabupaten Bone Selawesi Selatan. Maklumlah, karena di desa saya tidak tahu persis tanggal dan bulan berapa saya dilahirkan. Yang saya tahu saya lahir tahun 1972. Oleh orang tua saya diberi nama Muhammad Iqbal. Saya anak ke 2 dari 5 bersaudara.

Sejak lahir saya sudah ditaqdirkan tidak bisa melihat ciptaan Allah yang terhampar di muka bumi ini. Namun saya tetap mampu merasakannya dengan indera yang lain. Itu sebabnya saya tidak pernah merasa mengeluh dan minder dengan cacat yang saya alami. Walaupun saya tahu orang tua dan beberapa saudara saya ada yang malu punya keluarga yang buta. Perasaan mereka ini bisa saya rasakan walaupun terkadang bercampur dengan kasih sayang. Mereka kasihan kalau saya diejek dan dipermainkan orang lain. Inilah yang menyebabkan saya dibatasi dalam pergaulan dan dilarang banyak keluar rumah.

Hal ini jelas membuat saya merasa tertekan dan merasa kebebasan saya dikebiri. Apalagi sejak usia balita keingintahuan saya terhadap sesuatu cukup tinggi. Apa yang dilakukan orang lain selalu juga ingin saya lakukan. Saya ingin diterima masyarakat, sama seperti yang lain. Saya pun bertekad untuk bekerja dan berkarya agar saya tidak diremehkan orang atau setidaknya ketika ada yang simpatik atau mau membantu, saya juga bisa membantu mereka.

Hal ini membuat saya sering nekat keluar rumah, bergaul dengan masyarakat dan bermain bersama teman-teman, walaupun biasanya ketika ketahuan saya dimarahi. Walaupun saya buta tapi saya tetap ingin melakukan permainan sebagaimana teman-teman yang lain. Misalnya, layang- layang, sayapun mencoba dan terus mencoba sampai akhirnya sayapun bisa menaikkan layang- layang meski layangannya tidak kelihatan.

Adapun kegiatan di dalam rumah berhubung saya tidak bisa melihat maka saya hanya banyak mendengarkan radio. Acara yang saya suka waktu itu ada 3, yaitu siaran berita, sandiwara radio, dan musik qasidahan. Hal ini membuat saya banyak mengenal perbendaharaan bahasa Indonesia yang mana di desa saya kala itu belum banyak yang mengenal bahasa Indonesia.

Ketika memasuki usia sekolah saya pun berminat ikut sekolah. Waktu itu di desa saya baru saja didirikan SD Inpres. Hal ini pun saya utarakan ke orangtua. Namun orangtua saya merespon negatif. Menurutnya kalau saya bersekolah hanya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan teman- teman yang akhirnya membuat malu keluarga. Bukan hanya orangtua, saudara-saudara saya pun tidak setuju jika saya ikut bersekolah. Alasannya sama, mereka malu kalau ketahuan bahwa murid yang buta itu saudara mereka. Sekali lagi saya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat saya untuk ikut. Di saat orang tua bekerja di sawah, secara diam-diam saya berangkat ke sekolah. Alhamdulillah di sekolah saya disambut baik para guru. Walaupun tanpa proses pendaftaran saya bebas memasuki kelas mana saja yang saya mau. Betapa bahagianya saya saat itu. Namun ketika kembali ke rumah saudara saya melapor ke orangtua kalau saya ikut sekolah. Saya pun diomelin habis-habisan.

Keesokan harinya saya tetap ke sekolah akhirnya orangtua saya bosan memarahi saya dan akhirnya dibiarkan saja tapi dengan syarat kalau ada apa- apa saya jangan mengadu atau minta dibela.

Setelah berjalan sekitar 6 tahun murid yang seangkatan dengan saya sudah tamat dan melanjutkan ke SMP. Saya pun sangat berkeinginan merasakan jenjang SMP. Namun kendala semakin besar menghadang. Kakak saya yang sudah duluan masuk SMP mengancam akan keluar sekolah jika saya juga bersekolah di sekolahnya. Akhirnya orangtua membujuk saya untuk mengurungkan niat masuk SMP. Saya pun akhirnya mengalah.

Beberapa waktu kemudian saya bertemu teman lama bernama Alimuddin yang katanya lagi nyantri di Pesanten Darul Istiqamah di wilayah Maros. Dia pun bercerita dan akhirnya mengajak saya untuk ikut nyantri di pesantren itu. Sayapun tertarik dan menyampaikannya ke orang tua. Orangtua tidak melarang namun mereka bilang tidak bisa membantu banyak. Tetapi Alhamdulillah saya banyak dibantu oleh keluarga Alimuddin. Sampai akhirnya saya pun berhasil mondok di pesantren itu.

Saya mulai mengenal Islam sedikit demi sedikit yang selama ini saya akui jarang sekali saya dapatkan. Pengetahuan tentang Islam yang semestinya saya peroleh dari keluarga tidak saya dapatkan. Saya bersyukur, Allah mentakdirkan saya masuk pesantren yang dengannya saya mendapatkan hidayah. Hidayah yang dengannya saya menemukan hakikat kehidupan. Hidayah yang betul-betul memuliakan hamba yang berpegang teguh padanya.

