Keberadaan saya di Jakarta berawal dari kenginan saya untuk mengadu nasib, siapa tahu kehidupan saya bisa lebih baik. Pertama kali saya menginjakan kaki di Jakarta tahun 1985, waktu itu atas ajakan teman saya bekerja di sebuah perusahaan pabrik sepatu di daerah Tanah Pasir, Penjaringan, Jakarta Utara. Kebetulan pihak pabrik juga menyediakan mess (asrama) untuk para karyawannya, sehingga untuk tempat tinggal saya tidak ada masalah.
Setahun kemudian saya mengenal seorang gadis asal Solo, Parmin, yang ternyata banyak kecocokan di antara kami. Maka tahun 1986 kami menikah, saya pun akhirnya tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerja saya. Setahun kemudian anak pertama kami Supendi lahir. Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 20 Oktober 1994 anak kedua kami Rohim lahir denga selamat.
Sampai tahun 2000 kehidupan kami berjalan normal. Dengan penghasilan tetap kami bisa mengatur keuangan rumah tangga. Anak- anakpun bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Kami sangat beryukur kepada Allah, kami bisa beribadah dengan baik. Pertengahan tahun 2000 kami mulai mendapat cobaan. Berawal dari rencana perusahaan tempat saya bekerja untuk pindah ke daerah Tangerang. Sebetulnya pihak perusahaan meminta kami para karyawan untuk ikut pindah ke lokasi baru tersebut, namun kebanyakan karyawan menolak dengan alasan tempatnya jauh. Beberapa karyawan bersedia pindah dengan syarat beberapa fasilitas dipenuhi.
Alhasil tidak ada kata sepakat antara perusahaan dengan karyawan kecuali mereka dinyatakan mengundurkan diri dengan pemberian pesangon. Saya sendiri mendapat pesangon 4,5 juta. Dari pesangon itu 3 juta saya pergunakan untuk sedikit merenovasi rumah saya di kampung (Karawang), 500 ribu saya pakai untuk membuat gerobak jualan cendol sebagai modal usaha selanjutnya, sedangkan sisanya I juta dipinjam saudara untuk keperluan acara pernikahan.
Saya memilih jualan cendol selain karena jiwa dagang saya memang ada juga karena mencari pekerjaan tanpa ijazah di Jakarta sangat sulit, apalagi mencari pabrik sepatu di Jakarta hampir tidak ada.
Akhirnya mulai tahun 2000 saya mulai alih profesi dari karyawan pabrik menjadi pedagang es cendol keliling. Karena penghasilan saya tidak terlalu besar dan tidak menentu istri saya ikut membantu keuangan keluarga dengan jualan bubur sumsum keliling.
Dan, terjadilah musibah itu.
Suatu hari, tepatnya tanggal 23 Desember 2001 saya berangkat ke Karawang karena ada salah seorang keluarga yang meninggal. Saya berangkat sendiri sementara istri dan anak-anak tidak ikut. Sebetulnya waktu mau berangkat perasaan saya ragu-ragu. perasaan saya tidak enak, gelisah dan semacam ada firasat akan terjadi sesuatu. Tetapi saya tetap berangkat. Keesokan harinya tanggal 24 Desember 2001, menurut keterangan istri saya. Anak saya yang kedua Rohim mengajak teman sebayanya untuk bermain monopoli, karena temannya menolak. akhirnya Rohim bermain sendiri di rumah. Waktu itu sekitar jam 11.30 istri saya sedang istirahat setelah memasak bubur sumsum untuk nanti dijual. Dapur sudah bersih, kompor sudah dimatikan. Ternyata diam-diam Rohim masuk ke dapur dan menyalakan korek api. Tidak sadar kalau apa yang dilakukannya itu berbahaya, Rohim memasukkan batang korek api yang menyala ke dalam lubang minyak kompor. Mungkin karena kompornya masih panas kontan api langsung menyambar ke tubuh. Rohim. Baju kaos yang dinakannya menyala.
Melihat kondisi demikian Rohim bukannya teriak mita tolong malah berlari ke sumur karena merasa salah, dia mencari air untuk menyiram bajunya yang masih menyala, sementara ponakan saya yang melihat kejadian itu teriak da memanggil istri saya.
Mendengar anaknya terbakar istri saya panik, gugup, dan bingung mau bertindak apa. Dia langsung menghampiri Rohim dan menyiramkan air namun apinya tak kunjung padam, ibunya pun segera melepaskan kaos yang dipakainya. Ibunya sendiri mukanya sedikit ikut terbakar, alis dan bulu matanya habis. Setelah dicopot kaos itu bahkan masih terus menyala. Kondisi Rohim sendiri sangat memprihatinkan lengan dan dadanya merah tua kehitam-hitaman sedangkan mukanya nyaris tak dikenali lagi, mata kirinya menutup. Dia akhirnya dilarikan ke rumah sakit Atma Jaya yang merupakan rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan secepatnya.
Saya sendiri di Karawang hari itu selalu gelisah dan ingin cepat-cepat pulang padahal musibah ini belum saya ketahui. Sorenya saya langsung pulang. Sementara itu pihak tetangga di Jakarta setelah kejadian itu segera menyusul saya ke Karawang untuk mengabarkan musibah ini. Ini dilakukan karena rumah saya di desa belum ada telepon. Jadi, saya dan utusan keluarga dari Jakarta selisih di jalan. Adapun saya tatkala tiba sore hari di rumah kaget melihat banyak orang yang berkumpul. Langsung saja seorang tetangga mengabarkan musibah yang menimpa anak saya. Mendengar itu langsung saja saya menyusul ke rumah sakit. dan betapa kagetnya saya melihat keadaan anak saya yang dibalut perban nyaris tidak saya kenali lagi.
Enam jam di rumah sakit, bagian tubuh anak saya yang terbakar menjadi bengkak karena melepuh. Setelah tiga hari perbannya mau dibuka, lepuhannya juga pecah mengeluarkan darah. Miris hati kami melihat perbannya dibuka, Rohim pun menangis menahan sakit, perbannya berlumuran darah. Setelah dibersihkan lukanya ditutup lagi pakai perban. Dan begitu seterusnya setiap tiga hari perbannya diganti setiap itu pula perbannya berlumuran darah.
Setelah 10 hari berada di rumah sakit, saya khawatir biaya di rumah sakit saya tidak mampu membayarnya. Saya tanyakan ke pihak rumah sakit sudah berapa biaya sampai hari ke sepuluh ini. Ternyata sudah sekitar 4 juta rupiah. Jumlah sebanyak itu sudah terlalu besar menurut saya, apalagi kalau harus berlama-lama lagi di rumah sakit pasti akan semakin besar. Saya pun memutuskan untuk membawa pulang anak saya dan berobat jalan saja. Namun pihak rumah sakit tidak mengizinkan dengan alasan anak saya masih butuh rawat inap minimal 3 hari lagi. Namun saya tetap bersikeras karena tidak punya biaya. Akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan dengan syarat saya menandatangani surat perjanjian bahwa pihak RS tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap anak saya. Sebetulnya Pak Edi tetangga saya melarang saya membawa Rohim pulang dan menyatakan siap membantu dan mencarikan dana. Namun saya tidak mau memberatkan siapa-siapa.
Selama di rumah anak saya kontrol kesehatan di RS Husada, ada sedikit perbedaan pendapat antara pihak RS. Atma Jaya dengan RS. Husada. RS. Husada malah melarang anak saya diperban sebagaimana yang dilakukan di RS. Atma Jaya. Menurutnya jika diperban malah memperlambat kesembuhan, karena setiap perbannya dibuka selalu saja ada kulit dan darah yang terikut.
Atas saran beberapa keluarga, Rohim kami bawa ke kampung ibunya (Solo). Di sana anak saya sempat dirawat inap di RS beberapa hari, selanjutnya perawatannya di rumah saja. Di Solo sempat dirawat sekitar 7 bulan. Saya akhirnya saya bawa kembali ke Jakarta.
Kini kondisi anak saya sangat menyedihkan, saya kira bukan hanya kami, setiap orang yang melihatpun akan sedih bahkan anak-anak yang baru pertama kali melihatnya pasti takut. Rohim sendiri pertama kali melihat wajahnya di cermin langsung shock dan mengamuk beberapa hari, padahal sebelumnya kami sudah berus menyembunyikan semua cermin ternyata secara tidak sengaja dia melihat wajahnya kaca jendela. Bisa dibayangkan betapa kagetnya dia melihat tampangnya. Bibir bawahnya sudah tidak ada jadi yang tampak gusi bawahnya saja. Dagunya tertarik ke bawah dan bersambung dengan dadanya. Lehernya sudah tidak kelihatan lagi. Kelopak mata bawahnya juga tertarik ke bawah sehingga jika tidur matanya tetap terbuka setengah. Kedua daun telinganya sudah copot. Untuk makan pun harus dibantu memasukkan ke bagian dalam mulutnya. Makanannya juga harus dipotong kecil karena mulutnya tidak mampu lagi menganga. Dan yang paling saya khawatirkan adalah karena dagu dan dadanya yang menyatu sehingga ini menghambat pertumbuhannya. Diperkirakan jika tubuhnya bertambah tinggi maka kepalanya akan semakin merunduk dan ini merupakan derita berkepanjangan baginya.
Meski demikian dalam keadaan seperti ini saya tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Saya tidak ingin dengan musibah ini saya lalai dari beribadah kepada-Nya dan semakin jauh dari-Nya. Saya hanya mampu berdoa dan berdoa seraya terus berikhtiar mudah-mudahan suatu saat kondisi anak saya bisa sedikit pulihkan dengan cara operasi. Beberapa waktu lalu saya bertemu Pak John, seseorang yang berhati baik yang bersedia membantu saya mencarikan dana untuk operasi Rohim. Saya sangat berterima kasih kepadanya. Menurut dokter untuk sekali operasi butuh biaya 12 juta rupiah, sementara dana yang terkumpul saat ini baru sekitar 7 juta dan sisanya sedang diusahakan melalui jalur lembaga sosial, uluran tangan para pembaca dan dermawan lainnya.
Sampai saat ini kami sekeluarga masih tinggal di rumah kontrakan Pak Edi di Jl. Bakti Tanah Pasir (Tanggul) Rt.07/07 No.7 Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk kontrakan ini. pun, alhamdulillah Pak Edi masih memberikan keringanan kepada kami. Semoga kebaikan. orang-orang yang telah membantu kami mendapat balasan kebaikan dari Allah dengan balasan berlipat ganda. Aamiin.
Seperti yang dituturkan Pak Sholeh didampingi Ibu Parmi, Pak John, dan Pak Edi kepada Hasri Hasan dari Majalah Ghoib di rumahnya.
Ghoib, Edisi No. 15 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M