Hidup sebagai istri orang bule, memang menjadi impiannya sejak kecil. Sebagai seorang muslimah, ia juga punya impian untuk menciptakan keluarga yang sakinah dalam naungan al-Qur’an. Selama sebelas tahun, ia berjuang untuk mengislamkan suaminya dengan segenap pengorbanannya. Alhamdulillah impiannya kini telah terwujud, setelah ia pernah merasa berdosa karena hidup serumah dengan orang yang berbeda agama. Semoga apa yang telah dilakukannya ini, menjadi pelajaran bagi para muslimah yang bersuamikan orang asing. Berikut kisahnya.
Sejak kecil saya suka berangan-angan kepingin punya suami bule (orang asing). Gambaran saya pasti bahagia, karena bisa keliling dunia serta menunaikan ibadah haji. Saat kecil saya suka sekali nonton televisi. Suatu hari saya menyaksikan film Indonesia. Ada pemerannya yang sangat cantik. Saya tanya kepada ibu, Bu itu siapa kok cantik sekali? Ibu bilang, “Dia itu blasteran, ayahnya orang bule.” Keinginan saya punya suami orang bule bertambah besar setelah menyaksikan film itu. Kalau saya sudah punya keinginan, saya harus meraihnya sekuat tenaga saya.
Saya dididik secara disiplin oleh ayah. Karena ia seorang intel angkatan laut. Sejak kecil kehidupan saya boleh dikatakan berkecukupan, sehingga saya tumbuh menjadi anak yang periang tapi juga keras kepala.Kehidupan yang kita jalankan ini, semuanya rahasia dari Allah. Kadang kita di atas, kadang juga di bawah, roda terus berputar. Menjelang lulus SMA, kehidupan keluarga kami boleh dikatakan sedang berada di bawah. Maka selepas lulus SMA, saya memutuskan untuk mencari kerja di Jakarta. Dengan berat hati saya meninggalkan Riau, untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Saya pergi ke Jakarta dengan tekad yang bulat. Saya mulai bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Mungkin disitulah hidayah pertama saya. Karena saya betul-betul berniat untuk bekerja dan beribadah. Padahal sebelumnya saya termasuk orang yang biasa saja dalam beribadah. Saya rasa tidak ada jalan lain yang dapat membantu saya kecuali Allah. Semua saya pasrahkan kepada-Nya.
Alhamdulillah, begitu saya melamar pekerjaan melalui tante, saya langsung diterima. Saya bekerja di sebuah restoran milik orang Tionghoa. Karena kejujuran dan cara kerja saya yang dinilai baik, saya diberi fasilitas lebih, seperti dinaikkan gaji serta diantar jemput kemana pun saya pergi. Saya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Suatu hari, bos saya menawarkan anaknya kepada saya. Tapi saya kurang menyukainya. Karena perasaan tidak enak itu, saya memutuskan untuk keluar dari restoran itu. Tapi terkadang saya serba salah antara ingin balas budi dengan cita-cita yang saya inginkan. Saya kan ingin punya suami orang asing. Saya ini sudah berikrar sama Allah, bukan berikrar sih, tapi saya masih punya cita-cita yang ingin terwujud. Saat usia muda, memang kadang-kadang kita berpikir, ah saya pingin punya pacar yang wajahnya seperti Elvis Presley, pokoknya idealis deh. Setelah keluar dari restoran itu saya sempat menganggur satu bulan.
Kemudian saya mendapatkan pekerjaan lagi di sebuah restoran khas Jepang di daerah Blok M. Saya dipercaya menjadi PR (Public Relation). Saat bekerja di restoran itu, saya berkenalan dengan orang Amerika. Kira-kira, dia baru datang enam mingguan di Jakarta. Dia suka makanan Jepang. Saya lihat orangnya baik. Saya tidak kepikiran akan jadian denganya. Semua saya pasrahkan sama Allah.
Sebagai seorang PR, saya berusaha melayani setiap pelanggan dengan baik. Dan akhirnya dia rajin datang, kayaknya sih naksir. Kemudian dia senang kepada saya dan dia mengajak tunangan. Tadinya dia belum beragama Islam. Saya kurang tahu yah apa agamanya. Jadi disitulah kesempatan saya untuk mengajaknya masuk Islam.
Kami mengislamkannya di sebuah masjid. Dan ibu saya menjadi saksinya. Kira-kira 8 bulan setelah pertunangan, kami berencana akan melangsungkan pernikahan. Namanya juga orang baru saling kenal, sehingga rasa cemburunya sangat tinggi. Dia membayangkan, kalau saya kerja di restoran dengan melayani para tamu perempuan dan laki-laki dengan manisnya. Jangan-jangan nanti ada orang lain yang nyantol sama saya. Perasaan inilah yang membuat hubungan kami agak kurang harmonis. Kami sering berantem dan berantem lagi, sampai timbul keraguan dalam diri saya untuk menikah dengannya. Untuk menghormatinya saya akhirnya berhenti bekerja.
Suatu ketika, saya diundang acara perpisahan teman yang akan pindah ke Moscow setelah suaminya bertugas selama tiga tahun di Jakarta. Di situ saya tidak mengerti adat istiadat bangsa Eropa. Kalau bahasanya saya agak mengerti. Duduklah saya di sofa sendiri. Saya baca majalah. Saya pakai cincin tunangan untuk menghormati komitmen yang saya buat. Tiba- tiba ada seorang laki-laki yang menegur saya. Saya kaget, dia kok bisa bahasa Indonesia. Tapi saya sama sekali tidak melihatnya, saya cuek aja. Ternyata dia orang keturunan Belgia-Perancis. Saya tidak berpikiran macam-macam. Ah biasalah para penggoda wanita.
Pikiran saya sedang tertuju pada hubungan kami yang sedang kacau. Kemana-mana saya dikekang, seperti seekor burung pada sangkar emas. Saya terus berdoa kepada Allah untuk menunjukkan jodoh saya yang sebenarnya. Orang Perancis itu rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Teman saya sudah berusaha menjelaskan bahwa saya telah bertunangan. Tapi ia bersikeras dengan usahanya yang gigih untuk mendapatkan saya pada hari-hari berikutnya. Seakan ia mengerti sebuah pepatah yang mengatakan, selama janur kuning belum dikibarkan, maka masih ada kesempatan untuk meminang.
Karena kegigihannya dalam mendapatkan cinta saya serta bantuan dari teman saya yang terus membujuk. Akhimya saya memberikan kesempatan kepadanya untuk lebih mengenal saya dan keluarga. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung datang ke rumah orangtua di Tanjungpinang. Ibu pun akhirnya merestui pertunangan kami, setelah saya putus dengan tunangan yang pertama.
Akhirnya kami menikah di Australia tahun 1993. Kenapa kami memilih menikah di Australia, karena suami sudah punya rumah di sana. Yang terpenting adalah untuk memudahkan prosesi pernikahan kami yang saat itu belum satu agama Dia kurang begitu suka dengan negaranya di Perancis, karena terlalu jauh dengan tempat kerjanya di Bali.
Kepinginnya pernikahan saya dihadiri keluarga, tapi karena saya tidak bisa membawa ibu ke sana, saya hanya dibekali surat persetujuan dari orangtua. Ibu saya bilang, “Segala hal yang kamu perbuat, tanggungjawabnya kepada Allah.” Orangtua suami juga tidak datang karena sedang sakit. Kami menikah secara umum dengan dihadiri teman-teman terdekat suami.
Saya tahu, kalau pada saat itu saya salah, dan seterusnya hubungan kami adalah zina. Tapi saya punya keyakinan, bahwa teman-teman saya yang telah kawin sama orang asing, suami mereka masuk Islamnya hanya jadi syarat saja. Saya berpikir mana yang lebih bagus? Mengislamkan dia, dan nantinya dia menjadi orang yang shalih, atau hanya sekadar mengisi formulir di kertas pada saat menikah.
Setelah menikah, kami sempat tinggal tiga tahun di Bali. Di sana, kami hidup bahagia, karena di karuniai seorang anak pertama yang sehat dan lucu. Kehidupan kami berjalan sesuai dengan agama dan kepercayaanmasing-masing. Saya shalat dan puasa. Sementara ia tidak memiliki agama yang jelas bahkan boleh dikatakan tidak beragama. Hati saya tetap bergejolak mencari saat yang tepat untuk mengislamkan dia.
Segala pengorbanan telah saya lakukan untuk menjadikannya seorang muslim. Dua setengah tahun kemudian, lahir anak yang kedua. Seorang anak perempuan yang manis hadir di tengah-tengah kami. Hati saya terus bergolak, kedua anak saya lahir tanpa diadzankan, saya hanya bisa menunggu dan menunggu.
Setelah itu kami tinggal di Jakarta selama 4 tahun. Saat di Jakarta, kalau suami sedang bekerja, saya sering curi-curi kesempatan dengan memanggil seorang guru ngaji ke rumah. Semua itu saya rahasiakan. Orang-orang di sekitar saya, hanya bisa menebak-nebak, ibunya taat beragama, sementara bapaknya begitu, anaknya mau jadi apa?
TERUS BERJUANG MENGISLAMKAN SUAMI DI NEGERI KANGURU
Suami saya sudah tidak betah tinggal di Jakarta. la membawa kami pindah ke Australia tahun 2001. Sebenarnya saya berat meninggalkan negeri tempat saya dilahirkan. Karena alasan untuk peningkatan mutu pendidikan anak, saya mau tak mau harus menemani suami di mana pun ia tinggal. Hidup di negeri orangtidaklah mudah. Jauh dari keluarga serta jauh dari komunitas muslim. Hidup seperti ini, saya jalani selama bertahun-tahun.
Saya penasaran, masa sih di Australia ini tidak ada orang Islamnya. Saya sering berdo’a, “Ya Allah berilah aku petunjuk.” Benar saja, saya langsung dikasih petunjuk. Ada anak sekolah berbusana muslim naik bus. Saya terus memperhatikan busnya berhenti dimana ya? Saya kepingin tanya sama dia. Orang Islam di Australia pusatnya dimana? Sebenarnya, saya mau mengetuk rumahnya, tapi saya takut dikira pencuri. Ternyata rumahnya tetanggaan dengan saya. Rupanya di situ menerima anak-anak kost. Saya berpikir, semoga di sana ada anak muslim. Hati saya semakin rindu pada Allah.
Belum sempat saya lebih jauh bertanya. Suatu hari saya bertemu teman yang tadinya tinggal di Jakarta. Ketemunya di shopping centre. Saya bilang padanya, Yuk tolong kenalkan sama orang-orang yang suka sholat! “Ada-ada, saya tinggal di daerah situ. Nanti saya kasih tahu, kalau ada acara ceramah agama. Tempatnya sedikit tersembunyi. Silahkan datang ke sana. Kalau dalam Islam untuk datang ke pengajian gak pakai undangan,” katanya dengan semangat.
Suatu hari saya datang ke sana. Saya pakai selendang dan memakai baju kurung. Subhanallah, Allah memberikan hidayah kembali kepada saya. Isi ceramah seorang ustadzah asal Indonesia serta jawaban- jawaban yang diberikannya begitu menggugah. Saya seperti menemukan kembali keislaman saya (menangis sedih). Secara diam-diam saya terus mengikuti pengajian tersebut, bahkan sangat akrab dengan ustadzah itu dan suaminya yang juga asli dari Indonesia. Perkenalan saya dengannya, terus berlanjut. Saya sering curhat mengenai suami dan kondisi anak-anak di rumah. Saya akhirnya bilang pada ustadzah tersebut bahwa suami saya belum masuk Islam. Ustadzah itu, terus memotivasi saya, “Kuncinya kesabaran, taat dan sholat tahajjud,” katanya.
Keinginan saya untuk hidup dalam keluarga yang Islami terus berkecamuk. Kebetulan anak saya setiap pulang sekolah ada kursus tambahan. Mereka saya ajak untuk melaksanakan sholat setiap tiba waktunya. Caranya, saya bawa air 3 botol. Untuk minum, berwudhu dan yang ketiga air sabun untuk buang air kecil serta cuci tangan di semak-semak. Saya bawa plastik yang lebar, saya kasih koran dan sajadah. Saya juga bawa makanan ringan. Sehabis pulang sekolah kami shalat dhuhur di taman. Terus pulang Nah di rumah sudah ada suami. Saya bilang, saya harus jemput anak-anak kursus. Setelah itu kami melaksanakan shalat ashar.
Di taman, udaranya sangat panas. Kalau musim dingin, biar siang hari dinginnya gak ketulungan. Belum lagi kalau hujan. Ketika sedang sholat di taman, godaannya banyak sekali. Orang yang bawa anjing menatap kami dengan aneh. Anak-anak yang main ayunan suka melihat dengan curiga. Saya shalat di situ bersama mereka, saya tenangkan anak saya. Kamu jangan malu, di mata orang, mungkin kamu malu tapi di mata Allah kalian mulia (suaranya agak sedih).
Persembunyian saya dalam melaksanakan ibadah akhirnya tercium juga. Suami saya menemukan sajadah di dalam bagasi mobil. la marah besar. “Ini terakhir kalinya saya melihat kalian shalat, jangan bawa hal yang berbau teroris masuk di rumah ini,” katanya. Dia menganggap Islam itu teroris Saya maklum karena dia tidak pernah dididik secara agama. Dia bilang ke anak- anak, siapa anak dady yang kelihatan shalat nanti akan dipukul.
Setelah kejadian itu saya bilang ke anak-anak untuk shalat sebisanya saja. “Mereka itu kan anak saya juga,” katanya sambil marah. Saya diam aja. “Saya sayang dan cinta sama anak-anak dan juga kamu. Cuma satu itu, jangan bawa mereka pada agama kamu,” tambahnya. Saya terus nangis. Saya langsung menelepon ustadzah. Suami saya langsung berpikir kalau saya mengadukan permasalahan ini kepada ustadzah.
“Wah jangan-jangan guru kamu itu yang mempengaruhi kamu. Gara-gara dia kamu semakin taat. Stop berhubungan dengannya,” teriaknya dengan lantang. Saya tetap berusaha menelepon ustadzah, kalau suami sedang kerja. Tiba- tiba di kepala saya terpikirkan, kata “zina”. Semakin saya tahajjud semakin kuat perasaan bersalah saya. Suatu hari saya sampaikan hal tersebut ke suami saya dengan bahasa yang sangat halus. Sayang saya rasa, saya baru tersadarkan (sekitar tahun 2004). Saya dari dahulu telah berbuat salah. Rasanya kita harus berpisah karena berhubungan seperti ini adalah zina. “Terus kamu maunya apa? Kenapa baru saat ini kamu bilang,” sanggahnya. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengutarakan hal ini, tapi saya pendam. Saya berharap bisa mengajak kamu kembali bersama-sama ke jalan Allah, memeluk agama Islam. Karena dia tidak mau, saya memutuskan pisah ranjang. Kedua anak saya mulai curiga. Mereka bertanya, kenapa baju mami ada di kamar yang lain? Saya minta doanya sama mereka agar, kita bisa tetap selalu bersama (menangis tersedu- sedu).
Setan suami saya bertambah memuncak. Dibawanyalah makanan haram ke rumah. Yang biasanya dia tidak melakukannya karena menghargai saya. Dia juga bawa minuman haram ke rumah, padahal dia bukantipe peminum. Dia panggil temannya untuk minum di rumah. Di saat-saat dia minum, rasa takut menyelimuti saya. Pada saat dia ingin memenuhi kebutuhan biologisnya, saya menghindar karena takut dibunuhnya. Saya hidup dalam suasana ketakutan cukup lama. Makanya, ketika dia mendekati pintu kamar saya, langsung saya kunci. Selesai makan-makan, saya cuci tempat makannya dengan pasir. Alhamdulillah kulkas ada dua, sehingga saya bisa memisahkan makanan yang halal.
Karena merasa sudah tidak tahan. Saya bawa permasalahan ini kepada penasihat hukum. Berkat seorang kenalan dekat. Saya dipertemukan dengan seorang lawyer terkenal, ia orang Eropa. Setelah saya ceritakan semua kisah saya, ia menangis sejadi-jadinya. “Baru kali ini, ada orang yang mau bercerai karena agama,” katanya. Maklum Australia kan negara bebas.
Setelah itu ia meminta saya untuk pindah ke kontrakan yang tidak diketahui oleh suami. Karena agama yang saya cintai ini, saya rela tidak membawa sedikit pun harta dari suami. Hanya pakaian yang melekat di tubuh yang saya bawa. Untuk pakaian anak-anak bisa saya bawa secukupnya. Anak-anak semakin bertanya-tanya. Sayajelaskan sambil memeluk mereka erat-erat. Untuk berdoa supaya mami menang. Kalau mami kalah di pengadilan, kalian harus tetap beragama Islam, tetap shalat seperti yang mami pernah ajarkan. Mungkin saja, minggu-minggu ini adalah pertemuan kita yang terakhir (menangis agak lama. Majalah Ghoib berusaha menghiburnya). Setelah itu, pengacara saya mendatangi rumah suami saya. Dan mengajukan gugatan cerai dengan landasan hukum yang kuat.
Suami saya malah menangis. la tidak percaya kalau saya bertindak sejauh ini. la semakin terpukul, ketika pengacara saya menjelaskan, bahwa hak asuh anak ada di tangan ibunya. la semakin bingung. Dan langsung ke rumah ustadzah. Di sana dia ampun-ampunan. Dia menanyakan di mana saya. “Bu anak-anak sama istri saya makan apa, karena mereka tak ada uang sama sekali”, katanya. Sementara ustadzah meminta jamaah pengajiannya agar terus doa untuk kesuksesan saya. Sungguh hindah, persaudaraan dalam Islam.
Karena kesungguhan yang diperlihatkan oleh suami saya, ustadzah mengijinkan kepada suami saya, untuk bertemu saya di rumahnya. Begitu saya sampai dan duduk di rumahnya (rumah saya dulu), saya bertanya kepadanya kenapa kamu panggil saya ke sini? Saya ingat, hari itu hari Jum’at sekitar jam 10-an. Dia langsung menangis dan memeluk saya bahkan seperti orang sungkeman. “Saya maumasuk Islam, saya mau masuk Islam”, katanya memohon. Setelah itu, kami berangkat ke rumah ustadzah untuk mene- mui suaminya. Suami saya pakai baju lengan panjang dan peci punya anak saya. Hari itu, suami saya mengucapkan dua kalimat syahadat sampai 7 kali, karena kurang lancar. Kami pun dinikahkan ulang oleh suaminya ustadzah, dengan disaksikan al- Qur’an.