Setelah beberapa lama di pesantren saya mulai ikut program tahfizh Al-Quran. Dengan menggunakan metode listening dari teman sesama santri. Saya menyelesaikan 30 juz dalam waktu kurang lebih 2 tahun. Alhamdulillah, walaupun tidak mampu melihat, Allah mengaruniakan ketajaman ingatan yang dengannya selain menghafal Al- Quran saya juga berhasil menghafal beberapa hadits-hadits. Sedikit demi sedikit saya pun belajar ceramah yang memang diprogramkan pondok. Alhamdulillah dari waktu ke waktu saya banyak diundang untuk mengisi ceramah-ceramah baik di masjid maupun acara khusus seperti pernikahan, aqiqah, tasyakuran, dan beberapa kegiatan lainnya. Saya pun berusaha untuk membekali diri dengan disiplin ilmu agama yang lain dan wawasan pengetahuan umum. Bahasa Arab saya pun alhamdulillah sekarang sudah bisa dipakai ngobrol.

Tahun 1992 adalah tahun yang cukup berkesan bagi saya. Waktu itu sekitar bulan Agustus saya dipanggil oleh Pimpinan Pesantren Darul Istiqamah, Ustadz M. Arief Marzuki, untuk menghadap. Saat itu saya sedikit kaget, tugas apa gerangan yang akan diamanahkan kepada saya, atau apakah saya ada kesalahan? Beragam pertanyaan terbayang di benak saya. Ternyata setelah menghadap saya ditanya, “Kamu mau nikah nggak?” Bagai mendengar gemuruh di siang hari. Dengan gugup dan sedikit tak percaya saya jawab, “Sebagaimana manusia normal saya mau saja Ustadz, tapi memangnya ada yang mau nikah sama orang buta seperti saya?” Beliau menjawab, “Insya Allah, yang penting kamu sudah siap.”

Beberapa hari berselang, hari bersejarah itu akhirnya tiba. Di saat usia saya genap 20 tahun tepatnya tanggal 28 Agustus 1992 saya mempersunting seorang santriwati asal Kab.Enrekang, Nahariyah. Dengannya saya mengarungi bahtera rumah tangga. Saya sangat bersyukur mendapatkan istri yang dapat mengerti dan menerima saya apa adanya. Padahal saya bukanlah orang pertama yang datang meminang, beberapa pemuda sebelumnya pernah datang, tapi karena bukan jodoh semuanya gagal. Dari pernikahan ini kami sudah dikaruniai 3 putra dan 2 putri, Muslimah (9); M. Ahsan (8); Muhsin (7); Mubasyirah (5); dan Mustajab (3). Alhamdulillah anak-anak saya bisa patuh kepada orangtua bahkan mereka terkadang membanggakan saya di depan teman-temannya. Mungkin karena mereka sering melihat orang-orang yang begitu menghormati saya.

Alhamdulillah setelah menikah saya sering diamanahi beberapa tugas yang cukup berat di antaranya saya diangkat menjadi mudir (direktur) bidang Tahfizhul Quran yang mengasuh ratusan calon hafizh (penghafal Al-Quran) Setelah itu tugas saya semakin berat, saya diangkat menjadi Pimpinan Pesantren Darul Istiqamah Cabang Kab. Gowa se bagai cabang Pesantren Pusat Sedangkan untuk se karang ini saya dipercaya memimpin pesantren Cabang Kab. Bulukumba yang mengasuh ratusan santri.

Ada cerita yang membuat saya terharu di Bulukumba ini. Pernah di daerah ini kerap terjadi kerusuhan akibat perselisihan antar penduduk desa. Saya pun diminta oleh para pemuka masyarakat untuk ikut membantu meredam perseteruan ini. Saya akhirnya berkesempatan berceramah di hadapan mereka. Alhamdulillah seusai ceramah banyak yang tersadar dan mereka akhirnya saling berdamai sampai sekarang.

Saya tidak henti-hentinya memuji dan bersyukur ke hadirat Allah. Nikmat yang Allah berikan begitu banyak. Sehingga cacat yang saya alami terasa tidak ada apa-apanya. Bahkan saya merasa sangat dihormati, dihargai dan dimuliakan jauh melebihi orang-orang normal. Inilah hakikat kemuliaan. Di saat kita mendekatkan diri dan taat kepada Allah maka Dia akan memuliakan dan mengangkat derajat kita, sebaliknya jika kita jauh dan bermaksiat maka kita akan dihinakan dan direndahkan derajat kita baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Bahkan di akhir surat Thaha dijelaskan, bahwa mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta meskipun ketika di dunia mereka melihat. Ini pulalah yang sering saya ungkapkan di depan saudara-saudara saya sesama tuna netra bahwa kita di dunia sudah buta jangan sampai di akhirat juga buta.

Sebagai sesama anak bangsa yang mempunyai semangat menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini, saya menghimbau agar kita menekan semaksimal mungkin perselisihan akibat perbedaan metode dakwah. Mereka yang berjuang dengan jalur politik mari kita dukung dan mereka yang tidak menggunakan jalur politik kita persilakan juga, dan jangan sampai satu sama lain saling menghujat dan menyalahkan. Dan dalam membangun ummat ini kita tidak cukup dengan satu metode dan satu aspek saja yang kita benahi, kita butuh beberapa metode dan banyak aspek yang perlu kita benahi. Mari berjuang bersama-sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN