SAYA TERJERAT PELET SOPIR TAXI

Mulanya saya tidak berani menyatakan bahwa dulu saya pernah dipelet. Tapi setelah bertanya kepada ustadz yang menerapi saya di kantor ruqyah Majalah Ghoib cabang Padang, saya mulai berani menyatakan bahwa dulu saya pernah dipelet seorang sopir taxi yang akhirnya menjadi suami saya. Meski pernikahan kami tidak pernah disetujui orangtua saya.

Tahun 94, saya diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah di kota kelahiran saya. Meski terbilang jauh, tapi saya menikmatinya. Di tengah kesulitan mencari kerja, masih ada tempat yang menampung saya. Perjalanan ke kantor dengan bis umum, ditempuh selama satu jam setengah.

Tempat kerja yang jauh membuat saya terbiasa bangun sebelum Shubuh. Tapi entah kenapa suatu pagi di hari Senin, saya terlambat bangun hingga terburu-buru berangkat kerja. Kendaraan antar kota yang biasa saya tumpangi tentu saja sudah berangkat. Alhasil saya harus menunggu angkutan lain. Waktu berdiri di halte, tak sengaja saya melihat taxi yang sedang mengisi bensin di SPBU.

Tanpa pikir panjang, saya datangi sopir taxi yang berdiri di samping taxinya. Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya saya berangkat ke kantor naik taxi itu. Di separuh perjalanan, tiba-tiba sopir taxi yang memperkenalkan diri bernama Ogan menghentikan taxinya. “Sebentar saya beli rokok,” katanya.

Tak lama kemudian Ogan kembali. Perjalanan kembali diteruskan. “Ini permennya mau? Ambil!” katanya seraya menyodorkan permen. Saya diam saja. Saya memang tidak terbiasa makan permen. “Kenapa? Takut permennya diisi sesuatu?” candanya seraya menawarkan kembali permennya. Merasa tak enak, saya terima juga permen itu. Saya ambil satu lalu memakannya. Dari kaca spion saya lihat sopir taxi itu tersenyum-senyum. Entah apa yang dipikirkannya saya tidak lagi menghiraukannya.

Perjalanan dengan taxi memang lebih cepat. Satu jam perjalanan lebih sedikit. Meski hal itu tidak mengurangi keterlambatan saya, tapi tak apalah toh selama ini saya selalu tepat waktu. Dengan buru-buru ongkos taxi saya bayar. Setengah berlari-lari saya memasuki kantor.

Pada waktu jam istirahat kantor, saya mendapat telepon dari pos satpam. “Maaf Bu, di sini ada sopir taxi yang mengaku ibu pesan untuk mengantar ibu pulang.”

Saya terkejut. “Saya tidak pernah pesan taxi pak. Barang kali orang itu salah alamat,” jawab saya tanpa bisa menyembunyikan keheranan saya. Saya merasa tidak memesan taxi.

Saya tutup telpon. Rasa lapar membuat saya tak menanggapi adanya taxi yang entah di mana itu. Bersama Mbak Fitri dan Mbak Ria saya ke kantin. Saya pesan nasi goreng kesukaan saya. Nasi goreng di kantin sangat enak. Ditambah selada segar nasi goreng itu semakin enak. Sungguh tak teringat lagi tentang sopir taxi itu. Lagi pula tentu dia sudah pergi bila memang benar adanya. Untuk apa dia datang apalagi menunggu saya. Sedangkan bayar ongkos taxinya saja saya tawar semurah mungkin.

Jam kerja usai. Saya meniti jalan keluar kantor menuju halte bis antar kota yang mengantar saya pulang. Agar teriknya matahari tak terlalu terasa, Mbak Fitri dan Mbak Ria dan saya bersenda gurau. Senda gurau kami terhenti ketika taxi berhenti menghalangi jalan karni.

“Astaga…!” pekik saya. Ogan, sopir taxi itu datang lagi.

“Ada kemajuan nih adik kita Fit,” celetuk Mbak Ria.

“Nggak, tadi terpaksa saja kok, takut terlambat,” saya mencoba menjelaskan. Mbak Fitri mengangguk-angguk, sedang Mbak Ria masih tersenyum- senyum menggoda.

Sopir taxi itu keluar dari taxinya. Meski hati ini marah melihat gayanya, saya tetap tenang ketika dia menawarkan agar saya masuk ke taxinya. Kali ini dia ajak dua teman kantor saya. Nyaris kemarahan saya hendak meledak, tapi saya ingat nasehat ibu untuk tidak pernah marah kepada orang lain supaya diri ini tidak teraniaya kelak.

Bis angkutan yang saya tunggu datang. Bertiga kami naik bis antar kota. Ogan masih berdiri di sana. la diam terpaku. Wajahnya terus menatap kami. Sementara Mbak Fitri terus menggoda saya. Namun, perasaan dongkol membuat saya tak punya keinginan membalas gurauan Mbak Fitri.

Keesokan harinya sopir taxi itu datang lagi. Entah darimana dia tahu setiap jam berapa saya di halte menunggu bis angkutan kota. Dia menghampiri saya. Mulai sedikit kesal, saya menolak tawarannya untuk mengantar saya. Beruntung, selang beberapa saat kemudian bis yang saya tunggu datang, saya pun naik bis itu tanpa mempedulikannya. Perasaan tidak senang mulai muncul dalam diri saya. Saya tidak senang dengan sikapnya yang sok akrab dan berlagak seperti sudah kenal lama.

Kebencian saya semakin membuncah, tatkala Ogan terlihat di halaman parkir pangkalan taxi. la melambai- lambaikan tangan kepada saya. Kali ini saya pilih diam tanpa reaksi dan terus berjalan menuju tempat biasa menunggu bis. Mbak Fitri dan Mbak Ria yang melihat ulah sopir taxi itu tidak lagi mau menggoda. Tampaknya mereka mengerti ketidaksenangan saya.

Bukan profesi Ogan yang tidak saya senangi, tapi lebih karena sikapnya. Dalam beberapa kali pertemuan, saya menangkap sinyal tidak baik dari pancaran wajahnya. Meski saya akui, saya memang belum kenal siapa dia. Pertemuan kami sebatas dalam perjalanan ke kantor. Itu pun baru sekali serta ditambah dengan beberapa kali pertemuan singkat saat dia mencoba mendekati saya. Selain itu, saya masih belum berpikir untuk menikah.

Terus terang, kemunculan Ogan sudah membebani pikiran saya. Kehadirannya melahirkan ketidak tenangan dalam diri saya. Yang saat tengah mendapat tugas dari kantor untuk mengurus segala hal yang terkait dengan pendirian sekolah Taman Kanak- Kanak di lingkungan kantor.

 

SAYA TERJATUH DALAM PELUKAN SOPIR TAXI

Belum usai cobaan yang satu, muncul lagi persoalan baru. Seperti petir di siang bolong ketika pimpinan proyek pendirian Taman Kanak-Kanak meminta saya menghadap beliau.

Di ruang pimpro telah menunggu seorang perempuan berjilbab. Perempuan itu berkulit putih bersih. Cantik. Nyaris sempurna bila kursi roda itu tak ada. Wajah cantik itu masam dan geram melihat kepada saya.

Tanpa menunggu lagi, perempuan cantik itu memaki saya. “Ini dia pak, perempuan jalang yang minta dilamar suami saya,” suaranya yang keras mengejutkan saya. Baru dua detik saya duduk, perempuan yang baru saya lihat itu sudah menuduh macam-macam.

“Alasannya ke Padang beli peralatan sekolah, padahal pergi pacaran dengan suami saya. Hingga suami saya tadi malam minta izin untuk menikahi perempuan ini,”katanya dengan nada geram.

“Ngakunya guru, tapi apanya yang bisa ditiru?” perempuan yang tidak beranjak dari kursi roda itu terus mencecar saya. Saya diam terpaku. Sama sekali tak ada kesempatan untuk menjawab.

Nafasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia telah puas melampiaskan kekesalannya. Pimpro memberi kesempatan saya untuk membela diri. “Ibu, saya ke sini untuk bekerja. Belum ada niat untuk cari jodoh. Siapa nama suami ibu?”

“Pak Kadir,” jawabnya dengan suara gemetar.

Saya terkejut mendengarnya. Saya kenal baik dengan Pak Kadir, penanggung jawab pengadaan dana dan pembelian kebutuhan Taman Kanak-Kanak.

“Bu, setiap pergi belanja kami tidak berdua, tapi bertiga dengan sopir. Saya tidak akan mungkin sebodoh itu. Cincin yang selalu Pak Kadir pakai cukup untuk menjelaskan bahwa beliau sudah beristri,” Saya berusaha menjelaskan hubungan saya dengan Pak Kadir.

“Saya tak akan banyak bicara, tapi percayalah Bu, saya tidak punya niatan merebut suami ibu,” kata saya.

Perempuan itu hanya diam. Saya meminta izin kepada pimpro untuk kembali bekerja. Saya tinggalkan ruangan itu.

Sejak peristiwa itu, saya sengaja menjauhi Pak Kadir. Tak pernah saya memberinya kesempatan mendekati saya. Tapi entah bagaimana awalnya, suatu sore saya ditanya bapak dan ibu mengenai hubungan saya dengan Pak Kadir. Dari orangtua saya, saya ketahui Pak Kadir minta izin untuk menikahi saya. Saya jelaskan siapa Pak Kadir dan juga peristiwa di kantor itu. Orang tua pun memahami masalah saya dan menganggap masalah dengan Pak Kadir selesai.

Hari terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Taman Kanak-kanak pun telah berdiri. Saya diberi tanggung jawab menjadi kepala sekolah sekaligus guru kelas. Muridnya masih belum banyak. Masih terbatas pada anak-anak pegawai kantor yang tinggal di komplek.

Jarak antara kantor dengan sekolah yang agak jauh, membuat saya merasa aman dari pandangan Pak Kadir. Saya menikmati tugas baru sebagai guru sekolah Taman Kanak-Kanak. Namun, ketenangan itu kembali terusik oleh kehadiran seorang tamu tak diundang.

Doaarrr…. pintu didobrak dengan paksa. Istri Pak Kadir berada di depan pintu yang terbuka. Wajahnya beringas. Di tangan kanannya tergenggam sebilah badık. la berusaha masuk ke dalam ruangan dengan kursi rodanya.

Anak-anak menjerit ketakutan. Mereka berlarian tak tentu arah. Kehadiran istri Pak Kadir telah mengacaukan keasyikan mereka. Saya berusaha mmenenangkan anak-anak, tanpa pedulikan lagi keselamatan saya.

Syukurlah, tak terlalu lama beberapa satpam datang. Istri Pak Kadir diantar pulang. Dan anak-anak dipulangkan ke rumah masing-masing dengan mobil sekolah serta 2 orang satpam mengiringi.

Setiap hari, jumlah murid semakin berkurang. Orangtua mereka tidak lagi sudi mempercayakan anaknya pada saya. Gunjingan dan sindiran mulai rajin menyapa saya. Tak sanggup menanggung beban sendiri, saya akhirnya jatuh sakit. Kedua orangtua saya tak saya izinkan membantu saya dalam permasalahan saya. Menurut saya, saya tidak bersalah, jadi saya jalani saja.

Di tengah galau dan kacau, Ogan, sopir taxi itu muncul lagi. Kali ini saya rasakan kedatangannya membantu saya. Saya biarkan dia mengantar dan menjemput saya.

Pak Kadir tidak suka dengan kedekatan kami, hingga suatu hari terjadi adu mulut antara saya dengan Pak Kadir. Ogan tidak suka perlakuan Pak Kadir kepada saya. Tanpa basa-basi ia memukul Pak Kadir. Terjadilah pertengkaran. Pimpro memberi sanksi kepada saya dan Pak Kadir. Kami tidak boleh masuk kantor.

Bagi saya, cukup hari itu saya ke kantor. Saya putuskan untuk tidak bekerja lagi selamanya. Yang saya inginkan cuma satu. Menikah dengan Ogan. Keinginan itu pun saya utarakan kepada orangtua.

Bapak menampar saya. Untuk pertama kalinya saya mendapat tamparan dari bapak. Akibat tamparan itu sungguh di luar dugaan. Saya pingsan. Dan ketika sadar, mata sebelah kiri saya mengalami pendarahan di dalam. Perlakuan yang keras dari orangtua tidak menyurutkan niat saya.

Tapi justru memicu kenekatan. Saya mulai berani pergi bersama Ogan hingga larut malam. Tidak biasanya saya berani menentang orangtua. Tapi untuk masalah ini, saya sudah tidak bisa lagi dihentikan. Nasehat dari berbagai pihak saya anggap angin lalu. Hingga akhirnya, orangtua tidak memiliki pilihan lain. Mereka merestui pernikahan kami. Mereka pasrah menerima cemoohan kerabatnya.

Sejak itu, kami tinggal bersama orangtua saya. Setelah empat bulan berlalu, saya mengajak Uda Ogan untuk mengontrak rumah. Tidak enak rasanya selalu merepotkan orangtua. Terlebih bila saya telah hamil. Berbekal dari sisa tabungan saya, akhirnya kami pindah ke rumah petak. Sementara perabot dan alat rumah tangga dibelikan orangtua.

Saya sangat bahagia. Tapi tidak demikian dengan Uda Ogan, la mulai menunjukkan watak aslinya. Perut yang semakin membesar tidak berbanding lurus dengan cinta suami, la mulai acuh. Uang belanja yang seharusnya saya terima setiap hari, kadang diberi kadang tidak. Padahal saya tidak lagi bekerja. Untungnya, masih ada sisa tabungan di bank. Satu demi satu perlengkapan bayi mulai saya kumpulkan.

 

RETAKNYA JALINAN KASIH

Bulan suci Ramadhan tiba. Kehamilan memasuki usia tujuh bulan. Pagi itu saya hendak masak yang istimewa untuk buka puasa. Saya ke pasar ditemani Vivi, teman karib saya. Kami berangkat naik angkot. Angkot berjalan sangat pelan. Di depan sebuah rumah sakit, angkot berhenti. Saat itu mata saya melihat taxi yang disopir suami saya. Itu suami saya, gumam saya.

Dari jauh, saya melihat seorang perawat masuk ke taxi. Tapi mengapa duduk di sebelah suami saya? Saya mulai terbakar api cemburu. Entah mengapa seolah seperti diatur. Angkot yang saya tumpangi dan taxi yang dikemudikan Uda berjalan beriringan. Saya merasa tidak enak melihat keakraban Uda dengan penumpangnya. Taxi itu berhenti di depan salon. Tiba-tiba saya ingin menemui suami saya. Saya turun dari angkot disusul sahabat saya.

Saya hampiri taxi itu. Inna lillahi!” teriak saya spontan. Saya menyaksikan mereka tengah berciuman. Hati saya terbakar. Dengan cepat saya menghampiri mereka. “Dik, kamu tahu bahwa laki-laki yang mencium kamu itu suami saya?” kata saya dari luar pintu. Wanita itu terperangah. “Sekarang, ayo kamu keluar! Jangan sampai saya bertindak kasar!!” gertak saya. Perempuan itu pun pergi entah kemana.

Uda tidak kalah terkejutnya. Tapi ia tidak berbuat apa-apa. la hanya membiarkan perawat itu pergi. Saya masuk ke dalam taxi dengan perasaan marah yang tertahan. Di sepanjang jalan kami hanya diam. Saya tak ingin membuat keributan. Biarlah apa yang sudah terjadi menjadi kenangan meskipun pahit.

Tapi kesabaran saya ditanggapi lain oleh Uda. la merasa menang, hingga semakin menggila. Suatu hari saya mengajak Uda berkunjung ke rumah ibu, tapi ia menolak. “Saya di rumah saja agar bisa istirahat,” tolaknya dengan halus. Saya tidak mau memaksanya, kalau memang itu keinginannya Akhirnya saya berangkat sendiri ke rumah ibu.

Di rumah ibu, awalnya saya merasa nyaman. Ada suasana berbeda yang saya rasakan. Ibu membuatkan masakan istimewa kesukaan saya. “Perbaikan gizi,” kata ibu menyindir. Di tengah kegembiraan itu perasaan gelisah merayap ke dalam jiwa. Tak tahu apa sebabnya, jantung saya berdebar-debar. Akhirnya saya pulang diantar kakak.

Saya semakin takut ketika melihat tetangga berkerumun di depan rumah saya. “Dobrak saja” teriak seseorang di tengah kerumunan massa. Teriakan itu membuat nyali saya menciut. Apa sebenarnya yang telah terjadi. Sejurus kemudian terdengar suara pintu dibuka paksa. Pintu terbuka lebar. Saya menyeruak masuk ke dalam rumah.

“Ya Allah … !!!” pekik saya tertahan. Saya disuguhi pemandangan yang meluluhkan hati. Di atas tempat tidur, Uda dan seorang perempuan duduk ketakutan. Mereka tanpa busana. Tak sehelai benang pun menutupi aurat mereka. Saya jijik. Saya hanya sanggup menangis. Kemudian tidak tahu lagi apa yang terjadi. Menurut kakak, saya pingsan dan dibawa ke rumah sakit terdekat.

Sudah dua kali Uda mendzalimi saya dan anaknya yang masih dalam kandungan. Saya tidak kuasa lagi tinggal serumah dengannya. Akhirnya saya memilih pindah ke rumah ibu. Saya tidak lagi peduli, di mana suami saya.

Hingga tibalah saat-saat yang mendebarkan. Saat antara hidup dan mati menjalani proses persalinan. Semua itu tanpa kehadiran suami di tengah-tengah kami. Meski demikian, saya bersyukur anak saya lahir dengan selamat. Seorang anak perempuan yang cantik. Rani, nama yang telah saya persiapkan cocok untuk dirinya.

Seminggu kemudian, Uda datang. Saya menerimanya dengan baik. Saya biarkan ia mencium anaknya. Setelah saya rasa cukup, saya mengajaknya bicara. Saya utarakan niat saya untuk bercerai dengannya. Uda terkejut tapi la tidak membantah. Mungkin la merasa bersalah.

Saya urus perceraian itu dengan biaya sendiri. Tapi cobaan tidak berhenti sampai di sini. Di sekujur tubuh saya tumbuh bintik-bintik merah. Lama kelamaan bintik itu menghitam dan menebal seperti sisik. Bila Maghrib tiba saya merasa tersiksa. Kepala sakit dan sekujur tubuh gatal. Sakit dan gatal itu baru berkurang kala pagi menjelang.

Penyakit yang aneh memang, dengan bantuan temannya ibu berinisiatif ke dukun. Menurut dukun itu penyakit saya dikirim oleh mantan suami saya. Sungguh laki-laki tak tahu diri bila demikian adanya. Kesabaran seorang wanita harus dibayar dengan nestapa. “Bila terlambat diobati, sihir ini bisa membunuh anak ibu,” kata dukun kepada ibu, la kemu- dian memberi sebotol minyak ramuannya yang harus dioleskan ke sekujur tubuh saya yang bersisik.

Perih dan panas menjalar ke seluruh permukaan kulit yang diolesi minyak. Sakit sekali. Sekuat tenaga saya melawannya. Akhirnya saya tertidur. Ketika terbangun dari tidur, saya dapatkan sisik itu mengelupas berserakan di tempat tidur. Aneh memang, seperti cerita di film saja. Tapi begitulah kenyataannya. Kulit saya kembali normal tanpa bekas. Tanpa sisik lagi.

Karena kondisi kesehatan saya mulai stabil dan membaik, ibu berkunjung ke kampung bapak. Saya tinggal berdua dengan Rani. Pagi itu, seperti biasa saya menjemur pakaian. Rani saya taruh di ember besar hitam dengan mainannya. Sedang saya menjemur pakaian di samping rumah. Pagar kayu yang menjadi pengaman utama di depan rumah sudah saya pasang engselnya. Cukup aman, pikir saya.

Ketika saya kembali ke tempat Rani, saya tidak menemukannya lagi. Saya mencari ke dalam rumah dan ke seluruh penjuru ruangan. Rani tidak ada. la seperti hilang ditelan bumi.

Di tengah kegalauan itu ada seorang tetangga yang menemui saya. Katanya, ia melihat Rani digendong ayahnya. Taxinya diparkir jauh dari rumah saya sehingga saya tidak mengetahui kehadirannya. “Krilling,” dering telepon itu mengejutkan saya. Setengah berlari saya mengangkatnya. Dari seberang, saya mendengar suara yang tidak asing bagi saya. Uda, ya suaranya Uda. “Rani ada sama saya. Kamu tidak akan bertemu lagi dengannya,” ancam Uda dari seberang.

Saya panik. Saya segera menghubungi ibu. Tanpa menunggu kedatangannya saya mencari anak saya. Saya datangi kakak-kakak mantan suami saya. Namun, Rani tidak ada. Saya datangi temannya, juga tidak menemukan Rani.

Esok harinya, saya berangkat ke rumah orangtua mantan suami saya di sebuah kota di Sumatra. Perjalanan ke sana ditempuh selama 8 jam. Tapi tangapan mereka sungguh di luar dugaan. Saya datang baik-baik menanyakan keberadaan mantan suami dan anak saya, tapi diusirnya dengan keras. Saya langsung terkulai. Lemas rasanya. Lebih baik mati rasanya, pada waktu itu. Saya bersyukur, masih ditolong Allah hingga selamat kembali ke rumah.

Ibu sudah berada di rumah, ketika saya pulang. Saya tersungkur dan akhirnya tidak sadarkan diri. Saya mulai sering sakit. Berobat ke medis dan spesialis saya jalani. Dokter ahli sudah tak terhitung saya kunjungi. Juga ada satu dua dukun. Rumah yang selama ini menjadi investasi ibu untuk hari tuanya terjual. Perhiasan di badan dijual satu persatu. Tapi tanda-tanda kepulangan Rani tak juga ada.

Sampai akhirnya kakak memperkenalkan seorang laki-laki yang katanya lagi cariistri. Usianya 15 tahun lebih tua. Awalnya saya marah pada kakak, tapi setelah dia jelaskan maksudnya, akhirnya saya setuju menikah lagi.

Penderitaan masih berpihak kepada saya. Empat bulan setelah pernikahan kedua, seorang perempuan yang mengaku istri dari suami saya datang ke rumah. la mengaku istri ketiga dari suami saya. Saya tak percaya. Karena waktu mengurus pernikahan, ke KUA suami saya membawa surat yang menyatakan istrinya sudah meninggal.

Memang tidak salah. Istri pertama suami saya memang sudah meninggal, tapi kemudian menikah lagi. Ketika suami saya pulang dari kantor saya langsung menanyakan berita yang sebenarnya. Saya pikir dia akan marah dan membantah semua itu, tapi ternyata tidak. Suami saya membenarkan semuanya. Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Malam harinya ia pergi dari rumah, tanpa membawa sehelai pun baju-bajunya. Saya diam saja.

Dua hari kemudian, dia kirimkan surat yang menyatakan dia menceraikan saya. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mau mengakui anak saya yang ada di dalam rahim saya adalah anaknya.

Saya tidak pernah berusaha untuk berontak. Saya bahkan tak menangis. Begitu pula ibu. Kami diam. Tapi jauh di lubuk hati saya, saya bertekad membesarkan anak saya seorang diri. Dengan kemampuan saya, saya asuh anak itu kelak hingga menjadi anak yang shalih. Saya melahirkan seorang anak perempuan lagi. Bayi perempuan yang cantik. Anak kedua ini saya beri nama Ratih.

Meski saya berusaha kuat dan tegar namun kondisi fisik saya tak sanggup bertahan. Fisik saya mulai lemah. Menurut medis, saya menderita vertigo dan hipertensi. Semangat hidup saya selalu menyala setiap kali saya pandangi bayi mungil saya yang cantik.

Tahun demi tahun berlalu. Saya berhasil sedikit terbebas dari vertigo sementara hipertensi masih setia bertahan di tubuh saya. Tujuh tahun sudah saya selalu mengkonsumsi obat penurun tekanan darah serta obat penenang.

 

RUQYAH MEMBAWA KEDAMAIAN

Saya mulai jenuh dengan obat-obatan itu. Sampai akhirnya saya mengenal terapi ruqyah. Kakak membawa saya ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah cabang Padang. Baru sampai di halaman kantor, telinga saya terasa panas. Dada berdebar-debar. Saya gelisah dan ingin pulang.

Saat mendengarkan ayat- ayat al-Qur’an, tiba-tiba rasa sedih yang teramat sangat bergejolak di dada saya. Saya menangis. Kemudian ada rasamual yang dahsyat. Saya ingin muntah tapi tidak ada yang keluar Rasa mual itu hilang. kembali saya menangis.

Saat diterapi, ada rasa sejuk kemudian berganti panas ketika ustadz membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an di telinga kiri saya. Setelah itu jari tangan dan kaki dipijat refleksi sedang ustadz tak henti membacakan ayat al-Qur’an. Tak ada sentuhan kulit, karena ustadz mengenakan sarung tangan yang tebal.

Hari itu terapi ruqyah pertama selesai. Ustadz menganjurkan setiap peserta membeli kaset yang berisi doa-doa penjagaan dan satu buku kecil al-Ma’tsurat. Kaset dan buku itu dapat dipakai agar peserta ruqyah bisa terapi mandiri di rumah.

Saya mulai rajin menterapi diri sendiri. Tak hanya itu, saya mulai memperbagus ibadah shalat wajib yang lima waktu. Sulit awalnya. Semakin saya berusaha untuk baik dan benar setiap kali itu pula muncul keraguan di hati ini.

Sudah tujuh kali, saya mengikuti terapi ruqyah, alhamdulillah, ada kemajuan. Saya merasa menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini hilang entah di mana.

Jujur saja, saya selalu berdoa semoga Allah mempertemukan saya dengan seorang lelaki shalih yang akan membimbing saya ke surga- Nya.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN